Hari-hari belakangan ini mantan menteri pendidikan dari partai Buruh menjadi sasaran kritik. Bukan atas kebijakan menyangkut publik yang membuatnya tersorot, namun pada pilihan dan keputusannya "sebagai seorang ibu". Sorotan ditujukan saat ia memindahkan anaknya dari sekolah negeri (state) ke sekolah private, yang biayanya £15.000/thn (sungguh, ini lebih mahal dari biaya MBA di school of business) yang baginya lebih bisa memenuhi kebutuhan spesifik sang anak yang menderita penyakit dislexia.
Bagi banyak orang Inggris, ini adalah bentuk hypocrite dari seorang pejabat publik, yang seharusnya memberi contoh. Terkesan berlebihan, namun masalahnya bahwa Ruth Kelly adalah pejabat dibidang pendidikan. Keputusan "pribadi"nya tentu saja memberi kesan bahwa pendidikan yang disediakan oleh negara tidak dapat memenuhi kebutuhan dari peserta didik. Ini pula yang makin membuat masyarakat berkomentar bahwa politikus itu hanya berpikiran, "do as I say not as I do".
Simpati dan dukungan bukannya tidak ada untuk Kelly. Banyak pihak juga yang berpikir bahwa itu adalah haknya sebagai orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Sebagai orang tua, apalagi dengan kemampuan finansial yang memadai, apa salahnya? Terlepas dari itu semua, saya lalu ingat bagaimana perilakuu pejabat publik di Indonesia. Tak ada hubungannya dengan membandingkan maju atau tidaknya sebuah negeri. Bagi saya, pejabat publik tetap saja harus menanamkan pikiran sebagai pelayan, yang termasuk didalamnya mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Ideal? Bagi saya tidak,sederhana saja dan sudah pernah ada yang memberi contoh. Hatta, Agussalim, Lopa, dan banyak lagi lainnya.
Konteksnya tentu beda dengan sekarang, namun paling tidak kebijakan publik itu betul-betul didasarkan pada kebutuhan publik dan adanya satu pikiran dan perbuatan. Sekali lagi, ini mungkin hypocrite juga dalam bentuknya yang berbeda, sebab seperti menafikkan pragmatisme yang bisa saja ada dalam diri setiap orang.
Tapi tetaplah, kita jika kita tilik dari perilaku mereka, yang kadang mencederai logika. Tengoklah APBD yang kebanyakan isinya pembiayaan untuk meningkatkan kenyamanan pejabat dan politikus. Saya masih ingat bagaimana salah satu item di APBD merupakan titipan dari seorang anggota dewan. Agar tidak melanggar aturan normatif yang ada, titipan itu diterbitkan bersama dengan rancangan biaya dari salah satu dinas. Jadi, proyek yang dirancangkan di APBD melalui dinas itu sesungguhnya pesanan anggota dewan. Ini satu contoh saja, yang tentu tidak menghapus jejak bahwa masih ada dari mereka yang baik dan tetap berada on the right track sebagai seorang pejabat.
Okelah, ini soal penyimpangan yang memang di negara manapun memiliki penyakit yang sama. Tapi yang lain juga banyak kita lihat bagaimana pejabat kebanyakan menikmati fasilitas luar biasa sementara rakyatnya sibuk menyelamatkan diri dari banyak bencana. Alasan membeli mobil dinas baru, misalnya. Yang lain, bagaimana pejabat publik berkoar untuk meminta masyarakat mengencangkan ikat pinggang, sementara mal dan pertokoan ramai dengan mobil dinas. Atau seruan untuk menyumbang dan saling membantu tidak pernah dibarengi dengan contoh nyata dari pejabat itu sendiri.
Kelly memang tidak bersalah, dan disini ia juga tidak sepi simpati. Tony Blair, bosnya dan David Cameron pemimpin partai oposisi tetap mendukungnya dengan alasan itu adalah hak pribadi. Tapi menarik apa yang diungkapkan oleh seorang pembaca di koran lokal, "She's not obliged to send her children to state school any more than we are obliged to vote for her".
Kalau soal Kelly ini saja sudah mendapat banyak sorotan, yang menurut saya itu benar hak pribadi dia sebagai ibu, bagaimana dengan soal lain yang kadang mencederai logika itu?
No comments:
Post a Comment