Saturday, January 13, 2007

Vacuum Cleaner

Kemarin ada surat yang diantar ke Flat kami. Surat dari City Council yang memberitahukan bahwa akan ada proyek pembangunan di sekitar wilayah kami tinggal. Dalam surat itu juga dijelaskan dengan lengkap tentang proyek apa saja yang akann dilaksanakan dan kaitannya dengan masyarakat di sekitar wilayah proyek itu. Misalnya, akan ada jam-jam dimana truk-truk besar lewat di jalan dan akan sedikit mengganggu kelancaran pengguna jalan. Namun peringatan ini disertai jaminan bahwa truk-truk itu akan selalu dibersihkan sebelum mereka masuk jalan dan juga masyarakat yang akan kena dampak debu ini akan diberikan kompensasi dengan pembersihan kaca rumah holeh petugas dari city council. Ada juga imbauan untuk menghindari jalan-jalan tertentu untuk tidak terjebak kemacetan, termasuk alternatif jalan yang bisa dilalui. Ada pula prosedur yang bisa ditempuh jika masyakarat di wilayah itu merasa berat dan tidak terima. Pokoknya lengkaplah..

Bukan untuk genit-genitan membandingkan dengan kondisi di tanah air, apalagi proses seperti ini di kota yang modern ini sudah dianggap lazim dan biasa aja tuh.. Tapi tiba-tiba saya ingat kampung saya. Ini benar-benar kampung, namanya saja kampung bugis, di Batangase itu. Ya, kampung bugis yang berbatangase atau batangase yang berkampung bugis, [apaan sih...]. Saya ingat ketika itu jalan di kampung kami dan yang depan rumah setiap saat dilalui oleh truk-truk berbadan besar mengangkut tanah galian dan juga batu gunung. Dampaknya tentu rumah yang ada di dekat jalan kebagian debu dan serpihan batu yang memang wajar sebab truk-truk itu hanya ditutupi terpal seadanya. Sangat seadanya bahkan.. Saya ingat pula saya dan ibu saya yang sudah tua itu harsu "rajin" menyapu dan membersihkan rumah. Tak cukup rasanya membersihkan hanya tiga kali sehari, sebab setelah bersih, selalu ada debu dan kotoran baru yang menanti untuk dibersihkan. Bayangkan betapa tersiksanya kami di kampung itu, yang saya jamin tidak ada satupun rumah yang memiliki vacuum cleaner.

Tak tahan dengan ini, saya lalu mengajak anak-anak muda di sektar rumah untuk memblokir jalan dan menahan truk. Alasan saya, truk-truk itu melanggar Perda yang menerangkan bahwa badan jalan seukuran jalan di kampung kami hanya boleh dilalui oleh kendaran dengan bobot tak lebih dari 8 ton. Sedang truk-truk itu, saya jamin lebih dari 10 ton. Jalan yang belum setahun diperbaiki itu tentu saja akan rusak sebelum waktunya. Belum lagi dampak lingkungan [ini biar keren aja ketimbang ngomong masalah debu] yang diakibatkannya. Saya menawarkan diri untuk menjadi koordinator jika tidak ada yang mau.

Saya malah diminta sabar aja. Tindakan yang saya tawarkan itu ternyata telah dilakukan sebelumnya, jangan tanya kenapa saya kok tidak tahu kondisi kampung saya sendiri. Anak-anak muda dan masyarakat sekitar bergabung menutup jalan. Sebabnya karena truk-truk itu tak hanya memberikan debu dan kekotoran, tapi juga sudah merusak rumah masyarakat dengan serpihan batu yang merusak atap dan kaca rumah. Masyarakat protes dan meminta tanggung jawab perusahaan pengangkut tanah galian itu.

Apa yang terjadi kemudian? Bukannya dialog dan diskusi yang mereka terima, namun serangan mendadak dari se truk tentara yang menyerang dan membongkar palang jalan yang dipasang masyarakat. Mereka diminta bubar dan diminta pua untuk tidak mengganggu proses pembangunan kota yang sedang dilakukan, yang salah satunya membutuhkan tanah-tanah galian dari kampung kami untuk menyolek kota Makassar. Yang akan melawan, diultimatum akan "diproses" secara tentarawi [manusiawi, kali...]. Mungkin pikir tentara-tentara itu seharusnya kami paham dengan stiker yang ditempel di setiap kaca depan truk "Proyek pembangunan XXXX, Koperasi Kostrad Kodam VII Wirabuana" [ini kalo ga salah, tp temanya seperti itulah...].

Begitulah, masyarakat masih dianggap tak punya hak untuk sekedar berpendapat atau dimintai pendapat. Soal kampung saya yang makin berdebu dan hilang kemolekannya, tak jadi soal. Toh selalu ada tumbal untuk proses pembangunan.

Membayangkan ibu saya di rumah dan menerima surat seperti diatas, rasanya masih lama. Bukan pada masalah bisa atau tidak saya pikir. Bagi saya, itu tak lebih dari keinginan dan itikad dari pelaksana itu ada atau tidak. Jangan bicara soal AMDAL yang selalu dijadikan senjata andalan oleh pengembang dan pengusaha, sebab proses penyusunannya pun tidak benar. Universitas yang diminta membuat [mungkin agar terkesan ilmiah dan bertanggung jawab] pun tidak pernah menempatkan masyarakat sebagai subjek. Analisisnya pun kadang berdasar pesanan.

Kabar terakhir, truk-truk itu masih berseliweran di jalan di kampung kami. Entah untuk proyek apa lagi, dan entah bukit mana lagi dari kampung kami yang akan dikeruk. Sebab seingat saya, bukit yang hijau dan indah dipandang itu, beberapa diantaranya telah berubah jadi kubangan air, biar indah, kita sebut saja danau buatan. Lalu mau bagaimana lagi? Masalah ini pernah diangkat koran lokal, namun kelanjutannya tidak ada, termasuk tanggapan dari mereka yang berwenang dan bertanggung jawab.

Kampung bugis.. Ah, ibu saya pasti sedang istirahat setelah lelah membersihkan hari ini.. Ingin rasanya membelikannya vacuum cleaner.

2 comments:

isma said...

tanya ken napa? tanya ken napa?
rasa-rasanya tanah air beta koq memang sdh lupa sama humanisme...

Anonymous said...

Wah...batangase...tempat tinggalku waktu kecil...