Tuesday, January 30, 2007

Puisi Cinta dalam Perjalanan

Divisi apa yang paling berat dalam sebuah perusahaan? Pemasaran, marketing kerennya, begitu kata seorang kawan yang telah bekerja di salah satu bank swasta. Sebagai bagian dari divisi “menjual” [sebagaimana yang banyak dipahami dari konsep marketing] ini, ia dituntut untuk mencapai bahkan melampaui target jumlah nasabah dan jumlah duit yang mengucur sebagai kredit.

Itu kalau kita bicara dalam konteks bank, sebagai bisnis. Lalu bagaimanakah marketing dalam konteks kekinian? [duhh..kekinian bow]

Saya tak minat untuk membahasnya secara filosifis dan sok akademis, tapi lebih suka melihatnya dari sudut aplikasinya. Saat berada di train station menanti kereta, selain jejeran bilboard produk-produk ”biasa” [paket liburan, pilem baru, pakaian model baru, makanan dan minuman—pokoknya yang mass product deh..] tak sedikit bilboard atau iklan yang memasarkan buku [kebanyakan novel] baru.

Ini mungkin ada kaitannya dengan kebiasaan masyarakat disini untuk mengisi waktu dalam perjalanan dengan membaca. Maka seluruh stasiun kereta menjadi lahan yang ”basah” untuk novel dan buku baru memperkenalkan diri. Ini mungkin biasa saja, namun konsep marketing dari penerbit dan novelis sungguh jitu dan lebih mengena.

Maka ketika dulu saya sering mendengar dari orang-orang yang pernah ke luar negeri bahwa masyarakat barat [dan juga Jepang] menjadi pintar karena banyak membaca, saya jadi curiga, ada penerbit yang ”bermain” di sana [waduh, kok saya tiba-tiba jadi senang dengan teori konspirasi...].

Buku, novel, itu produk yang tangible. Lalu bagaimana dengan memasarkan pengetahuan, konsep atau pemahaman yang intangible atau bisalah kita kategorikan sebagai kampanye?

***

What am I after all but a child,
pleas`d with the sound of my own name?
repeating it over and over;
I stand apart to hear - it never tires me.

To you your name also;
Did you think there was nothing but two or three
pronunciations in the sound of your name?

(Walt Whitman, 1819 - 92)

London Underground membuat saya terkesima. Berbeda dengan kemarin-kemarin, sekarang ada yang baru di Underground. Poem on the Underground, ini semacam kampanye untuk mencintai puisi atau mengenalkan puisi kepada masyarakat. Tak perlu menjadi sadar dan menjadi sok puitis, targetnya sekedar bagaimana puisi bisa menjadi kata batin dari masyarakat. Hal yang sama rasanya pernah dilakukan juga oleh pengembang apartemen mewah di Jakarta, namun apa motifnya, saya tidak tahu.

Maka saat menuju restoran Mawar [rumah makan Malaysia dengan rasa yang sangat pas di lidah kampoeng saya] dan saat balik ke Marylebone, di tube saya bisa menikmati puisi dari Whitman di atas. Atau juga Henry Vaughan [jujur, saya tidak tahu siapa dia…] yang judulnya “from the world”, atau ada juga puisi “No man is an Island” dari John Donne. Kampanye ini telah berjalan sejak 1986 dan setiap tahun, puisi-puisi yang dipajang di Underground dibukukan dan dijual lagi kepada masyarakat. Nah, bisnis lagi, kan?

Jangan Tanya saya mengenai puisi-puisi itu dan penciptanya, teman Aan ini mungkin lebih tahu. Atau bisa juga tanya wartawan Ahmad, yang juga pandai berpuisi. Tapi yang pasti, ini sebuah bentuk “percakapan” antara penyair dan masyarakat, yang dalam pandangan saya penyair juga manusia dan juga harus membumi serta memasyarakat. Yang terpenting, puisi-puisi itu seperti meneduhkan dari panasnya rutinitas kota besar. Analisis ini bias saja keliru, karena saya memang tidak ahli dalam bidang ini, meski juga tetap tidak ahli dalam bidang yang lain..he..he..

Lalu, ada apa dengan iklan buku di stasiun dan puisi cinta di kereta bawah tanah itu? Kreatifitas dan visi berjalin padu untuk sebuah tujuan. Ga perlu genit ngomong kapitalisme dan produk barat segala, terlalu jauh dan memang saya tidak mengarah ke sana. Yang saya ingin sampaikan sekedar bagaimana menyiasati kendala dan mengubahnya menjadi sebuah peluang dengan segala inovasi dan kreasi. Selain itu, ini merupakan konsep menarik yang bisa dikembangkan. Itu saja.

Friday, January 26, 2007

PSM tidak "Jantan"

Beberapa hari belakangan ini, topik berita mengenai pemanfaatan APBD bagi klub-klub sepakbola di Indonesia menjadi hangat. Namun sayangnya, ini tidak menular juga kepada media-media lokal di Makassar. Entah saya yang luput dalam membacanya atau mereka memang tidak minat. Tidak ada satupun media yang coba mempertanyakan penggunaan Rp 15 milyar APBD [Sulsel dan Makassar] oleh PSM.

Dana sejumlah ini, tercatat resmi namun tidak terutup kemungkinan jumlahnya lebih besar lagi. Sebab modus operandi titip-titip dalam mata anggaran di APBD bukan lagi hal yang luar biasa. Dana yang dianggarkan di dinas tertentu belum tentu untuk kepentingan dinas itu, apalagi jika mata anggarannya memang sudah "abu-abu" seperti "biaya tak terduga" [kalo yang ini lazim dalam proposal mahasiswa, meski aturan akuntansi sebenarnya tidak melazimkan hal ini].

Soal media lokal yang tidak menyinggung masalah APBD dan PSM bisa jadi karena tidak ada juga pihak di Makassar yang merasa itu adalah tindakan yang salah dan patut dipertanyakan. Atau adakah hal lain yang berpengaruh? Sebab dari pengakuan seorang kawan yang dulu sempat bekerja di salah satu harian di Makassar, PSM masih menjadi topik yang "marketable" sehingga sayang jika lahan subur ini diterlantarkan, atau kasarnya diserang.

Alasan itu juga yang saya kira menjadi salah satu faktor yang membuat PSM tidak maju-maju. Lho, kok bisa? Ya karena dalam berberita, media-media lokal ini selalu menempatkan PSM serupa barang yang tak terjamah. Jika PSM kalah, judul yang digunakan tak jauh dari, "PSM kurang beruntung", atau judul-judul lain yang jadul banget. Pokoknya, tidak pernah saya baca
kritik "keras" soal strategi atau kesalahan PSM. Tidak pernah pula saya baca soal ulasan mengenai bagaimana memperbaiki PSM dari sisi manajemen atau kaderisasi. Yang ada hanya sensasi-sensasi sempit dan berita seputar manajer, walikota, dan pejabat yang bicara soal memburu pemain dari negara ini atau pelatih itu.

Nah, soal penggunaan dana APBD ini tentunya tidak begitu menarik. Dan yang pasti, itu tadi, ada pasar yang harus dijaga stabilitasnya.. APBD merupakan dana "bantuan" dari masyarakat yang dibayarkan melalui pajak dan berbagai macam retribusi. Target wajib pajak dan retribusi ini pun tidak hanya terbatas pada mereka yang berpunya dan berkelebihan. Meski begitu, penggunaannya kadang kala tidak bisa dipertanggungjawabkan dan lebih sering tidak kembali kepada masyarakat, awal dari uang itu menjadi ada. Dana APBD untuk PSM itulah salah satu contohnya. Soal pelanggaran formal dan model penyimpangannya yang beragam, bisa
dilihat di kompas. Aturan-aturan formal dari departemen dalam negeri dan peraturan dalam penerbitan APBD, sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan bahwa seharusnya PSM digugat.

Saya sendiri sejak lama berpikiran seperti ini. Kalau PSM dapat dana dari APBD, maka penonton ga perlu bayar masuk stadion. Bukankah itu uang mereka juga? Lah, bukannya gratis, karcisnya malah mahal dan fasilitas yang didapat rasanya tidak sepadan dengan yang dibayarkan penonton. Ini mungkin relatif juga sih, tapi paling tidak, dengan membayar karcis
dengan jumlah tertentu itu, seharusnya ada pula value added yang didapat penonton. Kalau masuk stadion harus siap-siap helem, entah nilai tambah apa yang didapat. Lalu, kalau bukan dari APBD dari mana klub mendapatkan dana?

Yah dijual aja dunk.. Pertanyaannya kemudian, emang ada yang mau beli? Nah, ini saya agak ragu, tapi ada lah pastinya. Selama PSM bisa terlepas dari pengaruh politik dan kekuasaan, ia tentu saja merupakan target bisnis yang menjanjikan. Dan satu lagi, banyak saudagar kaya yang rajin berkumpul tiap tahun di Makassar. Daripada mereka ngomong terlalu jauh tentang peran [yang tak pernah juga terealisasi] mereka terhadap pembangunan Makassar, mending beli dan kelola deh itu PSM. Tapi sekali lagi, itu bisa terwujud jika PSM benar-benar bisa lepas dari pengaruh kekuasaan.

Tak habis pikir saya, dari dulu bicara soal kejayaan PSM tapi manajernya masih merangkap sebagai walikota. Sebenarnya wajar sih, karena mayoritas dana yang diperoleh PSM berasal dari APBD kota Makassar, maka sebagai pemilik saham terbesar, ia berhak untuk menempatkan walikota sebagai CEO. Namun sebenarnya, karena dana APBD, pemilik saham terbesar kan masyarakat? Maka masyarakat dunk yang harus menentukan. Kalau sekarang
walikota jadi pemimpin di klub, yang putuskan siapa ya? Perasaan ga pernah ada "rapat umum pemegang saham" yang melibatkan seluruh shareholder yang ada. Kembali ke soal ide menjual PSM. Ini tentu saja banyak rintangan dan banyak pihak yang bakal berontak kehilangan lahan. Seorang kawan dari Medan bercerita bahwa kelompok suporter PSMS Medan [saya lupa namanya] yang memiliki usaha menjual pernak-pernik klub dimiliki oleh anak walikota, yang tak lain manajer klub. Anehnya, meki membawa nama klub namun hasil dari penjualan pernak pernik itu tak pernah masuk dalam kas PSMS Medan sebagai pemilik merek dan logo. Tak pernah pula kelompok suporter lainnya mendapatkan keuntungan atas dipakainya nama mereka.

Nah, kondisi serupa rasanya terjadi di PSM. Meski untuk ini saya tidak tahu banyak, tapi yang pasti banyak lahan yang akan tergusur. Kreatifitas, itu kata kuncinya. Memang dalam kondisi tidak pasti dan masih banyak hal yang menghuni deretan atas dalam skala prioritas pembangunan dan berkehidupan, bisnis sepakbola menjadi kelihatan abu-abu. Tapi kan harus dimulai jika memang 15 milyar dana APBD itu lebih berguna jika dipakai untuk bangun sekolah atau puskesmas. Kompetisi harus sudah punya tujuan tak sekedar membuat keramaian, dan bahkan keributan.

So, saatnya PSM untuk lebih "jantan" dan bukan lagi anak ayam yang hanya bisa hidup dari APBD.

Saturday, January 20, 2007

Membincangkan Tuhan

Beberapa waktu belakangan ini, milis tempat pelajar dan masyarakat Indonesia di sini ramai dengan polemik tentang Tuhan. Awalnya ketika seseorang memposting puisi yang ternyata diforward juga dari milis yang lain. Puisi ini biasa aja sebenarnya, paling tidak begitu bagi saya yang tidak puitis dan tidak pandai berpuisi ini. Dalam setiap baitnya, puisi ini seperti menggugat tuhan dan manusia yang menyembahnya.

Kontan ini menjadi sasaran tembak dan tempat munculnya kata-kata yang sejak awal lahirnya milis, tak pernah muncul kata-kata seperti itu. Kok bisa tahu? Iya, soalnya alumni-alumni dan sesepuh milis pada ikut nimbrung juga. Jadilah perdebatan terus dan tak berujung. Seperti membincangkan soal telur dan ayam. Ada yang coba menjedanya dengan memposting kasus korupsi dan model pengembangan manajemen di tubuh salah satu BUMN. Tetap saja, ujung-ujungnya Tuhan dan agama menjadi terdakwa dengan banyaknya bencana dan korupsi.

Memperbincangkan Tuhan, memang lebih mudah daripada mendengar sabda-Nya..

Saturday, January 13, 2007

Vacuum Cleaner

Kemarin ada surat yang diantar ke Flat kami. Surat dari City Council yang memberitahukan bahwa akan ada proyek pembangunan di sekitar wilayah kami tinggal. Dalam surat itu juga dijelaskan dengan lengkap tentang proyek apa saja yang akann dilaksanakan dan kaitannya dengan masyarakat di sekitar wilayah proyek itu. Misalnya, akan ada jam-jam dimana truk-truk besar lewat di jalan dan akan sedikit mengganggu kelancaran pengguna jalan. Namun peringatan ini disertai jaminan bahwa truk-truk itu akan selalu dibersihkan sebelum mereka masuk jalan dan juga masyarakat yang akan kena dampak debu ini akan diberikan kompensasi dengan pembersihan kaca rumah holeh petugas dari city council. Ada juga imbauan untuk menghindari jalan-jalan tertentu untuk tidak terjebak kemacetan, termasuk alternatif jalan yang bisa dilalui. Ada pula prosedur yang bisa ditempuh jika masyakarat di wilayah itu merasa berat dan tidak terima. Pokoknya lengkaplah..

Bukan untuk genit-genitan membandingkan dengan kondisi di tanah air, apalagi proses seperti ini di kota yang modern ini sudah dianggap lazim dan biasa aja tuh.. Tapi tiba-tiba saya ingat kampung saya. Ini benar-benar kampung, namanya saja kampung bugis, di Batangase itu. Ya, kampung bugis yang berbatangase atau batangase yang berkampung bugis, [apaan sih...]. Saya ingat ketika itu jalan di kampung kami dan yang depan rumah setiap saat dilalui oleh truk-truk berbadan besar mengangkut tanah galian dan juga batu gunung. Dampaknya tentu rumah yang ada di dekat jalan kebagian debu dan serpihan batu yang memang wajar sebab truk-truk itu hanya ditutupi terpal seadanya. Sangat seadanya bahkan.. Saya ingat pula saya dan ibu saya yang sudah tua itu harsu "rajin" menyapu dan membersihkan rumah. Tak cukup rasanya membersihkan hanya tiga kali sehari, sebab setelah bersih, selalu ada debu dan kotoran baru yang menanti untuk dibersihkan. Bayangkan betapa tersiksanya kami di kampung itu, yang saya jamin tidak ada satupun rumah yang memiliki vacuum cleaner.

Tak tahan dengan ini, saya lalu mengajak anak-anak muda di sektar rumah untuk memblokir jalan dan menahan truk. Alasan saya, truk-truk itu melanggar Perda yang menerangkan bahwa badan jalan seukuran jalan di kampung kami hanya boleh dilalui oleh kendaran dengan bobot tak lebih dari 8 ton. Sedang truk-truk itu, saya jamin lebih dari 10 ton. Jalan yang belum setahun diperbaiki itu tentu saja akan rusak sebelum waktunya. Belum lagi dampak lingkungan [ini biar keren aja ketimbang ngomong masalah debu] yang diakibatkannya. Saya menawarkan diri untuk menjadi koordinator jika tidak ada yang mau.

Saya malah diminta sabar aja. Tindakan yang saya tawarkan itu ternyata telah dilakukan sebelumnya, jangan tanya kenapa saya kok tidak tahu kondisi kampung saya sendiri. Anak-anak muda dan masyarakat sekitar bergabung menutup jalan. Sebabnya karena truk-truk itu tak hanya memberikan debu dan kekotoran, tapi juga sudah merusak rumah masyarakat dengan serpihan batu yang merusak atap dan kaca rumah. Masyarakat protes dan meminta tanggung jawab perusahaan pengangkut tanah galian itu.

Apa yang terjadi kemudian? Bukannya dialog dan diskusi yang mereka terima, namun serangan mendadak dari se truk tentara yang menyerang dan membongkar palang jalan yang dipasang masyarakat. Mereka diminta bubar dan diminta pua untuk tidak mengganggu proses pembangunan kota yang sedang dilakukan, yang salah satunya membutuhkan tanah-tanah galian dari kampung kami untuk menyolek kota Makassar. Yang akan melawan, diultimatum akan "diproses" secara tentarawi [manusiawi, kali...]. Mungkin pikir tentara-tentara itu seharusnya kami paham dengan stiker yang ditempel di setiap kaca depan truk "Proyek pembangunan XXXX, Koperasi Kostrad Kodam VII Wirabuana" [ini kalo ga salah, tp temanya seperti itulah...].

Begitulah, masyarakat masih dianggap tak punya hak untuk sekedar berpendapat atau dimintai pendapat. Soal kampung saya yang makin berdebu dan hilang kemolekannya, tak jadi soal. Toh selalu ada tumbal untuk proses pembangunan.

Membayangkan ibu saya di rumah dan menerima surat seperti diatas, rasanya masih lama. Bukan pada masalah bisa atau tidak saya pikir. Bagi saya, itu tak lebih dari keinginan dan itikad dari pelaksana itu ada atau tidak. Jangan bicara soal AMDAL yang selalu dijadikan senjata andalan oleh pengembang dan pengusaha, sebab proses penyusunannya pun tidak benar. Universitas yang diminta membuat [mungkin agar terkesan ilmiah dan bertanggung jawab] pun tidak pernah menempatkan masyarakat sebagai subjek. Analisisnya pun kadang berdasar pesanan.

Kabar terakhir, truk-truk itu masih berseliweran di jalan di kampung kami. Entah untuk proyek apa lagi, dan entah bukit mana lagi dari kampung kami yang akan dikeruk. Sebab seingat saya, bukit yang hijau dan indah dipandang itu, beberapa diantaranya telah berubah jadi kubangan air, biar indah, kita sebut saja danau buatan. Lalu mau bagaimana lagi? Masalah ini pernah diangkat koran lokal, namun kelanjutannya tidak ada, termasuk tanggapan dari mereka yang berwenang dan bertanggung jawab.

Kampung bugis.. Ah, ibu saya pasti sedang istirahat setelah lelah membersihkan hari ini.. Ingin rasanya membelikannya vacuum cleaner.

Tuesday, January 09, 2007

Just Do As I Say

Hari-hari belakangan ini mantan menteri pendidikan dari partai Buruh menjadi sasaran kritik. Bukan atas kebijakan menyangkut publik yang membuatnya tersorot, namun pada pilihan dan keputusannya "sebagai seorang ibu". Sorotan ditujukan saat ia memindahkan anaknya dari sekolah negeri (state) ke sekolah private, yang biayanya £15.000/thn (sungguh, ini lebih mahal dari biaya MBA di school of business) yang baginya lebih bisa memenuhi kebutuhan spesifik sang anak yang menderita penyakit dislexia.

Bagi banyak orang Inggris, ini adalah bentuk hypocrite dari seorang pejabat publik, yang seharusnya memberi contoh. Terkesan berlebihan, namun masalahnya bahwa Ruth Kelly adalah pejabat dibidang pendidikan. Keputusan "pribadi"nya tentu saja memberi kesan bahwa pendidikan yang disediakan oleh negara tidak dapat memenuhi kebutuhan dari peserta didik. Ini pula yang makin membuat masyarakat berkomentar bahwa politikus itu hanya berpikiran, "do as I say not as I do".

Simpati dan dukungan bukannya tidak ada untuk Kelly. Banyak pihak juga yang berpikir bahwa itu adalah haknya sebagai orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Sebagai orang tua, apalagi dengan kemampuan finansial yang memadai, apa salahnya? Terlepas dari itu semua, saya lalu ingat bagaimana perilakuu pejabat publik di Indonesia. Tak ada hubungannya dengan membandingkan maju atau tidaknya sebuah negeri. Bagi saya, pejabat publik tetap saja harus menanamkan pikiran sebagai pelayan, yang termasuk didalamnya mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Ideal? Bagi saya tidak,sederhana saja dan sudah pernah ada yang memberi contoh. Hatta, Agussalim, Lopa, dan banyak lagi lainnya.

Konteksnya tentu beda dengan sekarang, namun paling tidak kebijakan publik itu betul-betul didasarkan pada kebutuhan publik dan adanya satu pikiran dan perbuatan. Sekali lagi, ini mungkin hypocrite juga dalam bentuknya yang berbeda, sebab seperti menafikkan pragmatisme yang bisa saja ada dalam diri setiap orang.

Tapi tetaplah, kita jika kita tilik dari perilaku mereka, yang kadang mencederai logika. Tengoklah APBD yang kebanyakan isinya pembiayaan untuk meningkatkan kenyamanan pejabat dan politikus. Saya masih ingat bagaimana salah satu item di APBD merupakan titipan dari seorang anggota dewan. Agar tidak melanggar aturan normatif yang ada, titipan itu diterbitkan bersama dengan rancangan biaya dari salah satu dinas. Jadi, proyek yang dirancangkan di APBD melalui dinas itu sesungguhnya pesanan anggota dewan. Ini satu contoh saja, yang tentu tidak menghapus jejak bahwa masih ada dari mereka yang baik dan tetap berada on the right track sebagai seorang pejabat.

Okelah, ini soal penyimpangan yang memang di negara manapun memiliki penyakit yang sama. Tapi yang lain juga banyak kita lihat bagaimana pejabat kebanyakan menikmati fasilitas luar biasa sementara rakyatnya sibuk menyelamatkan diri dari banyak bencana. Alasan membeli mobil dinas baru, misalnya. Yang lain, bagaimana pejabat publik berkoar untuk meminta masyarakat mengencangkan ikat pinggang, sementara mal dan pertokoan ramai dengan mobil dinas. Atau seruan untuk menyumbang dan saling membantu tidak pernah dibarengi dengan contoh nyata dari pejabat itu sendiri.

Kelly memang tidak bersalah, dan disini ia juga tidak sepi simpati. Tony Blair, bosnya dan David Cameron pemimpin partai oposisi tetap mendukungnya dengan alasan itu adalah hak pribadi. Tapi menarik apa yang diungkapkan oleh seorang pembaca di koran lokal, "She's not obliged to send her children to state school any more than we are obliged to vote for her".

Kalau soal Kelly ini saja sudah mendapat banyak sorotan, yang menurut saya itu benar hak pribadi dia sebagai ibu, bagaimana dengan soal lain yang kadang mencederai logika itu?

Tuesday, January 02, 2007

Person of The Year

Hidup manusia kembali terpenggal dengan tahun. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia, begitu kata orang bijak. Lalu, apa yang tersisa dari 2006?

Time, sebagaimana biasanya setiap akhir tahun, selalu membuat ulasan person of the year. Kali ini tokohnya adalah, saya, Anda, dan semua orang. Ya, jaman revolusi teknologi telah menempatkan semua orang menjadi berada di barisan depan dalam hal pengaruh. Terlepas dari kontroversi disekelilingnya, Youtube telah mensahihkan ini. Semua orang menjadi begitu penting, atau paling tidak merasa penting. Dan jangan salah, banyak hal yang dianggap kecil, kemudian menjadi besar dengan portal ini.

Kisah Sidarth yang mengalami diskriminasi rasial oleh senator negara bagian Virginia menjadi terbuka di Youtube. Perbincangan dan diskusi panjang juga turut menyertainya.

Youtube hanyalah salah satu contoh tentang bagaimana masyarakat sekarang bisa mengambil peran yang dulu menjadi monopoli segelintir profesi. Terlepas dari itu, person of the year juga merefleksikan banyak hal, termasuk bagaimana orang-orang "biasa" yang mampu mengesankan banyak orang yang mengaku "luar biasa".

Blake Ross, mungkin bukan nama asing bagi pencinta open sources. Proyeknya Netscape yang kemudian bermetamorfosis menjadi Firefox 2.0 adalah sebagian dari perwujudan idealismenya untuk menantang kepongahan Microsoft. Makanya, ketika membaca berita pemerintah Indonesia melakukan kerjasama (tidak saling menguntungkan) dengan Microsoft baru-baru ini, tidak aneh jika banyak pihak yang mempertanyakannya. Wong ada yang gratis dan lebih mudah, kok pilih yang mahal???

Begitulah, tahun telah berganti. Banyak personal resollution yang telah diikrarkan sebelum tahun berganti. Orang-orang biasa, dengan pilihan untuk tidak berjejal dalam satu dimensi itu, pasti punya resolusi sendiri, yang kadang malah jauh dari kemulukan.

Lalu, apa resolusi pribadi saya kali ini? Tak muluk-muluk, tak juga berharap serupa Chad Hurley dan Steve Chen, punggawa Youtube itu yang kaya mendadak dengan duit $1.65 milyar. Ehm, cukup...