baiklah dilanjutkan....
Lalu, bagaimana dengan FEB-Unhas sendiri? Tak perlu jauh-jauh mencari perbandingan dengan sekolah-sekolah bisnis terkenal itu. Perbandingan seperti itu hanya membuat kita frustasi tak berkesudahan. FEB-Unhas saat ini masih belum bisa beranjak dari masalah-masalah elementer. Soal minimnya anggaran, atmosfer akademik yang tidak terasa, rendahnya penelitian dari dosen baik dari segi kuantitas maupun kualitas hingga pelayanan akademik yang mengecewakan bagi dosen dan mahasiswa. Infrastruktur yang ada pun layak dimasukkan dalam dafatar masalah yang setia menemani perjalanan FEB-Unhas. Lihatlah kampus Magister Manajemen yang tak lebih baik dari gedung beberapa SD Inpress di Makassar.
Ingin melihat yang lebih jauh dan substantif lagi? Tengoklah bagaimana dosen dan mahasiswa berinteraksi di kelas. Interaksi yang ada memberi gambaran bahwa mengajar dan diajar tak lebih sekedar rutinitas belaka. Tak ada gairah yang terlihat sebagai sebuah aktifitas untuk mendapatkan dan bermanfaat bagi pengetahuan. Dosen masuk kelas dengan minim persiapan, materi yang disampaikan tidak uptodate, hingga waktu perkuliahan habis untuk membahas masalah pribadi sang dosen masih sering kita dengar hingga saat ini. Belum lagi tugas yang diberikan kadang tidak relevan dengan mata kuliahnya, hingga kasus jual-beli nilai yang sulit untuk dibuktikan namun gaungnya ramai terdengar.
Tentu, menuntut mereka untuk berlaku layaknya civitas akademika idel mensyaratkan ketersediaan sumber pengetahuan seperti buku dan jurnal ilmiah. Lalu, bagaimana mengharapkan yang terbaik jika persputakaan yang ada dikelola layaknya kantor kelurahan?
Lembaga kemahasiswaan yang ada pun saat ini masih belum bisa 'move on' hingga tak ingin berbuat sesuatu yang berbeda dari seniornya yang dulu. Dialektika yang ada di antara mereka masih seputar hal remeh-temeh seperti pengkaderan, penggunaan anggaran kemahasiswaan dan demo-demo yang sifatnya reaksional semata. Tak pernah ada upaya serius untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu mahasiswa, meskipun slogan dalam setiap aksi mereka adalah 'everybody has the right for their own history'. Ada dua kemungkinan hal ini bisa terjadi. Pertama, kondisi FEB-Unhas saat ini dirasa sudah cukup memuaskan hingga tak perlu ada diskusi lagi. Kondisi kedua, lembaga mahasiswa bingung untuk memutuskan kontribusi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada dan dari mana memulainya. Hubungan yang ada jadinya seperti 'LDR' padahal jarak kantornya cuma sepelemparan batu.
Mengurai satu per satu masalah yang pasti tak ada habisnya. Namun demikian, kita tak bisa meminggirkan peran universitas yang juga sangat menentukan. Sebagai sebuah institusi yang perannya terhadap pengetahuan dan pengembangannya terhadap kehidupan begitu berpengaruh, maka FEB-Unhas hanyalah bagian kecil dari harapan itu. Sayangnya, dalam lingkup Universitas, kondisi yang sama juga terjadi. Universitas dikelola layaknya kantor pemerintah semata hingga yang lahir dari dalamnya serupa kebijakan-kebijakan tanpa dasar dan kadang tidak masuk akal. Padahal, menurut Lyotard (1984): "The university’s relation to knowledge is articulated by a metanarrative of ‘the realization of the life of the spirit or the emancipation of
humanity and its ‘unifying idea’ and ideal of aligning culture and society".
Ambil contoh pelarangan masuk angkutan kota ke dalam kampus namun kendaraan pribadi tetap tak dibatasi. Apalagi alasan yang digunakan adalah demi lingkungan dan keteraturan kampus. Padahal, kendaraan pribadi dosen dan mahasiswa luar bisa banyaknya hingga parkir di pinggir jalan dan membuat kemacetan setiap jam-jam padat. Pola pikir seperti ini tentu sangat disayangkan muncul dari kalangan kampus. Belum lagi perpustakaan kampus yang tidak pernah mendapat perhatian lebih seperti gedung rektorat yang sudah direnovasi beberapa kali. Artinya, hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan pengetahuan tak begitu berarti untuk mendapat perhatian ketimbang hal-hal artifisial dan seremonial lainnya.
Lalu Bagaimana?
Ada pendapat yang mengatakan seperti ini, bahwa marah terhadap kondisi yang buruk itu adalah sesuatu hal yang bagus. Namun marah-marah saja karena keadaan yang buruk, lama-lama menjadi aktifitas yang meletihkan dan menjengkelkan. Nah, agar tak terjengkelkan dan terletihkan, maka ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian FEB-Unhas di 64 tahun usianya kini.
Pertama, berhentilah selalu merasa tua. Dalam setiap perayaan Dies Natalis, selalu didengungkan bahwa FEB-Unhas adalah yang tertua di Indonesia. Tidak salah memang, apalagi dokumen sejarah yang ada membuktikan itu. Tapi pemikiran dan kebanggaan semu seperti ini membuat kita jumawa dan lupa bahwa usia bukan segalanya. Kerja dan bakti nyata itu yang perlu. Perlu juga dipikirkan perayaan Dies Natalis itu dibatasi sekali dalam dua tahun saja. Seremoni yang tidak jelas sudah terlalu banyak di kampus. Perlu menitikberatkan esensi daripada seremoni belaka.
Kedua, perlu upaya serius membenahi fasilitas kampus yang ada saat ini. Fasilitas ini tentu saja sangat bergantung pada ketersediaan dana yang dialokasikan universitas. Namun alternatif pembiayaan bukannya tidak ada. Wadah alumni bisa dimanfaatkan dan juga pihak ketiga lainnya seperti korporasi dan individu. Tentu saja, akuntabilitas dan transaparansi menjadi syarat dasar agar hal ini bisa dijalankan.
Ketiga, tak boleh lagi sekedar duduk bersama mendiskusikan soal bagaimana sebaiknya iklim akademik di fakultas bisa dibenahi. Road map dan diskusi tak terhitung lagi berapa kali dilaksanakan namun minim implementasi. Meski tata-kelola dan prosedur tak boleh dilanggar, namun ini seharusnya tidak memberi batas akan kreatifitas dan pikiran berbeda untuk berkembang. Sudah saatnya pengelola fakultas berhenti berpikir dan berparadigma pejabat kelurahan.
Dalam konteks perkuliahan, perlu dibangun kesadaran bersama dari dosen untuk tidak lagi sekedar menggugurkan kewajiban semata. Insentif untuk mereka yang serius di riset perlu juga dikaji. Selain itu, perlu pula dipikirkan kerjasama dengan pihak swasta untuk menjembatani teori-praktek yang selama ini terkesan diabaikan. Tak ada salah memanggil praktisi untuk mengisi jadwal kuliah. Tentu, tak sekedar mengisi kuliah semata, tapi diharapkan mampu berbagi pengalaman tentang realitas di luar yang mungkin saja luput dari perhatian kita di kampus. Generasi hi-tech saat ini sudah tidak dapat lagi didekati dengan pendekatan a la 'jadul', meski prinsip-prinsip dasar dalam belajar masih tetap harus dipertahankan. Prinsip-prinsip seperti kesungguhan, kerja keras dan kejujuran harus menjadi basis dalam setiap aktifitas pembelajaran. Pelibatan makin banyak dan beragam
Kampus sudah selayaknya tak hanya berfungsi sebagai penyebar pengetahuan (disseminator of the knowledge) tp menjadi basis dari pengetahuan itu sendiri (a site of knowledge production). Namun jika masih dikelola seperti kondisi yang ada saat ini, rasanya keinginan itu masih jauh sekali. Kampus puh tidak boleh lepas dari akar kulturalnya. Dalam visi besar FEB-Unhas, semangat bahari jelas termaktub. Bagaimana implementasinya? Sederhana menjawabnya, tidak ada mata kuliah khusus yang membahas dan menerjemahkan visi ini.
Padahal, jika betul dipahami dengan baik, maka ini bisa menjadi basis pembeda FEB-Unhas dengan FEB yang lain. Selain itu, semangat bahari dan ekonomi kerakyatan yang menjadi spiritnya, bisa digunakan sebagai dasar dalam membentuk ‘narratives of expertise’ dari FEB-Unhas.
Akhirnya, semoga Dies Natalis kali ini menjadi langkah awal menjadi lebih baik dan bermanfaat. Tak harus selalu merasa tua.. Dirgahayu FE-Unhas ke-64.
Saturday, October 20, 2012
64 Tahun FE Unhas, Berhentilah Merasa Tua
Setiap bulan Oktober adalah bulan istimewa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas (FEB-Unhas). 8 Oktober 1948, Fakultas ini dibentuk sebagai bagian dari upaya desentralisasi pendidikan tinggi saat itu. Niat awalnya untuk memenuhi kebutuhan guru-guru ilmu ekonomi dan pemegang buku di sekolah-sekolah menengah di Indonesia.
Tahun ini, tepat 64 tahun FEB-Unhas. Sebuah usia yang tak bisa dikatakan muda lagi. Namun sayangnya, dalam setiap tahun acara peringatan Dies Natalis ini, praktis tidak banyak perubahan berarti. Usia yang tak muda lagi rupanya berimplikasi pada kinerja kelembagaan yang tak juga beranjak meninggi. Ini tak menafikan beberapa perubahan yang ada. Namun demikian, perubahan itu seharusnya sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Perubahan paling sederhana (dan mungkin malah yang paling tinggi tingkat pencapaiannya) adalah perubahan nama dari Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Perubahan ini sayangnya tidak diikuti dengan perubahan paradigma yang berarti. Sederhananya, perubahan ini sekedar mengikuti trend perubahan nama di beberapa perguruan tinggi lain. Perubahan lain yang juga mencolok adalah pembangunan fisik dan kampus yang sedikit tertata. Namun sekali lagi, tak perlu visi dan usaha luar biasa besar untuk perubahan 'kecil' seperti ini.
Mengelola FEB-Unhas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, sebagai bagian integral dari Unhas dan kementrian pendidikan dan kebudayaan, tentu ada mekanisme dan tata-aturan yang harus diikuti. Pemahaman prosedural memang menjadi penting ketika ingin melihat institusi ini secara utuh.
Meski begitu, hal ini tak bisa menjadi alasan pembenar dari 'lambat-gerak' FEB-Unhas menghadapi masa depan. Apalagi disadari, tantangan pendidikan tinggi ke depan semakin besar. Tantangan yang besar ini dibarengi pula dengan tuntutan yang tinggi akan kontribusi institusi pendidikan tinggi, yang bagi beberapa kalangan dirasa belum berarti (untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali).
FEB-Unhas sebagaimana Fakultas Ekonomi yang lain sebenarnya berdiri di persimpangan jalan. Berbicara ekonomi dan bisnis maka kita tentu tak bisa melepaskan diri dari persinggungannya dengan sosial, politik dan budaya. Ini pula yang melatari banyak kritik terhadap pendidikan ekonomi di perguruan tinggi. Kita mungkin bisa belajar dari perjalanan panjang sekolah-sekolah bisnis di Amerika dan Eropa. Di era pasca perang dunia II, di Amerika khususnya, sekolah-sekolah bisnis (business schools) dikritik tak ubahnya sebagai 'trade schools'. Hal ini dilatari dari minimnya kontribusi pengetahuan, yang diakibatkan oleh lemahnya riset-riset dari perguruan tinggi tersebut. Kesenjangan ini ditambah lagi dengan kurang aplikatifnya riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya.
Beberapa sekolah-sekolah bisnis top kemudian memperkenalkan model pengajaran berbasis kasus (case study) sebagai upaya untuk menutup celah 'ketidak-sesuaian' antara teori dan praktek ini. Kelas-kelas yang bersifat aplikatif seperti program MBA dan kelas eksekutif pun diperkenalkan. Dengan harapan, ini bisa menjadi jembatan antara kebutuhan bisnis dan tuntutan riset yang harus dilakoni oleh civitas akademika.
Sampai di sini kritik bukannya tidak ada. Beberapa kalangan kemudian menilai bahwa sekolah-sekolah bisnis telah berubah menjadi sebuah industri tersendiri, yang melihat mahasiswa tak ubahnya sebagai konsumen semata. Kritik lain menyebutkan bahwa sekolah-sekolah bisnis itu sudah tak berideologi mulia lagi, dimana keuntungan finansial menjadi tujuan utama layaknya sebuah korporasi dan mempertaruhkan integritas akademiknya.
Tak berhenti di situ, kondisi ekonomi global yang tidak menggembirakan juga ditengarai sebagai akibat dari sistem pendidikan ekonomi dan bisnis yang sangat kaku dan tidak bermoral. Diawali dari runtuhnya Enron dan diikuti dengan beberapa korporasi besar lainnya. Semuanya bermuara pada pengajaran ekonomi dan bisnis yang dianggap menjadikan orang menjadi rakus dan amoral. Keuntungan finansial menjadi segalanya tanpa perlu merisaukan urusan lain.
Yang paling anyar kritik (tepatnya refleksi) disampaikan oleh Professor Howard Davies yang mengambil kisah dari ketidak-puasan Jean-Claude Trichet, mantan gubernur bank sentral Eropa, terhadap terbatasnya kemampuan 'ilmu ekonomi' untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang mendera banyak negara kini. Menurutnya, model-model konvensional yang ditawarkan ilmu ekonomi tak lagi cukup dan mumpuni untuk digunakan sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Akhirnya, gubernur bank sentral Eropa ini meminta bantuan kepada ahli dari bidang lain seperti ahli fisika, biologi, hingga ahli psikologi untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi global.
to be continued
Tahun ini, tepat 64 tahun FEB-Unhas. Sebuah usia yang tak bisa dikatakan muda lagi. Namun sayangnya, dalam setiap tahun acara peringatan Dies Natalis ini, praktis tidak banyak perubahan berarti. Usia yang tak muda lagi rupanya berimplikasi pada kinerja kelembagaan yang tak juga beranjak meninggi. Ini tak menafikan beberapa perubahan yang ada. Namun demikian, perubahan itu seharusnya sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Perubahan paling sederhana (dan mungkin malah yang paling tinggi tingkat pencapaiannya) adalah perubahan nama dari Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Perubahan ini sayangnya tidak diikuti dengan perubahan paradigma yang berarti. Sederhananya, perubahan ini sekedar mengikuti trend perubahan nama di beberapa perguruan tinggi lain. Perubahan lain yang juga mencolok adalah pembangunan fisik dan kampus yang sedikit tertata. Namun sekali lagi, tak perlu visi dan usaha luar biasa besar untuk perubahan 'kecil' seperti ini.
Mengelola FEB-Unhas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, sebagai bagian integral dari Unhas dan kementrian pendidikan dan kebudayaan, tentu ada mekanisme dan tata-aturan yang harus diikuti. Pemahaman prosedural memang menjadi penting ketika ingin melihat institusi ini secara utuh.
Meski begitu, hal ini tak bisa menjadi alasan pembenar dari 'lambat-gerak' FEB-Unhas menghadapi masa depan. Apalagi disadari, tantangan pendidikan tinggi ke depan semakin besar. Tantangan yang besar ini dibarengi pula dengan tuntutan yang tinggi akan kontribusi institusi pendidikan tinggi, yang bagi beberapa kalangan dirasa belum berarti (untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali).
FEB-Unhas sebagaimana Fakultas Ekonomi yang lain sebenarnya berdiri di persimpangan jalan. Berbicara ekonomi dan bisnis maka kita tentu tak bisa melepaskan diri dari persinggungannya dengan sosial, politik dan budaya. Ini pula yang melatari banyak kritik terhadap pendidikan ekonomi di perguruan tinggi. Kita mungkin bisa belajar dari perjalanan panjang sekolah-sekolah bisnis di Amerika dan Eropa. Di era pasca perang dunia II, di Amerika khususnya, sekolah-sekolah bisnis (business schools) dikritik tak ubahnya sebagai 'trade schools'. Hal ini dilatari dari minimnya kontribusi pengetahuan, yang diakibatkan oleh lemahnya riset-riset dari perguruan tinggi tersebut. Kesenjangan ini ditambah lagi dengan kurang aplikatifnya riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya.
Beberapa sekolah-sekolah bisnis top kemudian memperkenalkan model pengajaran berbasis kasus (case study) sebagai upaya untuk menutup celah 'ketidak-sesuaian' antara teori dan praktek ini. Kelas-kelas yang bersifat aplikatif seperti program MBA dan kelas eksekutif pun diperkenalkan. Dengan harapan, ini bisa menjadi jembatan antara kebutuhan bisnis dan tuntutan riset yang harus dilakoni oleh civitas akademika.
Sampai di sini kritik bukannya tidak ada. Beberapa kalangan kemudian menilai bahwa sekolah-sekolah bisnis telah berubah menjadi sebuah industri tersendiri, yang melihat mahasiswa tak ubahnya sebagai konsumen semata. Kritik lain menyebutkan bahwa sekolah-sekolah bisnis itu sudah tak berideologi mulia lagi, dimana keuntungan finansial menjadi tujuan utama layaknya sebuah korporasi dan mempertaruhkan integritas akademiknya.
Tak berhenti di situ, kondisi ekonomi global yang tidak menggembirakan juga ditengarai sebagai akibat dari sistem pendidikan ekonomi dan bisnis yang sangat kaku dan tidak bermoral. Diawali dari runtuhnya Enron dan diikuti dengan beberapa korporasi besar lainnya. Semuanya bermuara pada pengajaran ekonomi dan bisnis yang dianggap menjadikan orang menjadi rakus dan amoral. Keuntungan finansial menjadi segalanya tanpa perlu merisaukan urusan lain.
Yang paling anyar kritik (tepatnya refleksi) disampaikan oleh Professor Howard Davies yang mengambil kisah dari ketidak-puasan Jean-Claude Trichet, mantan gubernur bank sentral Eropa, terhadap terbatasnya kemampuan 'ilmu ekonomi' untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang mendera banyak negara kini. Menurutnya, model-model konvensional yang ditawarkan ilmu ekonomi tak lagi cukup dan mumpuni untuk digunakan sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Akhirnya, gubernur bank sentral Eropa ini meminta bantuan kepada ahli dari bidang lain seperti ahli fisika, biologi, hingga ahli psikologi untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi global.
to be continued
Labels:
Berbagi,
catatan sekedarnya,
WorkOnProgress
Saturday, October 13, 2012
Analysis of Non-Market Strategies Implemented by Firms In Emerging Economies (The Case of Indonesia)
Abstract
Over the last two decades, a growing body of research, both theoretical and empirical, on exploring the relationship between business and government has been emerging. While in the past, the performance of the firms mainly relied on market environment, many scholars revealed that non-market environment also play an important role in the firm’s performance. Non-market strategies include political donation, lobbying, CSR and business owners turning into politicians themselves. This proposed research will identify and examine the nature of the non-market environment as well as non-market strategies implemented by firms in emergent economies. In addition, the proposed research will analyse the relationship between non-market strategies and the performance of firms. In-depth case studies will be carried out in two firms in the region South Sulawesi, Indonesia. The expected outcomes of this study are: 1) knowledge of how the non-market environment influences the choice of non-market strategies in emergent economies; 2) knowledge on how non-market strategies influence business performance; 3) clarification of the role of government in an emergent economy with particular emphasis on government policies on business development under volatile market conditions. It is expected that this study will fill in the gap in literature on various types of non-market strategies in conditions of emergent economies.
Over the last two decades, a growing body of research, both theoretical and empirical, on exploring the relationship between business and government has been emerging. While in the past, the performance of the firms mainly relied on market environment, many scholars revealed that non-market environment also play an important role in the firm’s performance. Non-market strategies include political donation, lobbying, CSR and business owners turning into politicians themselves. This proposed research will identify and examine the nature of the non-market environment as well as non-market strategies implemented by firms in emergent economies. In addition, the proposed research will analyse the relationship between non-market strategies and the performance of firms. In-depth case studies will be carried out in two firms in the region South Sulawesi, Indonesia. The expected outcomes of this study are: 1) knowledge of how the non-market environment influences the choice of non-market strategies in emergent economies; 2) knowledge on how non-market strategies influence business performance; 3) clarification of the role of government in an emergent economy with particular emphasis on government policies on business development under volatile market conditions. It is expected that this study will fill in the gap in literature on various types of non-market strategies in conditions of emergent economies.
Karena Ibadah Bukan Hanya Shalat Jumat
Sudah berapa jumat yang saya lewati, khutbah jumat siang tadi adalah yang paling berani dan paling berbekas. Berani sebab sang khatib bicara soal sederhana namun menyentuh. Ia berbicara tentang betapa Sahalat Jumat, yang seharusnya dimuliakan dan utama sering kita abaikan.
Sang khatib memberi contoh. Rasulullah menganjurkan kita melihat ibadah Jumat sebagai ibdaha utama di setiap pekan kita. Makanya, persiapan seperti berbersih diri, memakai pakaian bersih dan wewangian hingga menyegerakan datang sebelum khatib berbicara adalah sebagian anjurannya. Namun yang terjadi, shalat jumat sering dianggap biasa. Kita kadang memilih datang telat, hanya karena selalu menganggap khutbah jumat itu lebih bahaya dari obat tidur. Bahkan, beberapa jamaah memang lebih memilih bermain dengan telepon genggam mereka ketimbang mendengarkan khatib berbagi kebenaran. Tentu saja, tidak semua khatib sesuai harapan dan keinginan kita. Tapi dalam ilmu psikologi kita juga tahu, sebagai manusia kita lebih sering mencari informasi yang sesuai keinginan. Nah, dalam urusan beragama, keinginan dan harapan itu kadang dibenturkan dengan perintah dan larangan.
Padahal, lanjut sang khatib, film berdurasi lebih 2 jam tak membuat kita ngantuk dan mengalihkan perhatian. Intinya, urusan dunia sering membuat kita menjadi perhitungan dengan Allah.
Betul, di negara ini yang Islam bukan mayoritas, kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun ini lebih banyak dipakai sebagai kedok ketimbang berbicara soal kenyataan yang ada. Selalu punya banyak alasan untuk kemalasan. Alasan memang begitu dekat dengan kemalasan. Kita sering berharap doa dikabulkan, namun tak pernah perhatikan apa yang menjadi kewajiban.
Sang khatib memberi contoh. Rasulullah menganjurkan kita melihat ibadah Jumat sebagai ibdaha utama di setiap pekan kita. Makanya, persiapan seperti berbersih diri, memakai pakaian bersih dan wewangian hingga menyegerakan datang sebelum khatib berbicara adalah sebagian anjurannya. Namun yang terjadi, shalat jumat sering dianggap biasa. Kita kadang memilih datang telat, hanya karena selalu menganggap khutbah jumat itu lebih bahaya dari obat tidur. Bahkan, beberapa jamaah memang lebih memilih bermain dengan telepon genggam mereka ketimbang mendengarkan khatib berbagi kebenaran. Tentu saja, tidak semua khatib sesuai harapan dan keinginan kita. Tapi dalam ilmu psikologi kita juga tahu, sebagai manusia kita lebih sering mencari informasi yang sesuai keinginan. Nah, dalam urusan beragama, keinginan dan harapan itu kadang dibenturkan dengan perintah dan larangan.
Padahal, lanjut sang khatib, film berdurasi lebih 2 jam tak membuat kita ngantuk dan mengalihkan perhatian. Intinya, urusan dunia sering membuat kita menjadi perhitungan dengan Allah.
Betul, di negara ini yang Islam bukan mayoritas, kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun ini lebih banyak dipakai sebagai kedok ketimbang berbicara soal kenyataan yang ada. Selalu punya banyak alasan untuk kemalasan. Alasan memang begitu dekat dengan kemalasan. Kita sering berharap doa dikabulkan, namun tak pernah perhatikan apa yang menjadi kewajiban.
Subscribe to:
Posts (Atom)