Friday, July 30, 2004

kematian

selasa, 27 Juli, banyak pesan singkat yang saya terima. isinya sama, turut berduka cita atas kematian kakekku dan berharap aku sabar menghadapi kenyataan ini. saat mendengar berita kematian kakek saya memang sedang bersama beberapa kawan. jadi aku tak heran kenapa berita ini bisa tersebar.

tapi benarkah aku berduka, sedih dan terisak? fisicly mungkin ya. beberapa titik airmata keluar, rupa sedih pun ada (begitu kata orang yang liat, soalnya aku sendiri tidak perhatikan). tapi jujur, perasaan itu semua lebih karena kondisi di sekitarku yang memancing. tapi batin ini rasanya "biasa-biasa" saja. maksudnya seperti ini, kematian tak mengharuskanku untuk menangis dan sedih habis-habisan. saya juga merasa tak punya cukup alasan untuk meraung-raung dan menjadi pendiam. ringkasnya, kematian bagiku layaknya rutinitas, seperti makan, buang air, shalat dan lain sebagainya. walaupun kakekku ini kurasa sangat berkontribusi membuatku sebagai anak-anak sejati. ia yang memberikanku pengalaman menyenangkan sebagai anak-anak, saat almarhum ayahku tidak bisa (untuk tidak mengatakan tidak pernah), walau sekedar membelikanku mainan kecil, misalnya.

gejala ini bukannya tak mendapat perlawanan berarti dari diri ini sendiri. dengan gejala itu kadang saya berfikir bahwa aku ini kafir, sudah tertutup hati ini (semoga tidak). kadang pula kubayangkan kemunafikan luar biasa yang kulakoni. sebab, lumrah kan nangis dan sedih. ah, aku ini kenapa ya????

pertanyaan ini sedikit terjawab ketika beberapa hari kemudian setelah kematian kakek aku kembali ke rumah. jika biasanya tak ada rasa takut dalam diri ketika hendak tidur, walau sendirian di rumah, saat itu tiba-tiba muncul rasa takut. takut akan kematian yang juga akan menimpa diriku. tiba-tiba saja aku merasa takut bahwa ketika aku mati tak ada lagi yang meratapi dan sedih akan kematianku. bukan ratap itu betul yang membuatku takut, tapi kehilangan perhatian dan ...................(bersambung)