Tuesday, March 22, 2005

Sekolah

Sedih juga membaca headline KOMPAS kemarin (21/03) tentang beberapa anak yang tak dapat melanjutkan pendidikannya karena tiadanya dana. Kisah Euis Nurhayati tentulah sangat menyayat hati dan mengguncang perasaan. Ia tak dapat menyembunyikan tangisnya ketika sang nenek memintanya berhenti sekolah. Tak terbayangkan pula kesedihannya bertambah karena kemampuan neneknya untuk membiayai sudah tidak ada lagi.

Teringat kembali waktu sekolah dulu. Saat pembayaran SPP tiba adalah saat dimana kami diberikan amplop cokelat dan sampul depannya ada beberapa kolom dan baris untuk mengecek "rajin-tidaknya" kami memenuhi kewajiban tersebut. Nah, terbayang pula raut wajah Euis ketika tiba saatnya membayar dan ia tidak mampu untuk memenuhinya.

Bangsa ini memang sedikit keterlaluan. Coba bayangkan, berapa sih anggaran pendidikan yang disediakan negara untuk bidang ini? Bandingkan pula anggaran untuk membangun sekolah dengan anggaran untuk membangun atau merenovasi kantor dan rumah para pejabat. Memang angka tak bisa berbicara, tapi dari deretan angka itu bisa dilihat sebuah itikad.

Tak terima rasanya pikiran ini ketika mendengar bahwa biaya renovasi rumah seorang pejabat di Makassar sebesar 1,3 Milyar. Sama tidak terimanya ketika tahu bahwa biaya jas dan pakaian dinas gubernur yang besarannya bisa membiayai SPP 3200 anak sekolah (asumsi SPP Rp.15.000/bln--ini biaya sekolah di SD Inpres, bukan di Athirah atau sekolah swasta yang sarat fasilitas). Ingin yang lebih banyak lagi? Bagaimana kalau dana 1,3 milyar yang dipakai untuk merenovasi rumah pejabat itu kita pakai membayar SPP, maka terdapat 7222 anak yang bisa sekolah gratis selama setahun penuh.

Tentu ini bisa dikatakan terlalu simplistis dan mengada-ada. Tapi bukankah deretan angka itu akan lebih bermakna dengan sebuah itikad, yang baik, tentunya. Masalahnya soal itikad inilah yang sekarang menjadi barang mahal. Tengok perlombaan para pejabat untuk memakai mobil dinas yang mewah. Bahkan di Makassar sendiri beberapa pejabat melengkapi mobil dinas mereka dengan telepon satelit dan tv car. Jika ditanya alasan, mereka siap bersekutu dengan profesionalitas dan tuntutan kerja.

Jadi teringat ketika beberapa tahun lalu seluruh bupati yang ada di Sulsel menggunakan Pajero untuk kendaraan dinas mereka. Alasan mereka ketika itu adalah untuk membantu kelancaran tugas-tugas mereka dan untuk meningkatkan profesionalitas yang selama ini dirasa mandeg. Bagaimana hasilnya??? Ada ribuan Euis yang tidak mampu bersekolah atau kehilangan sekolah mereka yang roboh karena tidak lebih berarti dibanding rumah jabatan. Rasanya, profesionalitas para pejabat memang meningkat, terutama untuk bidang berkelit dan bersilat lidah.

2 comments:

Paulus said...

Kartun Panji Koming di Kompas hari ini, 10 April 2005 juga nyindir Deplu yang ngobral duit beli rumah utk para duta besar dengan alasan "supaya tidak malu"....
sementara banyak anak bersekolah di bangunan seadanya, sekolah roboh dll....

sebenarnya kita masih punya malu ga sih?

soeltra said...

trenyuh memang baca or lihat2 realitas yg kya gitu, but bs ga kita ga cm commenting them. btw aku insyaALLAH bakalan aktif lg ngajar anak2 kya mrk dsini.doain ya...setdk2nya ada yg bs kita lakukan u mrk.my friends in jkt inspired me 2 do that.just memories when we taught 'n socialize with them di bbrp jembatan layang di jkt.
they're so cute... :D