Beberapa hari belakangan ini, topik berita mengenai pemanfaatan APBD bagi klub-klub sepakbola di Indonesia menjadi hangat. Namun sayangnya, ini tidak menular juga kepada media-media lokal di Makassar. Entah saya yang luput dalam membacanya atau mereka memang tidak minat. Tidak ada satupun media yang coba mempertanyakan penggunaan Rp 15 milyar APBD [Sulsel dan Makassar] oleh PSM.
Dana sejumlah ini, tercatat resmi namun tidak terutup kemungkinan jumlahnya lebih besar lagi. Sebab modus operandi titip-titip dalam mata anggaran di APBD bukan lagi hal yang luar biasa. Dana yang dianggarkan di dinas tertentu belum tentu untuk kepentingan dinas itu, apalagi jika mata anggarannya memang sudah "abu-abu" seperti "biaya tak terduga" [kalo yang ini lazim dalam proposal mahasiswa, meski aturan akuntansi sebenarnya tidak melazimkan hal ini].
Soal media lokal yang tidak menyinggung masalah APBD dan PSM bisa jadi karena tidak ada juga pihak di Makassar yang merasa itu adalah tindakan yang salah dan patut dipertanyakan. Atau adakah hal lain yang berpengaruh? Sebab dari pengakuan seorang kawan yang dulu sempat bekerja di salah satu harian di Makassar, PSM masih menjadi topik yang "marketable" sehingga sayang jika lahan subur ini diterlantarkan, atau kasarnya diserang.
Alasan itu juga yang saya kira menjadi salah satu faktor yang membuat PSM tidak maju-maju. Lho, kok bisa? Ya karena dalam berberita, media-media lokal ini selalu menempatkan PSM serupa barang yang tak terjamah. Jika PSM kalah, judul yang digunakan tak jauh dari, "PSM kurang beruntung", atau judul-judul lain yang jadul banget. Pokoknya, tidak pernah saya baca
kritik "keras" soal strategi atau kesalahan PSM. Tidak pernah pula saya baca soal ulasan mengenai bagaimana memperbaiki PSM dari sisi manajemen atau kaderisasi. Yang ada hanya sensasi-sensasi sempit dan berita seputar manajer, walikota, dan pejabat yang bicara soal memburu pemain dari negara ini atau pelatih itu.
Nah, soal penggunaan dana APBD ini tentunya tidak begitu menarik. Dan yang pasti, itu tadi, ada pasar yang harus dijaga stabilitasnya.. APBD merupakan dana "bantuan" dari masyarakat yang dibayarkan melalui pajak dan berbagai macam retribusi. Target wajib pajak dan retribusi ini pun tidak hanya terbatas pada mereka yang berpunya dan berkelebihan. Meski begitu, penggunaannya kadang kala tidak bisa dipertanggungjawabkan dan lebih sering tidak kembali kepada masyarakat, awal dari uang itu menjadi ada. Dana APBD untuk PSM itulah salah satu contohnya. Soal pelanggaran formal dan model penyimpangannya yang beragam, bisa
dilihat di kompas. Aturan-aturan formal dari departemen dalam negeri dan peraturan dalam penerbitan APBD, sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan bahwa seharusnya PSM digugat.
Saya sendiri sejak lama berpikiran seperti ini. Kalau PSM dapat dana dari APBD, maka penonton ga perlu bayar masuk stadion. Bukankah itu uang mereka juga? Lah, bukannya gratis, karcisnya malah mahal dan fasilitas yang didapat rasanya tidak sepadan dengan yang dibayarkan penonton. Ini mungkin relatif juga sih, tapi paling tidak, dengan membayar karcis
dengan jumlah tertentu itu, seharusnya ada pula value added yang didapat penonton. Kalau masuk stadion harus siap-siap helem, entah nilai tambah apa yang didapat. Lalu, kalau bukan dari APBD dari mana klub mendapatkan dana?
Yah dijual aja dunk.. Pertanyaannya kemudian, emang ada yang mau beli? Nah, ini saya agak ragu, tapi ada lah pastinya. Selama PSM bisa terlepas dari pengaruh politik dan kekuasaan, ia tentu saja merupakan target bisnis yang menjanjikan. Dan satu lagi, banyak saudagar kaya yang rajin berkumpul tiap tahun di Makassar. Daripada mereka ngomong terlalu jauh tentang peran [yang tak pernah juga terealisasi] mereka terhadap pembangunan Makassar, mending beli dan kelola deh itu PSM. Tapi sekali lagi, itu bisa terwujud jika PSM benar-benar bisa lepas dari pengaruh kekuasaan.
Tak habis pikir saya, dari dulu bicara soal kejayaan PSM tapi manajernya masih merangkap sebagai walikota. Sebenarnya wajar sih, karena mayoritas dana yang diperoleh PSM berasal dari APBD kota Makassar, maka sebagai pemilik saham terbesar, ia berhak untuk menempatkan walikota sebagai CEO. Namun sebenarnya, karena dana APBD, pemilik saham terbesar kan masyarakat? Maka masyarakat dunk yang harus menentukan. Kalau sekarang
walikota jadi pemimpin di klub, yang putuskan siapa ya? Perasaan ga pernah ada "rapat umum pemegang saham" yang melibatkan seluruh shareholder yang ada. Kembali ke soal ide menjual PSM. Ini tentu saja banyak rintangan dan banyak pihak yang bakal berontak kehilangan lahan. Seorang kawan dari Medan bercerita bahwa kelompok suporter PSMS Medan [saya lupa namanya] yang memiliki usaha menjual pernak-pernik klub dimiliki oleh anak walikota, yang tak lain manajer klub. Anehnya, meki membawa nama klub namun hasil dari penjualan pernak pernik itu tak pernah masuk dalam kas PSMS Medan sebagai pemilik merek dan logo. Tak pernah pula kelompok suporter lainnya mendapatkan keuntungan atas dipakainya nama mereka.
Nah, kondisi serupa rasanya terjadi di PSM. Meski untuk ini saya tidak tahu banyak, tapi yang pasti banyak lahan yang akan tergusur. Kreatifitas, itu kata kuncinya. Memang dalam kondisi tidak pasti dan masih banyak hal yang menghuni deretan atas dalam skala prioritas pembangunan dan berkehidupan, bisnis sepakbola menjadi kelihatan abu-abu. Tapi kan harus dimulai jika memang 15 milyar dana APBD itu lebih berguna jika dipakai untuk bangun sekolah atau puskesmas. Kompetisi harus sudah punya tujuan tak sekedar membuat keramaian, dan bahkan keributan.
So, saatnya PSM untuk lebih "jantan" dan bukan lagi anak ayam yang hanya bisa hidup dari APBD.
No comments:
Post a Comment