Thursday, March 03, 2005

Keteguhan Warimen

Ini cerita tentang keteguhan. Meski tak ada satu teori bisnis pun yang mendukung keteguhan macam ini. Namanya Warimen, seorang jawa yang telah lama tinggal di kompleks tempat saya tinggal. Waktu SD dulu, rumahnya adalah tempat yang paling kami minati. Jendela depan rumahnya adalah etalase baginya untuk memajang barang dagangannya.

Ada ludo, ular tangga, kwartet, layang-layang sampai robot-robotan voltus dan topeng superman, yang semuanya diatur seadanya tanpa berhitung soal estetika dan trik menjaring pembeli sebagaimana lazim digunakan di supermarket dan swalayan. Saat itu, permainan yang dijualnya menjadi barometer kemajuan sebuah dunia yang hari ini menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pebisnis yang mengatasnamakan kegembiraan dan kebahagiaan, meski muaranya tentu adalah proses kapitalisasi. Tentu saja, jangan masukkan anak kota sebagai variabel pembandingnya.

Yang mengagumkan, sampai satu dekade waktu berlalu, ia tetap dengan setia menjalani profesinya. Kemarin aku iseng lewat depan rumahnya dan jendela itu masih menjadi etalase yang begitu menggoda hasrat kanak-kanak. Meski jenis permainan yang ada juga telah melewati evolusi yang entah sudah keberapa kalinya.

Hari itu kulihat beberapa anak usia lima dan enam tahun berkumpul dan mungkin saja memperbincangkan tentang bagaimana mereka mencari jalan untuk mendapatkan sebuah permainan yang menarik, seperti yang aku dan teman-teman lakukan ketika kami duduk di beranda rumahnya dulu. Ingatan masa kecil ini membangkitkan rasa tersendiri bagiku.

Tapi diluar kenangan yang kadang menjadi candu, adalah konsistensinya itu lho, untuk eksis di jalur bisnis yang sungguh, teori bisnis tak sempat menyentuhnya. Jangan tanya positioning dan penetrasi pasar kepadanya. Jangan pula kau tanya tentang difrensiasi usaha yang sepatutnya telah ia lakukan mengingat rentang waktu yang begitu panjang. Satu yang pasti, jendela itu tetap menjadi etalase, lengkap dengan tata letak dan desain seadanya. Masih juga ada ular tangga dan ludo disana.

Ia bisa (dan saya memang yakin) saja mengubah arah bisnisnya ke arah yang lebih jelas. Dibanding ia menghabiskan energi untuk sebuah bisnis yang kurang menjanjikan di tengah gempuran permainan digital namun minim interaksi seperti saat ini. Kalau toh untung yang betul-betul jadi motivasi, berapa sih keuntungan dari menjual permainan kertas seperti itu, apalagi ia tidak menjual dalam partai besar? Tapi bukan itu yang ditempuhnya. Ia tetap setia melayani anak-anak dengan segala kenakalannya. Tetap pula dengan jualan yang itu-itu juga. Aku berfikir, bukan semata bisnis yang menjadi nafasnya. Ada semangat untuk tetap mendidik anak menjadi “nakal” dengan caranya, meski untuk itu ia harus berhadapan dengan sinisme para orang tua yang merasa keberatan karena anaknya yang sering merengek minta dibelikan permainan.

Di tengah kegersangan hidup bangsa ini, masih ada Warimen yang menyajikan konsistensi dan keteguhan, meski dengan jalan dan penafsiran yang berbeda.

1 comment:

Anonymous said...

dgsdgsdg