Saturday, November 06, 2004

sia-sia



Kebenaran hari ini tidak lagi selalu berhadapan frontal dengan ketidakbenaran, seperti di film-film India. Tapi kebenaran satu sisi justru melawan kebenaran yang lain. Entahlah, rasanya memang ada banyak kebenaran yang terlalu dihayati dengan membabi buta. Kebenaran anutan kita yang menyakiti dan menistakan orang lain.


kudengar ada sedikit konflik internal di "rumah"ku dulu, identitas. sebenarnya konflik dan intrik tak pernah jauh-jauh dari tempat ini. ada saja yang bisa dijadikan pelatuk untuk sekedar membuat konflik kecil-kecilan. sebab ujung-ujungnya tentu maccalla, yang bagi sebagian besar penghuni identitas adalah sebuah kebiasaan yang menyenangkan.

tapi kurasa konflik ini agak terasa lain, baik dalam nuansa maupun bobotnya. anak magang kembali menjadi pemicu dari semua ini. anak magang, memang ditakdirkan untuk menjadi pemicu, barangkali. ceritanya begini, beberapa kru tidak bisa menerima intervensi atau campur tangan beberapa alumni yang sampai mengurusi urusan keredaksian, salah satunya adalah kaderisasi dan pembekalan bagi magang. tingkah beberapa alumni dinilai sudah over-acting alias tallewa-lewa (ini ungkapan asli sang kru yang bercerita kepadaku). saking berlebihannya, para kru pun tidak lagi diberi peran dan praktis semua hal dalam kaitannya dengan pemagangan diambil alih oleh alumni.

mereka pun (kru) merencanakanr apat aksi, dan parahnya yang dipilih sebagai tempat pelaksanaannya adalah rumah kontrakan saya. meski aku pada dasarnya tidak setuju, tapi kuterima saja niat mereka dan berkata bahwa yang tanggung jawab adalah mereka sendiri.

aku tidak bicara soal siapa benar dan siapa yang salah. meski sejujurnya kedua mereka salah, setidaknya menurut perhitungan kasarku. aku selalu tidak merasa comfort bila ada senior yang selalu dan cenderung mengintervensi. sebab aku percaya bahwa everybody has the right for their own history, betapapun jeleknya itu!! kalau toh kita merasa bahwa ini adalah upaya untuk kita mneyelamatkan identitas sebagai sebuah organisasi, tidakkah kita sudah meletakkan penilaian subyektif bahwa kita jauh lebih baik dari mereka? lalu dalam ukuran apa? sebab, dinamika yang kita hadapi dan yang mereka hadapi tentulah tidak sama. tantangan dan strategi menghadapinya pun tentulah berbeda. kecendrungan ini yang saya coba pegang dan pertahankan, termasuk saat di senat mahasiswa dulu.

para kru pun bukannya tanpa celah. mereka seperti berasyik masyhuk dengan dunianya sehingga melupakan esensi dari kerja-kerja media. hampir tidak ada pembekalan substansial yang diperoleh maganga, selain kedekatan emosional yang dangkal dan cendereung membodohkan saja. dari mereka pun aku diminta untuk membantu, tapi kukatakan tidak. sebab menjadi martir untuk sesuatu yang sia-sia adalah konyol. dan mereka, kuanggpa seperti itu. sebab mereka cuma tahu menghujat tingkah alumni tanpa pernah berfikir dan merencanakan apa yang akan mereka lakukan.

saya pun dihadapkan pada dua kubu yang sudah seperti "pasang badan" dan tampak seperti valdemort yang angkuh. tapi aku percaya, everybody has the right for their own history, bukanlah kalimat sakral tanpa makna. tapi minimal, ia menjadi semacam petunjuk bahwa keberagaman itu bukanlah sesuatu yang diciptakan sia-sia oleh-Nya.

bersyukur



sebuah pesan singkat datang dari kakakku. aku menduga ini pasti sekedar meminta pulsa atau ingin agar aku segera pulang dan berbuka puasa di rumah. tapi setelah kubaca agak kaget juga aku dibuatnya. aku diminta menelpon ke rumah sebab ada sesuatu yang penting sekali.
aku pun segera menelpon dan kebetulan diangkat oleh kakakku yang kirim sms tadi. segera kutanya ia ada apa sebenarnya, sampe-sampai ia memberi penilaian penting? ternyata ia dan ibuku telah berdiskusi kecil-kecilan. mereka membahas dan memikirkan bahwa aku sebagai anggota keluarga yang baru mendapatkan rezeki (pekerjaan) sebaiknya membuat acara syukuran, sebagai sebuah tradisi leluhur yang salah satu tujuannya untuk melapangkan jalan bagi rezeki selanjutnya. yang diundang pun kalangan terdekat keluarga, ya saudara-saudara dan keponakanku saja.

agak tidak masuk dalam rasioku, tapi begitulah, aku memang memilih tak melakukan konfrontasi untuk hal-hal seperti ini. lagi pula, adakah sebuah dunia yang dibangun atas rasionalitas semata?

aku pun mengambil sisi positif, itung-itung sebagai balas jasa terhadap kakakku yang selama ini selalu membantu, terutama dalam hal keuangan bagi pendidikan saya. tapi yang lebih penting sebenanrnya, adalah niat tulusku untuk meminta maaf kepada mereka sebab selama ini aku pasti punya salah dan khilaf, yang tentu saja tak ada niatanku untuk sengaja melakukannya.

syukuran, minta maaf, dan berkumpul bersama keluarga, semoga menjadi nikmat yang terindah, dan ya ALLah, jadikan aku hamba-Mu yang pandai bersyukur.

purba

Hari-hari ini aku merasa ujian terasa makin berat kurasakan. bukan soal lapar dan haus dalam menghadapi puasa itu yang kuanggap benar sebagai ujian. tapi ada ujian lain yang jauh lebih berat. dalam sebauah cermah agam di stasiun tivi swasta beberapa waktu lalu, seorang ustaz cobe menjelaskan tentang ujian, yang salah satunya kuingat adalah bahawa ujian itu tak melulu hanyalah kesusahan dan kepedihan tapi juga kenikmatan dan kesuksesan.

Tiba-tiba kusadar, lempengnya jalan yang kuhadapi untuk menggapai cita-cita mungkin adalah ujian. sebab dengan ini kurasa diriku jadi menggampang-gampangkan segalanya. entahlah, yang pasti, satu gejala yang kini terasa adalah tingginya intensitas aku untuk selalu menunda-nunda banyak hal.

Parahnya, aku pun dibuat seperti tak punya sikap. rasa ini sebenarnya telah lama kudeteksi, namun entah mengapa ia seperti langgeng dan adem di dalam diri ini. aku juga tahu bahwa yang kurasa ini pasti akan menjadi penghambat terbesar, baik dalam kehidupan duniawi dan spritualitasku. aku jadi takut, dan bayangan akan kegagalan tiba-tiba saja menjadi akrab dengan diri ini.

Ya Allah................ Sungguh aku takut dengan semua ini. Aku takut pada dosa yang tak Kau ampuni, pada do'a yang tak Kau dengar, pada nafsu yang tak berbatas. Pada keinginan-keinginan...yang tak ada habisnya. Kuatkanlah aku ya, Allah... Kuatkanlah...

Tuesday, November 02, 2004

benarkah?

Waktu kecil dulu (bahkan sampai kini sekalipun) aku sering mendengar betap mulianya bulan ramdhan itu. dalam sebuah sabdanya, Rasul pun mengingatkan bahwa jika kita tahu manfaat dan ridha yang terdapat dalam bulan ramadhan, maka kita akan meminta kepada tuhan untuk menggenapkan 12 bulan dalam setahun itu sebagai ramadhan semua.

luar biasa....sehingga banyak doa dan lagu yang dilantunkan semuanya menggambarkan kerinduan akan ramadhan.

tapi seperti kemarin, aku selalu bertanya, betulkah aku rindu dengan ramdahan? bahkan hingga ramadhan memasuki fase ketiganya, tak ada getar berarti dari bulan suci ini yang terasa dalam diriku. entah karena tumpukan dosa dan khilafku atau karena aku berpuasa hanya karena persepsi sosial, dimana tentu aku harus menjaga image agar tak tampak sebagai manusia tak sempurna.

waktu kecil dulu, aku masih sedikit merasakan getaran sebelum ramadhan. mungkin saat itu karena aku masih polos dan lumayan "bersih" dibanding sekarang. saat ini, semua berjalan datar-datar aja rasanya. bahkan jujur kukatakan ada rasa untuk cepat-cepat mengakhirinya. bukankah banyak hal yang tak dapat kulakukan dengan adanya bulan ini?

tapi aku juga diam-diam mensyukuri ramdahan ini. ia setidaknya memberiku sugesti kecil untuk sekedar melongok tuhan yang selama ini lebih banyak aku lupa dibanding mengingatnya. ia juga menjadi rambu lalulintas, meski aku lebih sering melanggar daripada mematuhinya.

tuhan, izinkan aku mendapatkan berkahnya ramadhan. sebelum ia berakhir, kumohon tunjukkan aku hidayahmu. tunjukilah kepadaku bahwa sesuatu itu benar adanya, dan berikanlah aku kekuatan untuk melaksanakannya. serta tunjukkanlah kepadaku bahwa sesuatu itu salah dan berilah aku kekuatan yang memadai untuk berpaling darinya.

oh yah, satu lagi. aku selalu mendengar dan membaca tentang satu malam di bulan ramadhan yang nilainya sama dengan seribu bulan. dan segala pinta yang diajukan didalamnya akan dipenuhi oleh-Nya. Ya Allah....izinkan hambamu bertemu dengan malam itu, dan akan kumohon padamu doaku kedua kalinya.


Revolusi



"Dalam hidup, kita perlu sedikit revolusi", begitu pesan singkat yang saya terima dari seorang kawan. Beberapa waktu lalu, aku memang sempat terlibat diskusi kecil dengannya. Waktu itu kami secara tidak sengaja bertemu di toko buku.

Dari toko buku kami lalu naik ke kafe, yah sekedar melapas rindu setelah beberapa lama tidak bertemu. Perbincangan dibuka dengan pertanyaan seputar aktivtas masing-masing. Tak lama kemudian pembicaraan tiba-tiba masuk pada tema pernikahan. Sebuah tema yang belakangan ini "sedikit" mengusikku.

"Sedikit" karena aku sadar aku memang pengen sekali untuk melakoninya, tapi di satu sisi aku tersadar dengan kondisi diri ini yang "belum siap". Aku utarakan ini padanya, termasuk soal keinginan yang sudah ada namun kondisi yang "mungkin" belum memungkinkan.
Dengan bijak ia mengeluarkan kalimat di atas. Aku tahu, ia tidak sedang main-main mengucapkan itu. Aku juga tahu bahwa kalimat itu keluar dari pengalaman dan kondisi yang dihadapinya. Meski satu sisi aku tetap harus menyimpan rasa tidak percaya, sebab ia sendiri belumlah menikah.

Revolusi kecil yang ia maksuda adalah sebuah kesdaran untuk keluar dari pakem yang berlaku secara umum, dimana pernikahan hanya bisa dilakoni oleh mereka yang sudah "mapan" secara ekonomi, mental dan tentu saja persepsi sosial.

Nah, yang terakhir inilah yang menurut saya adalah kendala terbesar. Ya, persepsi sosial. Bagaimana tidak, dalam dunia yang penuh realitas (semu) ini, kita dihadapkan pada banyak pilihan dan penilaian. Parahnya, kita (khususnya) saya lebih sering disetir dengan persepsi sosial ini. Apa kata orang jika aku menikah dalam kondisi "pas-pasan" seperti ini?

Mungkin menarik untuk menyimak apa yang dikatakan oleh Bertrand Russel. Menurutnya, dalam segala urusan hidup, sungguh sehat bila sesekali kita menaruh tanda tanya besar terhadap perkara-perkara yang sudah diterima sebagai kewajaran sampai tak pernah dipertanyakan lagi.

Jadi, hidup Revolusi............!

docta Ignorantia, Prospera Leasura

Judul di atas adalah sebuah tips yang dituliskan Wandi S Brata dalam bukunya "Bo Wero". Buku ini sangat bagus dan inspiratif bagi yang membacanya, termasuk saya.
Satu hal yang selama ini menjadi "penjara" bagi saya adalah keinginan untuk tampil sempurna dan ingin dilihat sebagai sosok yang sempurna. Berpenampilan, berjalan, berbicara sampai bersikap pun aku selalu berusaha untuk menjadi individu yang sempurna.

Keinginan untuk tampil sempurna inilah yang membuat aku serba terbatas dan tentu saja tidak menjadi individu yang otonom. Tapi begitulah, dalam dunia yang semu ini kita dituntut untuk melakukan hal ini, dan tidak pernah befikir untuk sedikit membuuhkan tanda tanya besar dari semua itu.

Padahal secara alamiah, kita sebagai manusia punya hak untuk salah dan keliru. Sebab apa jadinya hidup dan dunia ini jika semuanya berjalan dengan sempurna? Tentu akan sangat membosankan dan sangat datar perjalanan ini melaluinya.
Berangkat dari itulah, kita harus melihat ketidaksempurnaan (baca:ketidaktahuan) kita harus disyukuri. Masalahnya, sejauhmana kita mau "membaca" dengan amat positif ketidaktahuan itu???

Wandi menawarkannya dengan cara menjadikan ketidaktahuan itu sebagai ketidaktahuan terdidik, cerdas dan dinamis. Docta Ignorantia, begitu bahasa latinnya, adalah ketidaktahuan yang membuat kita belajar untuk menjadi tahu dan coba menjalaninya dengan positif. Bukannya menjadikan kita menyerah dan akhirnya pasrah dengan ketidaktahuan itu.

Hal lainnya adalah kebiasaan kita untuk bermalas-malasan. Nah, untuk yang satu ini, bagaimana kita menjadikan kemalasan kita menjadi kemalasan yang positif. Menyimak kisah Archimedes adalah contoh konkret dari hal ini. Dalam mandinya pun otaknya berputar dan terus mencari. Sampai ia menemukan rumusnya dan berlari telanjang dan berteriak "Eurika...." Ringkasnya, bagaimana kita membuat waktu senggang kita menjadi bermanfaat, Prospera Leasura.

Jadi, kenapa juga kamu masih seperti ini, Doel???