Sudah berapa jumat yang saya lewati, khutbah jumat siang tadi adalah yang paling berani dan paling berbekas. Berani sebab sang khatib bicara soal sederhana namun menyentuh. Ia berbicara tentang betapa Sahalat Jumat, yang seharusnya dimuliakan dan utama sering kita abaikan.
Sang khatib memberi contoh. Rasulullah menganjurkan kita melihat ibadah Jumat sebagai ibdaha utama di setiap pekan kita. Makanya, persiapan seperti berbersih diri, memakai pakaian bersih dan wewangian hingga menyegerakan datang sebelum khatib berbicara adalah sebagian anjurannya. Namun yang terjadi, shalat jumat sering dianggap biasa. Kita kadang memilih datang telat, hanya karena selalu menganggap khutbah jumat itu lebih bahaya dari obat tidur. Bahkan, beberapa jamaah memang lebih memilih bermain dengan telepon genggam mereka ketimbang mendengarkan khatib berbagi kebenaran. Tentu saja, tidak semua khatib sesuai harapan dan keinginan kita. Tapi dalam ilmu psikologi kita juga tahu, sebagai manusia kita lebih sering mencari informasi yang sesuai keinginan. Nah, dalam urusan beragama, keinginan dan harapan itu kadang dibenturkan dengan perintah dan larangan.
Padahal, lanjut sang khatib, film berdurasi lebih 2 jam tak membuat kita ngantuk dan mengalihkan perhatian. Intinya, urusan dunia sering membuat kita menjadi perhitungan dengan Allah.
Betul, di negara ini yang Islam bukan mayoritas, kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun ini lebih banyak dipakai sebagai kedok ketimbang berbicara soal kenyataan yang ada. Selalu punya banyak alasan untuk kemalasan. Alasan memang begitu dekat dengan kemalasan. Kita sering berharap doa dikabulkan, namun tak pernah perhatikan apa yang menjadi kewajiban.
No comments:
Post a Comment