baiklah dilanjutkan....
Lalu, bagaimana dengan FEB-Unhas sendiri? Tak perlu jauh-jauh mencari perbandingan dengan sekolah-sekolah bisnis terkenal itu. Perbandingan seperti itu hanya membuat kita frustasi tak berkesudahan. FEB-Unhas saat ini masih belum bisa beranjak dari masalah-masalah elementer. Soal minimnya anggaran, atmosfer akademik yang tidak terasa, rendahnya penelitian dari dosen baik dari segi kuantitas maupun kualitas hingga pelayanan akademik yang mengecewakan bagi dosen dan mahasiswa. Infrastruktur yang ada pun layak dimasukkan dalam dafatar masalah yang setia menemani perjalanan FEB-Unhas. Lihatlah kampus Magister Manajemen yang tak lebih baik dari gedung beberapa SD Inpress di Makassar.
Ingin melihat yang lebih jauh dan substantif lagi? Tengoklah bagaimana dosen dan mahasiswa berinteraksi di kelas. Interaksi yang ada memberi gambaran bahwa mengajar dan diajar tak lebih sekedar rutinitas belaka. Tak ada gairah yang terlihat sebagai sebuah aktifitas untuk mendapatkan dan bermanfaat bagi pengetahuan. Dosen masuk kelas dengan minim persiapan, materi yang disampaikan tidak uptodate, hingga waktu perkuliahan habis untuk membahas masalah pribadi sang dosen masih sering kita dengar hingga saat ini. Belum lagi tugas yang diberikan kadang tidak relevan dengan mata kuliahnya, hingga kasus jual-beli nilai yang sulit untuk dibuktikan namun gaungnya ramai terdengar.
Tentu, menuntut mereka untuk berlaku layaknya civitas akademika idel mensyaratkan ketersediaan sumber pengetahuan seperti buku dan jurnal ilmiah. Lalu, bagaimana mengharapkan yang terbaik jika persputakaan yang ada dikelola layaknya kantor kelurahan?
Lembaga kemahasiswaan yang ada pun saat ini masih belum bisa 'move on' hingga tak ingin berbuat sesuatu yang berbeda dari seniornya yang dulu. Dialektika yang ada di antara mereka masih seputar hal remeh-temeh seperti pengkaderan, penggunaan anggaran kemahasiswaan dan demo-demo yang sifatnya reaksional semata. Tak pernah ada upaya serius untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu mahasiswa, meskipun slogan dalam setiap aksi mereka adalah 'everybody has the right for their own history'. Ada dua kemungkinan hal ini bisa terjadi. Pertama, kondisi FEB-Unhas saat ini dirasa sudah cukup memuaskan hingga tak perlu ada diskusi lagi. Kondisi kedua, lembaga mahasiswa bingung untuk memutuskan kontribusi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada dan dari mana memulainya. Hubungan yang ada jadinya seperti 'LDR' padahal jarak kantornya cuma sepelemparan batu.
Mengurai satu per satu masalah yang pasti tak ada habisnya. Namun demikian, kita tak bisa meminggirkan peran universitas yang juga sangat menentukan. Sebagai sebuah institusi yang perannya terhadap pengetahuan dan pengembangannya terhadap kehidupan begitu berpengaruh, maka FEB-Unhas hanyalah bagian kecil dari harapan itu. Sayangnya, dalam lingkup Universitas, kondisi yang sama juga terjadi. Universitas dikelola layaknya kantor pemerintah semata hingga yang lahir dari dalamnya serupa kebijakan-kebijakan tanpa dasar dan kadang tidak masuk akal. Padahal, menurut Lyotard (1984): "The university’s relation to knowledge is articulated by a metanarrative of ‘the realization of the life of the spirit or the emancipation of
humanity and its ‘unifying idea’ and ideal of aligning culture and society".
Ambil contoh pelarangan masuk angkutan kota ke dalam kampus namun kendaraan pribadi tetap tak dibatasi. Apalagi alasan yang digunakan adalah demi lingkungan dan keteraturan kampus. Padahal, kendaraan pribadi dosen dan mahasiswa luar bisa banyaknya hingga parkir di pinggir jalan dan membuat kemacetan setiap jam-jam padat. Pola pikir seperti ini tentu sangat disayangkan muncul dari kalangan kampus. Belum lagi perpustakaan kampus yang tidak pernah mendapat perhatian lebih seperti gedung rektorat yang sudah direnovasi beberapa kali. Artinya, hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan pengetahuan tak begitu berarti untuk mendapat perhatian ketimbang hal-hal artifisial dan seremonial lainnya.
Lalu Bagaimana?
Ada pendapat yang mengatakan seperti ini, bahwa marah terhadap kondisi yang buruk itu adalah sesuatu hal yang bagus. Namun marah-marah saja karena keadaan yang buruk, lama-lama menjadi aktifitas yang meletihkan dan menjengkelkan. Nah, agar tak terjengkelkan dan terletihkan, maka ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian FEB-Unhas di 64 tahun usianya kini.
Pertama, berhentilah selalu merasa tua. Dalam setiap perayaan Dies Natalis, selalu didengungkan bahwa FEB-Unhas adalah yang tertua di Indonesia. Tidak salah memang, apalagi dokumen sejarah yang ada membuktikan itu. Tapi pemikiran dan kebanggaan semu seperti ini membuat kita jumawa dan lupa bahwa usia bukan segalanya. Kerja dan bakti nyata itu yang perlu. Perlu juga dipikirkan perayaan Dies Natalis itu dibatasi sekali dalam dua tahun saja. Seremoni yang tidak jelas sudah terlalu banyak di kampus. Perlu menitikberatkan esensi daripada seremoni belaka.
Kedua, perlu upaya serius membenahi fasilitas kampus yang ada saat ini. Fasilitas ini tentu saja sangat bergantung pada ketersediaan dana yang dialokasikan universitas. Namun alternatif pembiayaan bukannya tidak ada. Wadah alumni bisa dimanfaatkan dan juga pihak ketiga lainnya seperti korporasi dan individu. Tentu saja, akuntabilitas dan transaparansi menjadi syarat dasar agar hal ini bisa dijalankan.
Ketiga, tak boleh lagi sekedar duduk bersama mendiskusikan soal bagaimana sebaiknya iklim akademik di fakultas bisa dibenahi. Road map dan diskusi tak terhitung lagi berapa kali dilaksanakan namun minim implementasi. Meski tata-kelola dan prosedur tak boleh dilanggar, namun ini seharusnya tidak memberi batas akan kreatifitas dan pikiran berbeda untuk berkembang. Sudah saatnya pengelola fakultas berhenti berpikir dan berparadigma pejabat kelurahan.
Dalam konteks perkuliahan, perlu dibangun kesadaran bersama dari dosen untuk tidak lagi sekedar menggugurkan kewajiban semata. Insentif untuk mereka yang serius di riset perlu juga dikaji. Selain itu, perlu pula dipikirkan kerjasama dengan pihak swasta untuk menjembatani teori-praktek yang selama ini terkesan diabaikan. Tak ada salah memanggil praktisi untuk mengisi jadwal kuliah. Tentu, tak sekedar mengisi kuliah semata, tapi diharapkan mampu berbagi pengalaman tentang realitas di luar yang mungkin saja luput dari perhatian kita di kampus. Generasi hi-tech saat ini sudah tidak dapat lagi didekati dengan pendekatan a la 'jadul', meski prinsip-prinsip dasar dalam belajar masih tetap harus dipertahankan. Prinsip-prinsip seperti kesungguhan, kerja keras dan kejujuran harus menjadi basis dalam setiap aktifitas pembelajaran. Pelibatan makin banyak dan beragam
Kampus sudah selayaknya tak hanya berfungsi sebagai penyebar pengetahuan (disseminator of the knowledge) tp menjadi basis dari pengetahuan itu sendiri (a site of knowledge production). Namun jika masih dikelola seperti kondisi yang ada saat ini, rasanya keinginan itu masih jauh sekali. Kampus puh tidak boleh lepas dari akar kulturalnya. Dalam visi besar FEB-Unhas, semangat bahari jelas termaktub. Bagaimana implementasinya? Sederhana menjawabnya, tidak ada mata kuliah khusus yang membahas dan menerjemahkan visi ini.
Padahal, jika betul dipahami dengan baik, maka ini bisa menjadi basis pembeda FEB-Unhas dengan FEB yang lain. Selain itu, semangat bahari dan ekonomi kerakyatan yang menjadi spiritnya, bisa digunakan sebagai dasar dalam membentuk ‘narratives of expertise’ dari FEB-Unhas.
Akhirnya, semoga Dies Natalis kali ini menjadi langkah awal menjadi lebih baik dan bermanfaat. Tak harus selalu merasa tua.. Dirgahayu FE-Unhas ke-64.
1 comment:
dirgahayu means panjang umur :-)
Post a Comment