Friday, August 16, 2013

Pemimpin dan Sejarahnya

Hari ini, sudah dua pekan lebih kampanye pemilihan federal dilaksanakan di Australia. Dua partai besar, Liberal dan Labour sudah genacar melakukan banyak upaya menggaet suara saat Pemilu Federal 7 September mendatang. Tak ketinggalan, Komisi pemilihan umum Australia yang gencar meminta masayrakat yang memiliki hak suara untuk "Enroll". Metode yang mereka pakai relatif seragam, iklan elektronik di televisi dan radio, juga internet. Tentu saja, jalur media tradisional seperti koran, poster, dan surat ke rumah-rumah masyarakat juga dilakukan. Satu hal yang menarik, tak seperti di Indonesia, tak ada satupun spanduk dan baligo di jalan-jalan, hahaha..

Nah, ada yang menarik di artikel koran Guardian Australia hari ini, kisah tentang calon Perdana Mentri Australia kelak, Tony Abbott. Dia yang berasal dari partai Liberal memiliki pandangan tentang masa depan Australia yang berbeda dengan Kevin Rudd yang berasal dari partai Buruh. Perbedaan ini selain berlatar ideologi (Conservative Vs Socialist), namun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepemimpinan di masing-masing partai. Tentu, menjadi pertanyaan, apakah individu yang kemudian memberi warna pada partai (lembaga) atau lembaga kemudian yang mewarnai pandangan politik seorang individu. Namun terlepas dari hal tersebut, artikel menarik tentang Tony Abbott hari ini memuat kisahnya saat kuliah di Oxford.

Seperti Margaret Thatcher, mantan PM Inggris dari Partai Konservative, Abbott ternyata pernah mengenyam pendidikan di salah satu kampus elit di dunia. Ia kuliah selama 2 tahun disana dengan dukungan beasiswa Rhodes, salah satu beasiswa prestigious juga di kalangan commonwealth. Di sana, ia belajar politik dan filsafat. Sebelum studi pascasarjana di Oxford, ia juga kuliah di University of Sidney.

Membaca koran, berita di media elektronik dan gosip, banyak pihak sebenarnya meragukan pria ini. Selain dianggap amatir dalam politik, kemenangannya yang tipis atas rival di dalam partainya untuk posisi ketua partai membuatnya seperti tidak terlegitimasi. Belum lagi olok-olok menyangkut fisik dan cara bicaranya. Bahkan kemarin ada yang menulis begini di koran. "Can not stand to even look at the man, My TV goes off as soon as he appears on it". Ya, bahkan di negara yang mengklaim maju dan canggih seperti Australia ini, masih ada saja yang berpandangan demikian. Tapi tentu saja, pandangan serupa itu tidak dominan dan hanya sedikit. Apalagi banyak dari pandangan tidak senang ini disampaikan dalam bentuk sarkas yang sangat tajam, yang mebacanya malah menyenangkan dan menggelitik.

Yang menarik juga dari Abbot ini adalah sejarahnya yang dekat dengan politik sayap kanan bahkan sejak ia belum ke Oxford. Dan saat di Oxford inilah, bibit sayap kanan yang dimilikinya tersemaikan dan mendapat tempat. Ini tentu saja menarik, bahwa terlepas dari preferensi masing-masing orang akan Abbott, tapi ia bukan orang yang tiba-tiba saja datang dan merasa layak jadi calon PM. Ia telah melewati banyak fase politik dalam hidupnya. Ia bukan orang yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki ideologi politik tertentu. Ada bukti dan catatan sejarah tentang mengapa ia memilih sebuah kebijakan saat ini, misalnya. Sekali lagi, lepas dari apakah pilihan itu baik atau tidak. Kita bisa tahu mengapa dan bagaimana ia bisa sampai pada sebuah pandangan.

Ya, poin saya adalah bahwa ketika bicara pemimpin, apalagi untuk sebuah negeri, selain ideologi tentu patutlah dilihat jejak-rekam sang calon. Kehidupan pribadi, ketika ia memilih menjadi pejabat publik, maka harus pula menjadi catatan dan perhatian. Tapi tentu, penekanannya adalah pada pandangan dan harapannya ke depan yang dibangun sejak lama. Fokus pada kehidupan pribadi sejatinya tidak melepaskan haknya untuk tetap memiliki rahasia, tentu saja ketika itu menyangkut hidup pribadinya dan tidak berhubungan dengan publik.

Tony Abbot memang tidak terlalu populer, meski demikian polling menunjukkan ada peningkatan suara dan kepercayaan padanya. Bisa jadi, kenaikan ini disebabkan karena jenuhnya orang akan pemimpin dan kebijakannya yang sekarang. Tapi entahlah, sekali lagi suara dan poling tak bisa dilepas juga dari kepiawaian 'public relations' dan kemasannya. Kita juga tentu ingat, bagaimana Margaret Thatcher dan Davide Cameron di Inggris, dua pemimpin partai Konservativ yang berhasil naik menjadi Perdana Menteri. Keduanya sangat tidak populer dalam polling dan juga perbincangan sehari-hari. Namun sejarah menunjukkan bagaimana itu semua tidak menghalangi mereka berdua menjadi PM Inggris. Mungkin sejarah yang sama akan terjadi bagi partai Liberal di Australia setelah terakhir terjadi tahun 2007.

No comments: