Saturday, October 20, 2012

64 Tahun FE Unhas, Berhentilah Merasa Tua

Setiap bulan Oktober adalah bulan istimewa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas (FEB-Unhas). 8 Oktober 1948, Fakultas ini dibentuk sebagai bagian dari upaya desentralisasi pendidikan tinggi saat itu. Niat awalnya untuk memenuhi kebutuhan guru-guru ilmu ekonomi dan pemegang buku di sekolah-sekolah menengah di Indonesia.

Tahun ini, tepat 64 tahun FEB-Unhas. Sebuah usia yang tak bisa dikatakan muda lagi. Namun sayangnya, dalam setiap tahun acara peringatan Dies Natalis ini, praktis tidak banyak perubahan berarti. Usia yang tak muda lagi rupanya berimplikasi pada kinerja kelembagaan yang tak juga beranjak meninggi. Ini tak menafikan beberapa perubahan yang ada. Namun demikian, perubahan itu seharusnya sudah terjadi beberapa tahun lalu.

Perubahan paling sederhana (dan mungkin malah yang paling tinggi tingkat pencapaiannya) adalah perubahan nama dari Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Perubahan ini sayangnya tidak diikuti dengan perubahan paradigma yang berarti. Sederhananya, perubahan ini sekedar mengikuti trend perubahan nama di beberapa perguruan tinggi lain. Perubahan lain yang juga mencolok adalah pembangunan fisik dan kampus yang sedikit tertata. Namun sekali lagi, tak perlu visi dan usaha luar biasa besar untuk perubahan 'kecil' seperti ini.

Mengelola FEB-Unhas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, sebagai bagian integral dari Unhas dan kementrian pendidikan dan kebudayaan, tentu ada mekanisme dan tata-aturan yang harus diikuti. Pemahaman prosedural memang menjadi penting ketika ingin melihat institusi ini secara utuh.

Meski begitu, hal ini tak bisa menjadi alasan pembenar dari 'lambat-gerak' FEB-Unhas menghadapi masa depan. Apalagi disadari, tantangan pendidikan tinggi ke depan semakin besar. Tantangan yang besar ini dibarengi pula dengan tuntutan yang tinggi akan kontribusi institusi pendidikan tinggi, yang bagi beberapa kalangan dirasa belum berarti (untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali).

FEB-Unhas sebagaimana Fakultas Ekonomi yang lain sebenarnya berdiri di persimpangan jalan. Berbicara ekonomi dan bisnis maka kita tentu tak bisa melepaskan diri dari persinggungannya dengan sosial, politik dan budaya. Ini pula yang melatari banyak kritik terhadap pendidikan ekonomi di perguruan tinggi. Kita mungkin bisa belajar dari perjalanan panjang sekolah-sekolah bisnis di Amerika dan Eropa. Di era pasca perang dunia II, di Amerika khususnya, sekolah-sekolah bisnis (business schools) dikritik tak ubahnya sebagai 'trade schools'. Hal ini dilatari dari minimnya kontribusi pengetahuan, yang diakibatkan oleh lemahnya riset-riset dari perguruan tinggi tersebut. Kesenjangan ini ditambah lagi dengan kurang aplikatifnya riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya.

Beberapa sekolah-sekolah bisnis top kemudian memperkenalkan model pengajaran berbasis kasus (case study) sebagai upaya untuk menutup celah 'ketidak-sesuaian' antara teori dan praktek ini. Kelas-kelas yang bersifat aplikatif seperti program MBA dan kelas eksekutif pun diperkenalkan. Dengan harapan, ini bisa menjadi jembatan antara kebutuhan bisnis dan tuntutan riset yang harus dilakoni oleh civitas akademika.

Sampai di sini kritik bukannya tidak ada. Beberapa kalangan kemudian menilai bahwa sekolah-sekolah bisnis telah berubah menjadi sebuah industri tersendiri, yang melihat mahasiswa tak ubahnya sebagai konsumen semata. Kritik lain menyebutkan bahwa sekolah-sekolah bisnis itu sudah tak berideologi mulia lagi, dimana keuntungan finansial menjadi tujuan utama layaknya sebuah korporasi dan mempertaruhkan integritas akademiknya.

Tak berhenti di situ, kondisi ekonomi global yang tidak menggembirakan juga ditengarai sebagai akibat dari sistem pendidikan ekonomi dan bisnis yang sangat kaku dan tidak bermoral. Diawali dari runtuhnya Enron dan diikuti dengan beberapa korporasi besar lainnya. Semuanya bermuara pada pengajaran ekonomi dan bisnis yang dianggap menjadikan orang menjadi rakus dan amoral. Keuntungan finansial menjadi segalanya tanpa perlu merisaukan urusan lain.

Yang paling anyar kritik (tepatnya refleksi) disampaikan oleh Professor Howard Davies yang mengambil kisah dari ketidak-puasan Jean-Claude Trichet, mantan gubernur bank sentral Eropa, terhadap terbatasnya kemampuan 'ilmu ekonomi' untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang mendera banyak negara kini. Menurutnya, model-model konvensional yang ditawarkan ilmu ekonomi tak lagi cukup dan mumpuni untuk digunakan sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Akhirnya, gubernur bank sentral Eropa ini meminta bantuan kepada ahli dari bidang lain seperti ahli fisika, biologi, hingga ahli psikologi untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi global.

to be continued


No comments: