Membaca berita ini membuat saya membayangkan bahwa negeri Indonesia sedang makmur-makmurnya hingga duit dari pajak dan retribusi rakyat bisa dipakai untuk membiayai ibadah beberapa orang. Atas nama pengawasan dan peningkatan pelayanan Haji, beberapa anggota dewan berangkat (tepatnya, diberangkatkan. Atau minta diberangkatkan?) haji dengan biaya APBD.
Duit retribusi yang dikumpul dari warung nasi goreng langganan di pintu dua, sopir pete-pete maros-daya, penjual baronang segar di pasar ikan, coto makassar di dekat pom bensin pintu satu, dan pajak kendaraan bermotor kakak saya, dipakai untuk membiayai ibadah mereka. Luar biasa.
Semoga menjadi Haji yang Mabrur, pak...
Monday, November 27, 2006
Sunday, November 26, 2006
Gandum
Jumat kemarin, ada diskusi menarik di kedutaan. Temanya luar biasa, "what shall we do for Indonesia", begitu kira-kira ringkasan tema yang panjang itu. Diskusi dilengkapi dengan tambahan informasi dari Pak Amien Rais, mantan ketua MPR yang dibajak di tengah jadwal resminya.
Yang menarik bagi saya, praktis semua sepakat bahwa semua entitas yang ada di luar negeri, baik itu pelajar, pekerja atau yang lainnya, perlu memberikan kontribusinya terhadap Indonesia yang sedang goyah, untuk tidak mengatakannya sekarat. Namun yang saya tidak habis pikir, banyak juga yang sering melihat Indonesia dari kacamata berbeda. Berbeda karena yang diungkapkan tak lebih dari ikrar penyesalan. Maka dibandingkanlah Indonesia dengan negara maju ini. Tidak diskriminasinya, demokrasi, hingga macet di jalan raya. Bagi saya, itu memang hak prbadi, namun apakah tak bisa kita berhenti sekedar membandingkan dan coba berpikir bahwa begitulah adanya Indonesia. Sebab komparasi yang diambil pun kadang tidak tepat dan terkesan dipaksakan.
Okelah, kenikmatan dan keteraturan hidup seperti yang dirasakan saat ini adalah dambaan dan idaman setiap manusia, tapi mbok ya dilihat juga konteksnya. Capek saya dengar keluhan terus dari orang-orang Indonesia yang disini dan selalu beranggapan hopeless untuk hidup di Indonesia. Seperti tidak ada baiknya itu Indonesia. Ini bukan chauvinisme atau sejenisnya. Sekedar berpikir kontekstual aja, pikirku. Kembali ke diskusi tadi, saya terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Amien. Menurutnya, generasi Indonesia yang kembali dari kuliah di luar negeri banyak yang memilih diolah menjadi roti ketimbang menjadi benih gandum yang siap menumbuhkan biji gandum yang baru serta lebih segar dan bergizi. Tak banyak yang mau dibenamkan dalam tanah dan menunggu waktu untuk disemai.
Itu jika kita melihat analogi gandum dan roti sebagai bagian dari pengabdian dalam dimensi nasionalisme. Tapi toh, bicara nasionalisme saat ini memang rada-rada absurd juga. Posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya, membuat uapaya membangkitkan semangat seperti itu seperti kerja keras yang tak berujung.
Di tengah impitan arus besar tersebut, banyak yang kemudian menyarankan nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak kekinian. Sederhananya, alangkah baik jika sejarah bangsa yang bopeng di beberapa bagian, dianyam kembali ketimbang membiarkannya bopeng terus atau malah menambah bopeng disana-sini. Lalu, apa yang sudah saya lakukan, ya?
Yang menarik bagi saya, praktis semua sepakat bahwa semua entitas yang ada di luar negeri, baik itu pelajar, pekerja atau yang lainnya, perlu memberikan kontribusinya terhadap Indonesia yang sedang goyah, untuk tidak mengatakannya sekarat. Namun yang saya tidak habis pikir, banyak juga yang sering melihat Indonesia dari kacamata berbeda. Berbeda karena yang diungkapkan tak lebih dari ikrar penyesalan. Maka dibandingkanlah Indonesia dengan negara maju ini. Tidak diskriminasinya, demokrasi, hingga macet di jalan raya. Bagi saya, itu memang hak prbadi, namun apakah tak bisa kita berhenti sekedar membandingkan dan coba berpikir bahwa begitulah adanya Indonesia. Sebab komparasi yang diambil pun kadang tidak tepat dan terkesan dipaksakan.
Okelah, kenikmatan dan keteraturan hidup seperti yang dirasakan saat ini adalah dambaan dan idaman setiap manusia, tapi mbok ya dilihat juga konteksnya. Capek saya dengar keluhan terus dari orang-orang Indonesia yang disini dan selalu beranggapan hopeless untuk hidup di Indonesia. Seperti tidak ada baiknya itu Indonesia. Ini bukan chauvinisme atau sejenisnya. Sekedar berpikir kontekstual aja, pikirku. Kembali ke diskusi tadi, saya terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Amien. Menurutnya, generasi Indonesia yang kembali dari kuliah di luar negeri banyak yang memilih diolah menjadi roti ketimbang menjadi benih gandum yang siap menumbuhkan biji gandum yang baru serta lebih segar dan bergizi. Tak banyak yang mau dibenamkan dalam tanah dan menunggu waktu untuk disemai.
Itu jika kita melihat analogi gandum dan roti sebagai bagian dari pengabdian dalam dimensi nasionalisme. Tapi toh, bicara nasionalisme saat ini memang rada-rada absurd juga. Posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya, membuat uapaya membangkitkan semangat seperti itu seperti kerja keras yang tak berujung.
Di tengah impitan arus besar tersebut, banyak yang kemudian menyarankan nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak kekinian. Sederhananya, alangkah baik jika sejarah bangsa yang bopeng di beberapa bagian, dianyam kembali ketimbang membiarkannya bopeng terus atau malah menambah bopeng disana-sini. Lalu, apa yang sudah saya lakukan, ya?
Monday, November 20, 2006
Tolol
Malam ini saya terima pesan dari seorang kawan. Pesannya, setelah disensor, "...gile, di bgr semua hrs ditutup gara-gara teroris. *** tolol". Wah, wabah anti-Bush sampai juga ke sini. *** sengaja saya pakai, takut nanti dikenakan UU penghinaan terhadap kepala negara (ehm...).
Kawan saya ini bukan orang Bogor asli, tp udah lama bermukim dan bekerja disana. Setelah tahu bahwa kota tempat ia mencari nafkah dan menikmati hidup menjadi terganggu dengan kedatangan Bush, ia punn merasa terpanggil untuk berkomentar. Ya, emang segitu paling jauh yang bisa ia lakukan.
Saya jadi ingat juga kota itu. Selama beberapa bulan di Jakarta mengikuti training, Bogor menjadi tujuan untuk menikmati akhir pekan, di rumah kawan saya tadi. Dari stasiun, naik angkot 02, turun didepan istana lanjut lagi dengan angkot 06. Terbayang juga kota bogor dengan talas dan bengkuang yang dijajakan petani-petani dipinggir jalan. Tak terbayang kota itu kini, hari ini dan beberapa hari sebelumnya. Suasana perang seperti terasa disana dengan kehadiran tentara bersenjata lengkap dan juga penutupan jalan, yang kian memarahkan kemacetan yang sudah lama melekat dengan kota kecil ini.
Belum lagi sekolah yang diliburkan, pedagang kaki lima yang digusur karena dianggap mengganggu pemandangan dan berkesan jorok, sinyal telpon yang diacak, dan nampak negatif lain, yang tentu saja tak sebanding dengan hasil yang akan dicapai. Itu jika kedatangan tuan besar ini berbuah hasil.
Begitulah, untuk menyambut tuan Bush, ada saja yang mau menjadi tolol, itu menurut teman saya.
Kawan saya ini bukan orang Bogor asli, tp udah lama bermukim dan bekerja disana. Setelah tahu bahwa kota tempat ia mencari nafkah dan menikmati hidup menjadi terganggu dengan kedatangan Bush, ia punn merasa terpanggil untuk berkomentar. Ya, emang segitu paling jauh yang bisa ia lakukan.
Saya jadi ingat juga kota itu. Selama beberapa bulan di Jakarta mengikuti training, Bogor menjadi tujuan untuk menikmati akhir pekan, di rumah kawan saya tadi. Dari stasiun, naik angkot 02, turun didepan istana lanjut lagi dengan angkot 06. Terbayang juga kota bogor dengan talas dan bengkuang yang dijajakan petani-petani dipinggir jalan. Tak terbayang kota itu kini, hari ini dan beberapa hari sebelumnya. Suasana perang seperti terasa disana dengan kehadiran tentara bersenjata lengkap dan juga penutupan jalan, yang kian memarahkan kemacetan yang sudah lama melekat dengan kota kecil ini.
Belum lagi sekolah yang diliburkan, pedagang kaki lima yang digusur karena dianggap mengganggu pemandangan dan berkesan jorok, sinyal telpon yang diacak, dan nampak negatif lain, yang tentu saja tak sebanding dengan hasil yang akan dicapai. Itu jika kedatangan tuan besar ini berbuah hasil.
Begitulah, untuk menyambut tuan Bush, ada saja yang mau menjadi tolol, itu menurut teman saya.
Monday, November 13, 2006
Thursday, November 09, 2006
Keadilan dan Kedamaian Untuk Siapa?
Kemarin ada kampanye oleh UJS (Union Jewish Student) di kampus. Kampanye ini (mungkin) diniatkan sebagai kampanye tandingan terhadap diskusi yang diadakan oleh student union yang temanya "Stop War and Say No to Islamophobia". UJS ini berkampanye di luar gedung tempat diadakannya diskusi. Mereka mengibar-ngibarkan bendera Israel dan menyebarkan pamflet yang isinya menggelikan sekaligus mengiris hati, paling tidak hati saya.
"Support Peace and Justice, Disarm Hizbollah", begitu pesan kampanye mereka. Entah mereka tahu atau tidak, tapi kemarin Israel membantai 18 warga Palestina yang tak bersalah. Sebelumnya mereka juga tak absen dalam membunuh dan mencederai puluhan orang di Libanon dan Palestina. Anak-anak kecil yang tak tahu apa arti perang pun, menjadi korban tanpa pernah terpikir bahwa kematian satu generasi Palestina adalah pembunuhan terhadap rasa kemanusiaan.
Soal Hizbollah? Edan.. Mereka (Israel) punya segudang senjata modern dan menggunakannya untuk menghilangkan nyawa orang tanpa rasa bersalah. Mereka juga punya berupa alibi untuk mengelak dari tanggung jawab. Kini, mereka meminta Hizbollah, yang sekedar mempertahankan diri dan hak mereka untuk dilucuti senjatanya? Yang bener aja, bung.
Seharusnya, bendera Palestina yang dikibarkan di sana, bukan bendera biru putih itu, yang sungguh, meski kebencian bukan dari sifat yang mulia, saya tak rela mereka begitu saja merasa digdaya.
"Support Peace and Justice, Disarm Hizbollah", begitu pesan kampanye mereka. Entah mereka tahu atau tidak, tapi kemarin Israel membantai 18 warga Palestina yang tak bersalah. Sebelumnya mereka juga tak absen dalam membunuh dan mencederai puluhan orang di Libanon dan Palestina. Anak-anak kecil yang tak tahu apa arti perang pun, menjadi korban tanpa pernah terpikir bahwa kematian satu generasi Palestina adalah pembunuhan terhadap rasa kemanusiaan.
Soal Hizbollah? Edan.. Mereka (Israel) punya segudang senjata modern dan menggunakannya untuk menghilangkan nyawa orang tanpa rasa bersalah. Mereka juga punya berupa alibi untuk mengelak dari tanggung jawab. Kini, mereka meminta Hizbollah, yang sekedar mempertahankan diri dan hak mereka untuk dilucuti senjatanya? Yang bener aja, bung.
Seharusnya, bendera Palestina yang dikibarkan di sana, bukan bendera biru putih itu, yang sungguh, meski kebencian bukan dari sifat yang mulia, saya tak rela mereka begitu saja merasa digdaya.
Subscribe to:
Posts (Atom)