selasa, 27 Juli, banyak pesan singkat yang saya terima. isinya sama, turut berduka cita atas kematian kakekku dan berharap aku sabar menghadapi kenyataan ini. saat mendengar berita kematian kakek saya memang sedang bersama beberapa kawan. jadi aku tak heran kenapa berita ini bisa tersebar.
tapi benarkah aku berduka, sedih dan terisak? fisicly mungkin ya. beberapa titik airmata keluar, rupa sedih pun ada (begitu kata orang yang liat, soalnya aku sendiri tidak perhatikan). tapi jujur, perasaan itu semua lebih karena kondisi di sekitarku yang memancing. tapi batin ini rasanya "biasa-biasa" saja. maksudnya seperti ini, kematian tak mengharuskanku untuk menangis dan sedih habis-habisan. saya juga merasa tak punya cukup alasan untuk meraung-raung dan menjadi pendiam. ringkasnya, kematian bagiku layaknya rutinitas, seperti makan, buang air, shalat dan lain sebagainya. walaupun kakekku ini kurasa sangat berkontribusi membuatku sebagai anak-anak sejati. ia yang memberikanku pengalaman menyenangkan sebagai anak-anak, saat almarhum ayahku tidak bisa (untuk tidak mengatakan tidak pernah), walau sekedar membelikanku mainan kecil, misalnya.
gejala ini bukannya tak mendapat perlawanan berarti dari diri ini sendiri. dengan gejala itu kadang saya berfikir bahwa aku ini kafir, sudah tertutup hati ini (semoga tidak). kadang pula kubayangkan kemunafikan luar biasa yang kulakoni. sebab, lumrah kan nangis dan sedih. ah, aku ini kenapa ya????
pertanyaan ini sedikit terjawab ketika beberapa hari kemudian setelah kematian kakek aku kembali ke rumah. jika biasanya tak ada rasa takut dalam diri ketika hendak tidur, walau sendirian di rumah, saat itu tiba-tiba muncul rasa takut. takut akan kematian yang juga akan menimpa diriku. tiba-tiba saja aku merasa takut bahwa ketika aku mati tak ada lagi yang meratapi dan sedih akan kematianku. bukan ratap itu betul yang membuatku takut, tapi kehilangan perhatian dan ...................(bersambung)
Friday, July 30, 2004
Thursday, July 15, 2004
cedera logika
18,12 milyar, gila bo. Apa anggota dprd sulsel itu tidak pada mikir kalo duit segitu luar biasa banyaknya. ada 75 orang anggota dewan, jika dibagi rata dengan jumlah yang mereka korupsi, maka masing-masing mereka memperoleh sekitar 241 juta lebih setahunnya. gilaaaaaaaaaaa
modus mereka sebenarnya lumayan kasar. dalam apbd mereka cantumkanlah pos-pos anggaran, yang sekali lagi, sangat mencederai logika. Ada pos yang menjelaskan tentang biaya sewa gedung (emang anggota dewan tidak punya kantor?), sewa komputer (sejak 1999 lalu, masa dprd tidak punya komputer), rapat anggota yang jika dilihat dari angkanya, ternyata mereka menggunakan asumsi satu tahun ada 1139 hari. belum lagi uang perjalanan dinas, yang total seluruhnya setara dengan 2000 tiket kelas eksekutif garuda (dengan 2000 tiket ini kita bisa buat beberapa travel perjalanan).
mencederai logika, begitulah mungkin yang digambarkan oleh mereka. parahnya lagi, sekarang mereka berkelit bahwa itu untuk peningkatan kinerja mereka. sepertinya mereka lupa, masih banyak rakyat di sulsel yang hidupnya pas-pasan (untuk tidak mengatakannya sengsara).
korupsi di indonesia memang sudah sampai pada tahap kronis, bahkan gila-gilaan. ya, seperti dilakukan anggota dewan (yang katanya terhormat itu) sulsel. menjadi anggota dewan mereka jadikan sebagai ajang untuk memperkaya diri. tak heran jika seorang kawan berkata bahwa kantor anggota dewan sekarang tak ubahnya seperti showroom mobil mewah.
yah, beginilah nasib rakyat kecil. jadi jualan mereka yang pegang kedudukan.
modus mereka sebenarnya lumayan kasar. dalam apbd mereka cantumkanlah pos-pos anggaran, yang sekali lagi, sangat mencederai logika. Ada pos yang menjelaskan tentang biaya sewa gedung (emang anggota dewan tidak punya kantor?), sewa komputer (sejak 1999 lalu, masa dprd tidak punya komputer), rapat anggota yang jika dilihat dari angkanya, ternyata mereka menggunakan asumsi satu tahun ada 1139 hari. belum lagi uang perjalanan dinas, yang total seluruhnya setara dengan 2000 tiket kelas eksekutif garuda (dengan 2000 tiket ini kita bisa buat beberapa travel perjalanan).
mencederai logika, begitulah mungkin yang digambarkan oleh mereka. parahnya lagi, sekarang mereka berkelit bahwa itu untuk peningkatan kinerja mereka. sepertinya mereka lupa, masih banyak rakyat di sulsel yang hidupnya pas-pasan (untuk tidak mengatakannya sengsara).
korupsi di indonesia memang sudah sampai pada tahap kronis, bahkan gila-gilaan. ya, seperti dilakukan anggota dewan (yang katanya terhormat itu) sulsel. menjadi anggota dewan mereka jadikan sebagai ajang untuk memperkaya diri. tak heran jika seorang kawan berkata bahwa kantor anggota dewan sekarang tak ubahnya seperti showroom mobil mewah.
yah, beginilah nasib rakyat kecil. jadi jualan mereka yang pegang kedudukan.
Tuesday, July 13, 2004
Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca
Konon, Julius Caesar, raja Roma, pernah menyerang ke Mesir. Namun, ternyata Mesir memiliki tentara yang amat kuat. Saking kuatnya, dia pun beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah, Julius Caesar memiliki ide untuk menghindari musuh, yaitu dengan cara membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria. Berhasilkah dia?
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya.
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru.
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya.
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru.
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.
glamour progresif
beberapa hari lalu sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di depan pintu masuk kampus. isu yang mereka usung adalah penolakan terhadap pelaksanaan spmb plus yang diadakan oleh unhas.
dalam beberapa hal aku setuju dengan mereka. pendidikan hak warga negara, dan unhas, sebagai bagian dari instrumen negara haruslah memberikan kesempatan yang setara terhadap seluruh warga negara. pendidikan selama ini terasa kurang manusiawi. bagaimana tidak, dengan tingkat pendapatan yang relatif tidak meningkat di sebagian kalangan masyarakat sejak krisis 97 lalu, biaya pendidikan saat ini sangatlah memberatkan. apalagi dalam beberapa kasus, sering dijumpai keberpihakan pengelola pendidikan terhadap mereka yang berduit.
namun sayangnya, sebagaimana setiap aksi mahasiswa, kelemahan mereka terletak pada minimnya data pelengkap dari isu yang mereka usung. ada seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi tersebut kutanya tentang pemahamannya terhadap isu tersebut. jawabannya, "saya cuma ikut kakak senior". terlepas dari proses kaderisasi yang coba dibangun oleh sang senior, jawaban mahasiswa tadi menunjukkan betapa minimnya sosialisasi.
dalam kepala para pendemo, sebagian besar cuma berfikir menolak spmb plus tanpa berfikir "what the next". padahal spmb plus itu tidak berdiri sendiri. ada kebobrokan sistem pendidikan, kondisi geopolitik, minimnya anggaran pendidikan, dan lain sebagainya, yang menjadi turunannya.
tapi tidak masalah. saya yakin nita mereka tulus, dan memang itulah yang kita harapkan. sebab di negeri ini, rasanya tidak terlalu banyak tempat yang tersedia untuk sebuah penjelasan.
dalam beberapa hal aku setuju dengan mereka. pendidikan hak warga negara, dan unhas, sebagai bagian dari instrumen negara haruslah memberikan kesempatan yang setara terhadap seluruh warga negara. pendidikan selama ini terasa kurang manusiawi. bagaimana tidak, dengan tingkat pendapatan yang relatif tidak meningkat di sebagian kalangan masyarakat sejak krisis 97 lalu, biaya pendidikan saat ini sangatlah memberatkan. apalagi dalam beberapa kasus, sering dijumpai keberpihakan pengelola pendidikan terhadap mereka yang berduit.
namun sayangnya, sebagaimana setiap aksi mahasiswa, kelemahan mereka terletak pada minimnya data pelengkap dari isu yang mereka usung. ada seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi tersebut kutanya tentang pemahamannya terhadap isu tersebut. jawabannya, "saya cuma ikut kakak senior". terlepas dari proses kaderisasi yang coba dibangun oleh sang senior, jawaban mahasiswa tadi menunjukkan betapa minimnya sosialisasi.
dalam kepala para pendemo, sebagian besar cuma berfikir menolak spmb plus tanpa berfikir "what the next". padahal spmb plus itu tidak berdiri sendiri. ada kebobrokan sistem pendidikan, kondisi geopolitik, minimnya anggaran pendidikan, dan lain sebagainya, yang menjadi turunannya.
tapi tidak masalah. saya yakin nita mereka tulus, dan memang itulah yang kita harapkan. sebab di negeri ini, rasanya tidak terlalu banyak tempat yang tersedia untuk sebuah penjelasan.
Thursday, July 08, 2004
perasaan
Hidup memang selalu memberikan misteri, dengan caranya sendiri. sejak kuliah dulu, aku tak pernah menyangka bahwa aku selesai dengan hasil yang pas-pasan. waktu itu, aku begitu yakin dengan kemampuanku bahwa aku bisa memperoleh hasil yang lumayan. tapi salah, sebab kekeliruan hitung membuat nilaiku terkuras.
Setelah sarjana, kebingungan masih juga menghampiri. dengan nilai pas-pasan seperti itu, kerja apa yang bisa aku dapat? buruh kasar pun rasanya tidak. saat itu menjadi bulan-dan hari berat bagi saya. bagaimana tidak, setelah melalui aktivitas yang bejibun selama menjadi mahasiswa, langsung drop saat sarjana. tidak ada aktifitas, tidak ada alasan untuk menyibukkan diri, dan lain sebagainya. belum lagi ekspektasi orang (termasuk keluarga) terhadap diri ini yang kadang saya rasa sangat berlebihan.
Setelah menjadi dosen pun, saya rasanya menjadi orang yang tidak punya tujuan. gembira setelah terpilih, berbalik menjadi galau. tapi itulah hidup, ces't la vie. the show must go on. sekarang aku makin sadar untuk harus bangun dan keluar belenggu yang aku buat sendiri. sebab, tunduk kaku dan meratapinya, bukanlah solusi yang bijak. satu yang pasti, one bright morning, when all mywork is over, i'll fly home.
Setelah sarjana, kebingungan masih juga menghampiri. dengan nilai pas-pasan seperti itu, kerja apa yang bisa aku dapat? buruh kasar pun rasanya tidak. saat itu menjadi bulan-dan hari berat bagi saya. bagaimana tidak, setelah melalui aktivitas yang bejibun selama menjadi mahasiswa, langsung drop saat sarjana. tidak ada aktifitas, tidak ada alasan untuk menyibukkan diri, dan lain sebagainya. belum lagi ekspektasi orang (termasuk keluarga) terhadap diri ini yang kadang saya rasa sangat berlebihan.
Setelah menjadi dosen pun, saya rasanya menjadi orang yang tidak punya tujuan. gembira setelah terpilih, berbalik menjadi galau. tapi itulah hidup, ces't la vie. the show must go on. sekarang aku makin sadar untuk harus bangun dan keluar belenggu yang aku buat sendiri. sebab, tunduk kaku dan meratapinya, bukanlah solusi yang bijak. satu yang pasti, one bright morning, when all mywork is over, i'll fly home.
Tuesday, July 06, 2004
lima menguak takdir
kemarin kita sudah memperingati hari kedaulatan rakyat, hari dimana rakyat menjadi betul-betul penguasa dari bangsa ini. sekitar 153 juta jiwa yang memiliki hak pilih, seperti menjadi selebritis, dimana lima pasangan (terbaik?) akan memperebutkan suara ini.
ada yang jual mahal, tapi banyak juga yang tidak. ada yang sudah yakin dengan pilihannya, tapi ada juga merobek-robek kertas suara karena merasa tidak ada pilihan yang pas (kompas, 6 juli 2004).
lepas dari itu semua, kita berharap bahwa yang lahir dan menang adalah pasangan yang betul-betul paling banyak diharapkan. dan yang terpenting, bahwa mereka mewujudkan apa yang telah mereka janjikan selama kampanye. bagi masyarakat kecil, yang penting bisa makan, harga-harga kebutuhan pokok tak melonjak, dan keamanan mereka terjamin, itu saja. mereka tak peduli siapa dan bagaimana presiden itu memimpin.
kemarin, 5 juli 2004, awal kita menuju indonesia yang lebih baik. hidup indonesia!!!!!!
ada yang jual mahal, tapi banyak juga yang tidak. ada yang sudah yakin dengan pilihannya, tapi ada juga merobek-robek kertas suara karena merasa tidak ada pilihan yang pas (kompas, 6 juli 2004).
lepas dari itu semua, kita berharap bahwa yang lahir dan menang adalah pasangan yang betul-betul paling banyak diharapkan. dan yang terpenting, bahwa mereka mewujudkan apa yang telah mereka janjikan selama kampanye. bagi masyarakat kecil, yang penting bisa makan, harga-harga kebutuhan pokok tak melonjak, dan keamanan mereka terjamin, itu saja. mereka tak peduli siapa dan bagaimana presiden itu memimpin.
kemarin, 5 juli 2004, awal kita menuju indonesia yang lebih baik. hidup indonesia!!!!!!
Saturday, July 03, 2004
Siapa Kawan, Siapa Lawan
Siapa Kawan, Siapa Lawan
Saat rapat penentuan matakuliah kemarin, terasa betul aroma persaingan tidak sehat. Hal ini memang telah aku dengar sebelumnya, namun kmearin sepertinya menjadi hari pembuktian. Ada dari beberapa dosen yang hanya minta satu matakuliah. Kali lain bahkan ada yang tidak dapat satupun matakuliah.
Belakangan kutahu, mereka yang hanya minta satu matakuliah (dengan beragam alasan tentunya) adalah mereka yang memiliki proyek "sampingan" di luar. Ada juga mereka yang beralasan sedang menjalani program doktoralnya, sehingga "takut" terhalangi. Sedang mereka yang tidak mendapatkan jatah, kutahu mereka adalah "musuh" bersama dari beberapa dosen. Musuh disini entah apa maksudnya.
Bicara soal musuh (lawan), setelah mendengar pengumuman bahwa aku lulus menjadi dosen, beberapa "orang dekat" memberiku semacam arahan. Arahan ini seputar peta geopolitik dalam lingkup fakultas dan jurusan. Dengan maksud untuk menhargai niat baik mereka, aku coba mendengar dengan baik, seolah-olah aku begitu menyimak.
Kini kusadar, setelah masuk dalam "dunia lain" itu, saya (sekali lagi) mendapatkan pembenarannya. Salah satunya, fakta soal rapat di atas. Fakta lainnya, beberapa dosen dan staf yang awalnya coba kujadikan teman seiring, teman berbagi, dan seorang yang dapat kupercaya, ternyata juga turut andil dengan menjadi aktor dalam hal "kubu-kubu"an. Parahnya lagi, mereka sering "menikam"ku dari belakang. Ringkasnya, kini tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan.
Aku teringat dengan salah satu adegan dalam film CON AIR, yang salah satu bintangnya adalah Nicholas Cage. Adegan ketika Nicolas (aku lupa ia berperan sebagai siapa-yang jelas ia menjadi narapidana yang menanti sebenatar lagi akan bebas dan ditempatkan satu pesawat dengan narapidana kelas kakap) bertemu dengan polisi yang coba menyelamatkannya (lagi ingatanku buruk, aku lupa siapa nama peran dan nama asli dari polisi ini). Sang Polisi bertutur bahwa ia telah bertemu istrinya dan menitip pesan dari istrinya.
Karena pengalaman pahit selama menjadi narapidana dan perjalanan penuh gejolak dalam pesawat yang dibajak para narapidana, ia tidak begitu saja percaya. Dengan gagah ia berkata, "Hanya ada dua lelaki yang aku percaya di muka bumi ini. Satu ayahku, dan kedua bukan kau". Sempurna, dan begitulah aku sekarang ini.
Saat rapat penentuan matakuliah kemarin, terasa betul aroma persaingan tidak sehat. Hal ini memang telah aku dengar sebelumnya, namun kmearin sepertinya menjadi hari pembuktian. Ada dari beberapa dosen yang hanya minta satu matakuliah. Kali lain bahkan ada yang tidak dapat satupun matakuliah.
Belakangan kutahu, mereka yang hanya minta satu matakuliah (dengan beragam alasan tentunya) adalah mereka yang memiliki proyek "sampingan" di luar. Ada juga mereka yang beralasan sedang menjalani program doktoralnya, sehingga "takut" terhalangi. Sedang mereka yang tidak mendapatkan jatah, kutahu mereka adalah "musuh" bersama dari beberapa dosen. Musuh disini entah apa maksudnya.
Bicara soal musuh (lawan), setelah mendengar pengumuman bahwa aku lulus menjadi dosen, beberapa "orang dekat" memberiku semacam arahan. Arahan ini seputar peta geopolitik dalam lingkup fakultas dan jurusan. Dengan maksud untuk menhargai niat baik mereka, aku coba mendengar dengan baik, seolah-olah aku begitu menyimak.
Kini kusadar, setelah masuk dalam "dunia lain" itu, saya (sekali lagi) mendapatkan pembenarannya. Salah satunya, fakta soal rapat di atas. Fakta lainnya, beberapa dosen dan staf yang awalnya coba kujadikan teman seiring, teman berbagi, dan seorang yang dapat kupercaya, ternyata juga turut andil dengan menjadi aktor dalam hal "kubu-kubu"an. Parahnya lagi, mereka sering "menikam"ku dari belakang. Ringkasnya, kini tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan.
Aku teringat dengan salah satu adegan dalam film CON AIR, yang salah satu bintangnya adalah Nicholas Cage. Adegan ketika Nicolas (aku lupa ia berperan sebagai siapa-yang jelas ia menjadi narapidana yang menanti sebenatar lagi akan bebas dan ditempatkan satu pesawat dengan narapidana kelas kakap) bertemu dengan polisi yang coba menyelamatkannya (lagi ingatanku buruk, aku lupa siapa nama peran dan nama asli dari polisi ini). Sang Polisi bertutur bahwa ia telah bertemu istrinya dan menitip pesan dari istrinya.
Karena pengalaman pahit selama menjadi narapidana dan perjalanan penuh gejolak dalam pesawat yang dibajak para narapidana, ia tidak begitu saja percaya. Dengan gagah ia berkata, "Hanya ada dua lelaki yang aku percaya di muka bumi ini. Satu ayahku, dan kedua bukan kau". Sempurna, dan begitulah aku sekarang ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)