Problem obesitas menjadi pelik di Inggris. Hingga perlu menjadi fokus dari pemerintah, seperti yang dilakukan Tony Blair dalam setiap kesempatannya (tentu saja yang berhubungan dengan kesehatan). Awalnya saya tidak begitu yakin dan menganggapnya sebagai gombal kampanye seperti partai-partai di Indonesia. Namun kenyataan memang menunjukkan bahwa obesitas bukan barang langka disini.
Hasil dari buka-buka situs BBC menyebutkan bahwa berdasarkan perkiraan, jika tidak ada perubahan dalam tata cara hidup warga Inggris, maka pada tahun 2010 nanti sepertiga pria Inggris menderita obesitas. Kecenderungan peningkatan obesitas juga terjadi di kalangan anak perempuan, menjadi 22% dan anak laki-laki sebesar 19 %. Angka seperti ini tentu saja membuat menteri keuangan harus berpikir ulang..
Nah, kemarin ada yang menarik. Nonton di BBC 2, ada cerita bagaimana seorang perempuan yang bekerja di restoran khusus vegetarian, menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengkonsumsi coklat dan fast food seperti burger. Hasilnya? Ia memiliki berat diatas normal, nah lho...
Beda negara beda problem. Indonesia, dengan tingkat kemiskinan yang makin meninggi (perdebatan angka antara pemerintah dan pengamat membuat kemiskinan tak ubahnya sekedar rumus dan deretan angka tak berarti) tentu tidak memberi perhatian lebih terhadap masalah obesitas ini. Wong orang malah kelaparan...
Kalau di Inggris digalakkan kampanye "Small Change Big Difference" maka di Indonesia bisa dibuat kampanye tandingan, "Fat is Beautiful". Tapi apa bisa, ya?
Friday, September 29, 2006
Monday, September 25, 2006
Gratis Belum Tentu...
Ada suguhan tiap pagi yang sayang dilewatkan di bis saat menuju kampus. Koran gratis. Ya, gratis, di bagian depan dekat pintu bis tersedia tumpukan koran dalam keranjang sedang. Siapapun bisa mengambilnya. Awalnya saya sangat tertarik dengan koran ini, sekalian untuk mengetes kemampuan reading yang memang pas-pasan.
Seorang kawan dari Taiwan heran, kok ada koran gratis, sementara trend media cetak di dunia menunjukkan harga yang relatif meningkat setiap tahunnya. Mereka punya alibi ampuh untu kenaikan ini, mulai dari naiknya harga kertas hingga minyak dunia yang berakibat tingginya biaya operasional peliputan, dll..
Koran itu namanya METRO, setiap pagi, setiap bis dan kereta menyediakan ini sebagai teman perjalanan. Koran ini pertama kali diedarkan tahun 1999. Pada tahun-tahun pertama peluncurannya, koran ini berhasil mencetak rekor dengan jumlah pembaca sebanyak 1 juta orang. Jumlah ini terus bertahan dan tentu saja menjadi alternatif bagi pemasang iklan selain koran-koran ternama lainnya, seperti The Guardian, The Independent dll.
Sebenarnya konsep gratis ini telah dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, konsep gratis ini masih sebatas majalah yang isinya iklan semua dan diedarkan di lingkungan tertentu seperti hotel, bandara dan restoran.
Kembali ke koran gratis, masyarakat Inggris saat ini menghadapi gempuran koran gratis. Di London sendiri, selain Metro, masih ada dua koran gratis lainnya. Mereka juga tetap berkompetisi untuk menjadi bacaan gratis pilihan pembaca.
Sayangnya, koran ini tidak berkualitas dalam pemberitaannya dan cenderung konservatif. Dalam beberapa edisinya, saya sering melihat bagaimana berita-berita dari media seperti Metro tak lebih dari media yang menjual sensasi. Saat ada serdadu Inggris yang tewas di Irak, maka ini kemudian menjadi berita utama (headline). Saya lalu ingat media-media di Makassar yang melakukan hal yang sama atas dasar proximitas atau kedekatan. Saat ada kejadian di pelosok bumi lainnya, maka akan dicarilah sisi-sisi terdekat dengan Makassar atau Sulawesi Selatan. Meski kadang kedekatan itu terkesan dipaksakan dan mencederai logika. Simak contoh berita yang pernah dimuat harian Makassar itu, "Istri menteri keuangan, Suami Bugis".
Soal kualitas memang bisa diperdebatkan, tapi tengoklah bagaimana respon seseorang yang telah membacanya. Saya jarang menemukan orang yang membaca Metro lalu menyimpannya atau membawanya utk kemudian dibaca lagi. Meski konsep koran ini memang untuk dibaca dalam 20 menit, namun paling tidak kesediaan orang untuk menyimpannya adalah respon tersendiri.
Terlepas dari itu, koran gratis tetap saja menjadi ancaman serius bagi koran-koran dengan nama besar, dan tentu saja tidak gratis. The Guardian, dijual dengan harga 70p (di kampus ckp dengan 20p). Tentu saja, pilihan gratis tetap berefek kepada koran-koran tidak gratis ini.
Lalu, akankah kemudian koran-koran didapatkan dengan gratis? Ah, belum sampai kesitu arahnya..
Seorang kawan dari Taiwan heran, kok ada koran gratis, sementara trend media cetak di dunia menunjukkan harga yang relatif meningkat setiap tahunnya. Mereka punya alibi ampuh untu kenaikan ini, mulai dari naiknya harga kertas hingga minyak dunia yang berakibat tingginya biaya operasional peliputan, dll..
Koran itu namanya METRO, setiap pagi, setiap bis dan kereta menyediakan ini sebagai teman perjalanan. Koran ini pertama kali diedarkan tahun 1999. Pada tahun-tahun pertama peluncurannya, koran ini berhasil mencetak rekor dengan jumlah pembaca sebanyak 1 juta orang. Jumlah ini terus bertahan dan tentu saja menjadi alternatif bagi pemasang iklan selain koran-koran ternama lainnya, seperti The Guardian, The Independent dll.
Sebenarnya konsep gratis ini telah dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, konsep gratis ini masih sebatas majalah yang isinya iklan semua dan diedarkan di lingkungan tertentu seperti hotel, bandara dan restoran.
Kembali ke koran gratis, masyarakat Inggris saat ini menghadapi gempuran koran gratis. Di London sendiri, selain Metro, masih ada dua koran gratis lainnya. Mereka juga tetap berkompetisi untuk menjadi bacaan gratis pilihan pembaca.
Sayangnya, koran ini tidak berkualitas dalam pemberitaannya dan cenderung konservatif. Dalam beberapa edisinya, saya sering melihat bagaimana berita-berita dari media seperti Metro tak lebih dari media yang menjual sensasi. Saat ada serdadu Inggris yang tewas di Irak, maka ini kemudian menjadi berita utama (headline). Saya lalu ingat media-media di Makassar yang melakukan hal yang sama atas dasar proximitas atau kedekatan. Saat ada kejadian di pelosok bumi lainnya, maka akan dicarilah sisi-sisi terdekat dengan Makassar atau Sulawesi Selatan. Meski kadang kedekatan itu terkesan dipaksakan dan mencederai logika. Simak contoh berita yang pernah dimuat harian Makassar itu, "Istri menteri keuangan, Suami Bugis".
Soal kualitas memang bisa diperdebatkan, tapi tengoklah bagaimana respon seseorang yang telah membacanya. Saya jarang menemukan orang yang membaca Metro lalu menyimpannya atau membawanya utk kemudian dibaca lagi. Meski konsep koran ini memang untuk dibaca dalam 20 menit, namun paling tidak kesediaan orang untuk menyimpannya adalah respon tersendiri.
Terlepas dari itu, koran gratis tetap saja menjadi ancaman serius bagi koran-koran dengan nama besar, dan tentu saja tidak gratis. The Guardian, dijual dengan harga 70p (di kampus ckp dengan 20p). Tentu saja, pilihan gratis tetap berefek kepada koran-koran tidak gratis ini.
Lalu, akankah kemudian koran-koran didapatkan dengan gratis? Ah, belum sampai kesitu arahnya..
Sunday, September 24, 2006
Ramadhan Mubarakah
Kata ustad, Ramadhan itu bulan pengampunan. Sebuah bulan yang didalamnya rahmat dan hidayah Allah berlimpah... Itu kata ustad.
Karenanya, mohon ampun yang tulus atas salah dan khilaf.. Semoga puasa kali ini lebih berkualitas dan memberi makna bagi hidup yang akan dijalani.. Puasa kali ini semoga pula menjadi ajakan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih peka terhadap manusia dan kemanusiaan..
Marhaban ya Ramadhan...
(jadi ingat spanduk-spanduk rokok, obat, dan hotel dalam menyambut ramdahan...)
Karenanya, mohon ampun yang tulus atas salah dan khilaf.. Semoga puasa kali ini lebih berkualitas dan memberi makna bagi hidup yang akan dijalani.. Puasa kali ini semoga pula menjadi ajakan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih peka terhadap manusia dan kemanusiaan..
Marhaban ya Ramadhan...
(jadi ingat spanduk-spanduk rokok, obat, dan hotel dalam menyambut ramdahan...)
Tuesday, September 19, 2006
Rasis [2]
Sampai dimana kemarin? oh yah, sampai soal mahasiswa Cina.
Jumlah mereka disini dan di seluruh Inggris luar biasa banyaknya. Bayangkan, kalo naik bisa ke kampus, prakatis 90% isinya mahasiswa Cina (termasuk Taiwan). Bahkan, (ini bukan lelucon) meski kulit saya coklat (hangus) beberapa orang menganggap saya sebagai mahasiswa Cina juga... Pendapatan dari mahasiswa Cina untuk perguruan tinggi di Inggris sekitar £2 milyar (tak perlu konversi ke rupiah untuk tahu itu banyak...) , itu jumlah tahun lalu dan menurut harian The Guardian akan makin bertambah tahun ini. Apalagi, terjadi lonjakan luar biasa dalam hal pembayaran uang sekolah, khususnya untuk mahasiswa internastional.
Sebagai gambaran, mahasiswa internasional harus membayar hampir 7 kali lipat dibanding yang dibayar oleh mahasiswa dari Inggris dan Eropa. Nah, luar biasa banyaknya, bukan?
Masalahnya, karena banykanya mahasiswa Cina disini, mereka pun tak luput dari perlakuan rasis, baik dari mahasiswa, ataupun masyarakat setempat. Tahun lalu, terjadi pemukulan terhadap beberapa mahasiswa Cina, dan ini tidak mendapatkan oerhatian yang cukup dari universitas tempat mereka kuliah. Hal ini diprotes secara resmi baik oleh persatuan mahasiswa Cina yang ada di Inggris maupun jalur diplomatik resmi antara pemerintah Cina dan Inggris.
Nah, inilah yang kemudian kujawab kepada "bule-bule" itu bahwa setiap tempat memiliki deviannya, termasuk rasisme. Mereka, meski mengklaim diri sebagai liberal, tentu tak lepas dari perilaku menyimpang, yang kemudian dengan mudah mereka tunjuk hidung jika yang melakukan adalah orang lain (Indonesia).
Jumlah mereka disini dan di seluruh Inggris luar biasa banyaknya. Bayangkan, kalo naik bisa ke kampus, prakatis 90% isinya mahasiswa Cina (termasuk Taiwan). Bahkan, (ini bukan lelucon) meski kulit saya coklat (hangus) beberapa orang menganggap saya sebagai mahasiswa Cina juga... Pendapatan dari mahasiswa Cina untuk perguruan tinggi di Inggris sekitar £2 milyar (tak perlu konversi ke rupiah untuk tahu itu banyak...) , itu jumlah tahun lalu dan menurut harian The Guardian akan makin bertambah tahun ini. Apalagi, terjadi lonjakan luar biasa dalam hal pembayaran uang sekolah, khususnya untuk mahasiswa internastional.
Sebagai gambaran, mahasiswa internasional harus membayar hampir 7 kali lipat dibanding yang dibayar oleh mahasiswa dari Inggris dan Eropa. Nah, luar biasa banyaknya, bukan?
Masalahnya, karena banykanya mahasiswa Cina disini, mereka pun tak luput dari perlakuan rasis, baik dari mahasiswa, ataupun masyarakat setempat. Tahun lalu, terjadi pemukulan terhadap beberapa mahasiswa Cina, dan ini tidak mendapatkan oerhatian yang cukup dari universitas tempat mereka kuliah. Hal ini diprotes secara resmi baik oleh persatuan mahasiswa Cina yang ada di Inggris maupun jalur diplomatik resmi antara pemerintah Cina dan Inggris.
Nah, inilah yang kemudian kujawab kepada "bule-bule" itu bahwa setiap tempat memiliki deviannya, termasuk rasisme. Mereka, meski mengklaim diri sebagai liberal, tentu tak lepas dari perilaku menyimpang, yang kemudian dengan mudah mereka tunjuk hidung jika yang melakukan adalah orang lain (Indonesia).
Thursday, September 14, 2006
Rasis
Entah kenapa, berita tentang rasisme di Indonesia begitu gampang tersebar sampe ke pelosok lain bumi ini. Saya sudah terbiasa ditanya, mengapa bangsaku kian rasis padahal sempat "naik daun" karena sukses menyelanggarakan pemilu tahun 2004 lalu. Sudah hal biasa juga (terutama di negeri sendiri) untuk berasyik-masyhuk dengan predikat negara demokrasi terbesar yang berhasil menyelenggarakan pemilu dengan demokratis dan dengan tingkat partisipasi pemilih tertinggi di dunia.
Tapi semua itu tak berbekas jika kemudian dialihkan kepada tema yang sensitif bagi orang Barat. Kategoriasasi ini sebenarnya tidak pas, tapi kita pakailah untuk kemudahan identifikasi. Saya dari Indonesia maka saya masuk kategori timur, dan mereka orang Inggris, Amerika, dan Eropa pada umumnya, adalah Barat itu.
Nah, sebagian besar teman-teman banyak bertanya dan heran mengapa Indonesia, bangsa besar yang menjalankan demokrasi, masih harus berkutat dengan isu rasialisme dan ini kemudian berimplikasi bagi kaum mereka? Mereka sering mengeluh tentang sikap masyarakat Indonesia terhadap orang-orang barat.
Saya jawab dengan sederhana aja. "Itulah jika kalian coba memaksa kami untuk menganut paham yang menguntungkan Anda saja". Maksud saya seperti ini, jika menurut mereka tepat waktu, menghargai sesama, dan tidak membunuh orang (ini contoh paling ekstrim) adalah nilai mereka, berarti mereka salah. Ini adalah nilai yang universal. Komodifikasi nilai yang mereka lakukan, telah lebih banyak menipu daripada bermanfaat.
Makin bingunglah mereka, demikian pula dengan saya. Saya bahkan tak ingat telah ngomong apa. Seketika spontan aja saya jawab, orang-orang barat yang datang ke Indonesia sering kali mengeluh tentang sikap orang-orang Indonesia. Saya juga punya keluhan disini, bis kota tidak tepat waktu dan sikap rasisme mereka terhadap pelajar-pelajar asi, terutama China.
bersambung.....
Tapi semua itu tak berbekas jika kemudian dialihkan kepada tema yang sensitif bagi orang Barat. Kategoriasasi ini sebenarnya tidak pas, tapi kita pakailah untuk kemudahan identifikasi. Saya dari Indonesia maka saya masuk kategori timur, dan mereka orang Inggris, Amerika, dan Eropa pada umumnya, adalah Barat itu.
Nah, sebagian besar teman-teman banyak bertanya dan heran mengapa Indonesia, bangsa besar yang menjalankan demokrasi, masih harus berkutat dengan isu rasialisme dan ini kemudian berimplikasi bagi kaum mereka? Mereka sering mengeluh tentang sikap masyarakat Indonesia terhadap orang-orang barat.
Saya jawab dengan sederhana aja. "Itulah jika kalian coba memaksa kami untuk menganut paham yang menguntungkan Anda saja". Maksud saya seperti ini, jika menurut mereka tepat waktu, menghargai sesama, dan tidak membunuh orang (ini contoh paling ekstrim) adalah nilai mereka, berarti mereka salah. Ini adalah nilai yang universal. Komodifikasi nilai yang mereka lakukan, telah lebih banyak menipu daripada bermanfaat.
Makin bingunglah mereka, demikian pula dengan saya. Saya bahkan tak ingat telah ngomong apa. Seketika spontan aja saya jawab, orang-orang barat yang datang ke Indonesia sering kali mengeluh tentang sikap orang-orang Indonesia. Saya juga punya keluhan disini, bis kota tidak tepat waktu dan sikap rasisme mereka terhadap pelajar-pelajar asi, terutama China.
bersambung.....
Friday, September 08, 2006
Ganti Nama
"Apa arti sebuah nama", begitu kutipan populer untuk mereka yang tidak suka remeh temehnya sebuah nama. Itu pula yang saya dapatkan disini.
Teman flat saya, orang Jepang, tak habis pikir mengapa teman-teman yang berasal dari Cina, Taiwan, dan Korea bersedia diganti namanya oleh orang Inggris dengan nama yang lebih "berpihak" kepada lidah tuan rumah. Sebutlah misalnya Fredy, Brian, Darren, Tony, dan lain-lain untuk para lelaki. Nama-nama itulah yang menggantikan nama asli mereka (maaf, tidak bisa menulis contoh, saya pun mengalami kerumitan untuk melafalkannya). Untuk yang cewek, tersedia nama-nama Estella, Evy, June, dan Donna untuk meremake nama-nama asli mereka yang tak jauh beda dengan Zhang Ziyi dan lain-lain.
Kawan Jepang ini merasa tak seharusnya mereka menerima begitu saja bentuk "penjajahan" gaya baru tanah eropa. Sebab nama, menurut keyakinannya, tak sekedar deretan huruf yang tak berarti. Seperti saya, ia juga meyakini bahwa dalam nama ada harapan dan doa. Dalam nama ada gambaran tentang kehidupan.. Itu idealnya.
Mungkin bagi mereka, ini sekedar bagian dari formula komunikasi efektif. Daripada orang-orang Inggris rumit dan mereka juga harus mengulang berkali-kali saat ditanya siapa nama mereka, yah ganti nama untuk sementara bukanlah pilihan nista.
Yah, nama mungkin memang tak ubahnya pakaian tua, siap diganti dengan yang lebih trendy. Tapi bukankah baju tua tak akan dipakai lagi karena sudah ada yang baru? Mungkin harus cari analogi lain...
Teman flat saya, orang Jepang, tak habis pikir mengapa teman-teman yang berasal dari Cina, Taiwan, dan Korea bersedia diganti namanya oleh orang Inggris dengan nama yang lebih "berpihak" kepada lidah tuan rumah. Sebutlah misalnya Fredy, Brian, Darren, Tony, dan lain-lain untuk para lelaki. Nama-nama itulah yang menggantikan nama asli mereka (maaf, tidak bisa menulis contoh, saya pun mengalami kerumitan untuk melafalkannya). Untuk yang cewek, tersedia nama-nama Estella, Evy, June, dan Donna untuk meremake nama-nama asli mereka yang tak jauh beda dengan Zhang Ziyi dan lain-lain.
Kawan Jepang ini merasa tak seharusnya mereka menerima begitu saja bentuk "penjajahan" gaya baru tanah eropa. Sebab nama, menurut keyakinannya, tak sekedar deretan huruf yang tak berarti. Seperti saya, ia juga meyakini bahwa dalam nama ada harapan dan doa. Dalam nama ada gambaran tentang kehidupan.. Itu idealnya.
Mungkin bagi mereka, ini sekedar bagian dari formula komunikasi efektif. Daripada orang-orang Inggris rumit dan mereka juga harus mengulang berkali-kali saat ditanya siapa nama mereka, yah ganti nama untuk sementara bukanlah pilihan nista.
Yah, nama mungkin memang tak ubahnya pakaian tua, siap diganti dengan yang lebih trendy. Tapi bukankah baju tua tak akan dipakai lagi karena sudah ada yang baru? Mungkin harus cari analogi lain...
Saturday, September 02, 2006
Please welcome, Ice Cube
Jumat kali ini saya bisa menghadiri shalat jumat lebih awal. Sebelumnya, saya harus ikhlas tidak shalat jumat (biar terkesan bukan karena malas...) karena jadwal kuliahnya yang hingga jam 1.30 siang.
Universitas menyediakan satu ruangan yang dipake oleh seluruh mahasiswa untuk melakukan ritual agama. Khusus hari jumat, mahasiswa muslim yang menggunakannya. Hari-hari lain, biasanya dipakai bergantian oleh komunitas-komunitas agama yang ada. Ehm, demokratis juga tempat ibadah ini.
Seharusnya khatib sudah naik mimbar, karena waktu telah menunjukkan masuknya waktu shalat. Namun sampai seluruh saf terisi, belum satupun yang naik. Tiba-tiba masuk seorang jamaah berparas timur tengah membawa tas olahraga besar merek NIKE, dengan jaket sporty dan juga kaos oblong dalam bermerek sama dengan tasnya. Ia langsung mengambil posisi di saf depan langsung naik mimbar memberi salam..
Oh, ternyata dia khatibnya. Awalnya aku kira mahassiwa yang mampir shalat jumat setelah menghadiri pesta rap atau latihan di gym. Malah aku kira juga ia mengidolakan Ice Cube, penyanyi rap Amerika yang main di film triple X seri 2, karena penampilannya yang mirip. Oh, ternyata dia khatib kita.
Please welcome, ice cube.....
Universitas menyediakan satu ruangan yang dipake oleh seluruh mahasiswa untuk melakukan ritual agama. Khusus hari jumat, mahasiswa muslim yang menggunakannya. Hari-hari lain, biasanya dipakai bergantian oleh komunitas-komunitas agama yang ada. Ehm, demokratis juga tempat ibadah ini.
Seharusnya khatib sudah naik mimbar, karena waktu telah menunjukkan masuknya waktu shalat. Namun sampai seluruh saf terisi, belum satupun yang naik. Tiba-tiba masuk seorang jamaah berparas timur tengah membawa tas olahraga besar merek NIKE, dengan jaket sporty dan juga kaos oblong dalam bermerek sama dengan tasnya. Ia langsung mengambil posisi di saf depan langsung naik mimbar memberi salam..
Oh, ternyata dia khatibnya. Awalnya aku kira mahassiwa yang mampir shalat jumat setelah menghadiri pesta rap atau latihan di gym. Malah aku kira juga ia mengidolakan Ice Cube, penyanyi rap Amerika yang main di film triple X seri 2, karena penampilannya yang mirip. Oh, ternyata dia khatib kita.
Please welcome, ice cube.....
Subscribe to:
Posts (Atom)