Thursday, September 15, 2011

Catatan Perjalanan Part 2—Pulau Tanimbar





Ini adalah catatan-catatan lama yang berhasil saya dapat setelah membongkar arsip. Sayang saja jika tidak dipublish.


Day 1:
Dari Serang, saya langsung menuju Jakarta. Agenda berikutnya terbang ke Ambon. Jadwal pesawat yang rasanya tak masuk akal harus saya terima. Pesawat ke Ambon baru berangkat pukul 01.30 malam. Saya hanya bisa ‘membunuh waktu’ dengan segelas kopi hitam dan sebungkus sari roti keju.
Penerbangan yang ditunggu tiba juga waktunya. Pesawat berangkat. Saya tak ingat lagi apa, yang ada hanya tidur, membalas dendam dari letihnya membunuh waktu.
Tiba di Ambon jam 7 pagi. Luar biasa juga rasanya, melewati tiga zona waktu yang berbeda. Terasa betul lelahnya, meski tertidur, tetap saja tak nyaman. Saya tak pernah merasa nyaman tidur di kendaraan. Tapi begitulah, namanya juga kerja.
Sekarang saatnya menanti penerbangan berikut yang akan mengantarkan saya ke pulau Tanimbar. Ini pengalaman pertama terbang dengan pesawat kecil. Bayangan akan goncangan sudah hilir mudik dalam pikiran. Tapi karena pengalaman yang menjanjikan, maka khawatir itu coba ditepis.
Sayang, saya harus menunggu lebih lama untuk penerbangan ini. Jadwal yang seharusnya jam 9 diundur hingga jam 10. Lewat jam 10, pengumuman baru muncul, diundur hingga pukul 12 siang. Yang hebatnya, hanya permintaan maaf yang kami terima. Para penumpang tak punya banyak pilihan. Jika tak berkenan, silahkan terbang sendiri, itu dengan catatan Anda adalah Gatotkaca.
Jam 12 lewat, artinya telat lagi dari jadwal telat sebelumnya, pesawat Trigana Air yang akan membawa kami ke Tanimbar mendarat juga. Tak sampai setengah jam bongkar muat, kami kemudian dipersilahkan naik. Pesawat ini seperti angkot saja rasanya. Tak ada nomor kursi penumpang. Siapa cepat dia bisa duduk sesuai pilihan. Kata pilot, kami akan terbang dengan ketinggian 15000 kaki di atas permukaan laut. Saya tak berani bertanya apakah tepat ukuran yang dia pakai. Jangan-jangan dia minta saya mengukur sendiri.
Bayangan akan penerbangan yang menegangkan sirna saat kami lepas landas. Memang suara mesin begitu keras dan terasa. Tapi tetap saja lebih baik daripada angkot ngebut. Awalnya ingin mengambil gambar dari udara. Sebuah pemandangan yang menarik pasti. Tapi karena duduk saya tepat dekat jendela, dan panas matahari yang terik bakal membuat gambar jadi percuma. Saya tak tahu banyak tentang teknik pengambilan gambar, tapi saya kok tetap membatin bahwa tidur masih jauh lebih baik. Akhirnya tidur pun jadi pilihan bijak untuk saat ini. Apalagi letih yang dari tadi ada belum juga hilang.
Pengumuman dari kru pesawat membangunkan saya. Sebentar lagi kami tiba di pulau Tanimbar. Dari udara, pulau ini begitu hijau kelihatan, meski di tengah-tengahnya ada celah. Mungkin bekas penebangan liar. Di tengah ketatnya industry perkayuan, selalu saja ada orang yang berani mengambil resiko, termasuk dengan mengorbankan kepentingan generasi mendatang.
Kami mendarat dengan ‘tidak terlalu’ mulus di bandara Saumlaki. Saumlaki merupakan nama ibukota Tanimbar, propinsi Maluku Tenggara Barat. Panjang landasan yang tidak memadai, membuat pilot harus mengerem dengan segera. Diantara semua penumpang, rasanya cuma saya yang gugup. Penumpang lain mungkin sudah terbiasa.
Dengan ojek saya menuju hotel. Mereka menyebutnya HI, hotel Harapan Indah. Mirip-mirip hotel Indonesia saja dengarnya. Dari luar hotel ini seperti ruko, dan sangat tak menarik. Tapi saya sangat kaget ketika masuk ke dalam. Kamar-kamarnya seperti cottage yang ada di hotel pantai gapura, Makassar. Hebatnya lagi, kamar saya tepat di atas laut. Semilir ombak jelas terdengar dari kamar. Lebih dari lumayan untuk pulau yang jaraknya jauh dari pusat propinsi.
Setelah beristirahat sejenak, saya kemudian berkesempatan keluar melihat-lihat sekitar hotel. Ada waktu sejam sebelum acara dimulai. Ketimpangan ekonomi jelas terlihat di sekitar hotel. Ada rumah besar dengan ford ranger dan Mitsubishi strada terparkir di garasi. Tapi tepat di belakangnya ada gubuk reot dengan beberapa anak kecil bermain tanah di depannya. Ekonomi pun berpusat hanya di beberapa golongan saja. Kontraktor dan industry menengah lainnya rata-rata dikuasai orang Cina dan pendatang. Penduduk asli kebagian jadi buruh dan staf saja. Sebagian yang lain jadi nelayan dan petani. Orang bugis menguasai pasar dan perdagangan. Meski, saat ini, menurut Mikail sang tukang ojek yang mengantar saya, sudah banyak orang asli yang turut menikmati kue pembangunan.
Orang-orang Cina dan pendatang, punya strategi khusus melanggengkan usaha mereka. Dalam ilmu bisnis, strategi ini disebut non-market strategy. Salah satunya dengan menjalin hubungan baik dengan pejabat. Seorang kawan yang menemani saya di Bandara Ambon pagi tadi bercerita bagaimana para pejabat itu sering leluasa bepergian, meski dengan harga tiket pesawat yang jauh lebih mahal daripada harga tiket Makassar-Jakarta. Belum lagi fasilitas mobil dan yang lainnya, jangan ditanya.
Kedatangan saya kesini untuk memfasilitasi koperasi dan lembaga ekonomi desa untuk meningkatkan kapasitas mereka. Seharusnya, hal ini dilakukan oleh dinas terkait. Namun jawaban dari salah seorang peserta membuat saya tercengang. Saat diminta untuk memberikan pelatihan mengenai koperasi dan pembukuan sederhana, pihak dinas terkait malah meminta bayaran.

Day 2
Pagi belum juga sempurna. Saya berjalan-jalan keluar hotel. Betapa kagetnya saya melihat seorang lelaki tua duduk santai di depan rumah. Ia sedang menanti jualannya, bensin dalam kemasan botol air mineral. Yang bikin kaget karena disampingnya ada sebotol bir yang isinya tinggal setengah. Pagi-pagi begini minum bir, alamak.. Jadi ingat pengalaman saat di Inggris dulu.
Receptionist hotel mengatakan bahwa minum bir pagi hari sudah biasa bagi masyarakat disini. Bahkan bir sudah dianggap sebagai air putih. Tak ada pesta juga tanpa bir. Makanya saya akhirnya paham mengapa di kulkas besar milik hotel penuh dengan bir beraneka merek.
Di hotel tempat saya menginap, sering polisi dan pejabat-pejabat daerah berkumpul. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi yang saya tahu, seorang petinggi polisi disana punya kamar khusus. Entah karena dia tak punya rumah dinas dikota ini hingga harus menyewa hotel ataukah memang ia lebih suka dihotel atau dirumah. Saya tidak tahu. Ajudannya sering hilir mudik, mengantarkan barang atau sekedar melapor.
Awal menerima pekerjaan ini, saya membayangkan akan mendatangi pulau-pulau kecil yang minim fasilitas dan terbelakang. Rupanya anggapan saya salah. Kota ini tak tertingal begitu jauh. Ada rumah bilyar disamping hotel tempat saya menginap. Rumah karaoke juga ada. Yang minim barangkali cuma pilihan makanan. Meski banyak nelayan disini, tak ada tempat yang bisa menyediakan ikan bakar dan hasil laut, kecuali di hotel. Itu pun harganya luar biasa mahal.
Pelatihan berjalan baik. Tak sedikit dari mereka sudah memiliki pengalaman berkoperasi. Meski demikian, kendala yang mereka hadapi relative sama. Modal minim, skill dari pengurus yang tak meningkat serta jaring tengkulak yang makin mengikat. Belum lagi banyak salah kelola yang dilakukan oknum pengurus. Bantuan yang diterima, ditilep juga sama pejabat. Begitulah, ini seperti kondisi jamak koperasi dan lembaga ekonomi rakyat.
Sampai malam kami berlatih bersama. Saat rehat malam, sekitar jam 9 malam, saya keluar hotel. Di bagian belakang ada sekeluarga yang tidur tepat dibelakang hotel. Tanpa atap. Ya, sekeluarga. Ada bapak, ibu dan tiga anaknya. Saya tanya petugas hotel, katanya mereka tinggal di samping hotel. Mereka lebih memilih tinggal di belakang hotel, karena rumah mereka kecil dan panas. Tak kebayang rasanya tidur dengan angin pantai yang begitu menusuk tulang. Yang lebih hebat lagi, sang bapak tidur dengan bertelanjang dada. Wuih, saya kena sedikit angin saja langsung masuk angin.

Day 3
Pagi-pagi kami sudah keluar hotel. Pertemuan kali ini dipercepat karena jadwal pesawat saya lebih cepat dari jadwal seharusnya. Itu pun masih tentative, kata seorang kawan, pasti bakal delay. Tapi ketimbang terlambat, lebih baik saya menunggu. Tak seperti bandara kebanyakan, disini, cukup menelpon seorang petugas di bandara, kita sudah waktu kapan kita harus bergegas kesana.
Setelah latihan praktik pembukuan, dan presentasi rencana bisnis dari masing-masing kelompok, tepat jam 11 saya ke bandara. Tukang ojek yang mengantar saya seperti mengerti saya buru-buru. Ia mengeber motornya dengan kencang. Dengan jalan yang belum mulus betul, ngebut artinya tidak nyaman. Tak apa, yang penting cepat sampai di tujuan.
Sampai di bandara, petugas memberi tahu bahwa pesawat delay satu jam dari jadwal semula. Masalah cuaca atau teknis, tak ada penjelasan memadai. Intinya, sabar aja mas..
Masih ada waktu sejam, saya memutuskan untuk keluar bandara. Dengan ojek, saya minta diajak keliling pulau. Sayang saja rasanya sudah kesini tapi hanya lihat sekitar hotel dan tempat pelatihan. Mikel, nama tukang ojek itu membawaku menuju pusat kota. Geliat kota jelas terlihat. Jalan-jalan baru, gedung kantor baru dan pemukiman baru. Pasar dan terminal juga baru. Lokasinya tak jauh dari pantai. Arsitekturnya juga modern, jauh lebih bagus dari pasar Terong atau pasar Senen sekalipun. Kawasan ini juga mengikuti trend minimalis yang lagi ramai di kota-kota. Tadi sempat saya lihat juga gereja dengan desain minimalis, sangat menarik. Namun kebayang juga berapa banyak biaya untuk membangun semua itu. Perhatian sepertinya masih terpusat pada pengembangan infrastruktur.
Tapi, seperti di kota besar lainnya, geliat pembangunan tak selamanya merata. Masih banyak rumah, tepatnya gubuk, yang berjejer di pinggir jalan. Jangankan listrik, layak huni gubuk itu pun masih tanda tanya besar. Kata Mikel, masih banyak keluarga yang sering menghadapi masalah gizi buruk di sini. Kantor bupati yang megah dan luar biasa besar itu sungguh seperti ironi bagi masyarakat kecil. Belum lagi kendaraan-kendaraan dinas para pejabat disini yang luar biasa menurut ukuran saya. Segala jenis mobil keluaran terbaru, ada disini. Beberapa mobil SUV dengan cc yang besar juga terparkir rapi di depan rumah jabatan bupati saat kami melintas tadi.
Tak terasa sudah jam 12, saya harus segera ke bandara. Setelah pamitan dengan Mikel, saya menuju ruang tunggu. Bandara kecil dan sederhana ini menjadi tempat terakhir di Saumlaki. Sebentar lagi saya harus terbang menuju pulau yang lain, pulau Tual. Dari sana saya akan menumpangi feri ke pulau yang lain lagi, pulau Aru.

No comments: