Monday, October 11, 2010

Baliho Saja tak Cukup

Di harian Lokal beberapa waktu lalu Gubernur Syahrul Yasin Limpo (SYL) menyampaikan kegerahannya dengan berita tentang banyaknya foto beliau di baliho.
Akibatnya, beliau mengindikasikan untuk menarik baliho-baliho yang sudah banyak terpajang itu. Kita harus memberi apresiasi dan mendukung langkah yang akan diambil gubernur ini karena beberapa alasan.
Pertama, baliho dan poster bergambar Gubernur SYL sudah terlalu banyak dan menjejali ruang publik di kota ini. Cobalah berjalan-jalan mengitari kota, dan bisa dipastikan Anda tak begitu sulit untuk mendapatkan baliho bergambar SYL.
Kedua, pemasangan begitu banyak baliho bergambar SYL mengindikasikan ketidakpercayaan yang tinggi dari SYL. Beliau seperti tidak percaya diri sebagai gubernur. Begitu tingginya, sehingga diperlukan baliho untuk mendongkrak percaya diri, seolah ini masih dalam tahapan kampanye. Seharusnya beliau tahu, ia sudah menjabat dua tahun lebih, sehingga mustahil ada yang tidak mengenalnya sebagai gubernur.
Ketiga, penarikan baliho dan segala atribut itu menjadi penting karena kehadiran baliho tersebut menjadi penanda dari ‘sesat pikir pemasaran’ yang selama ini dipercaya banyak pejabat daerah. Sesat pikir tersebut adalah bahwa dengan memasang baliho yang bergambar dirinya, berarti pemerintah telah melakukan upaya pemasaran. Sesat pikir yang lain adalah bahwa kepercayaan bahwa iklan layanan atau iklan pemerintah tak seharusnya kreatif.
Teori pemasaran tradisional memang menekankan pentingnya promosi, dalam hal ini dapat berupa pemasangan baliho. Namun pemasaran lebih dari sekedar komunikasi (baliho). Pemasangan baliho sebagai bagian dari implementasi saluran pemasaran pun memerlukan langkah pra-kondisi yang harus secara serius dilakukan. Mengetahui target, memilih pesan, menentukan pembawa pesan, adalah contoh kegiatan pra-kondisi yang harus serius dipikirkan. Tak berhenti di situ, setelah baliho terpasang pun seharusnya ada evaluasi (post campaign evaluation) untuk mengukur efektifitasnya.
Iklan Layanan
Sosialisasi yang selama ini dilakukan dengan baliho oleh gubernur merupakan salah satu bentuk dari public service announcement (PSA). Hal ini karena program dan pesan yang ingin disampaikan berkaitan dengan pelayanan publik. Gerakan sadar wisata, gerakan sayang museum, program kesehatan dan pendidikan gratis, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Balihonya sendiri merupakan salah satu bentuk dari media pemasaran. Tujuannya tentu saja adalah memberikan informasi, mendidik dan membujuk pasar (masyarakat) untuk ikut serta dalam program tersebut.
Namun sayangnya, tanpa perlu menjadi ahli pemasaran, kita sudah tahu hasilnya. Hampir semua gerakan-gerakan yang dicanangkan berbuah nihil tanpa gerak. Baliho-baliho yang banyak bertebaran di jalan protokol kota ini pun bisa dikatakan ramai tapi bisu. Artinya, ramai dalam jumlah namun bisu dalam dampak.
Bisu karena pesan yang ditonjolkan tidak lengkap, dan membuat auidens (masyarakat) tidak percaya bahwa mereka akan merasakan manfaat yang dijanjikan serta tidak membuat mereka terinspirasi untuk bertindak.
Padahal seharusnya, gambar, teks dalam baliho itu mewakili pesan yang ingin disampaikan. Pesan apa yang bisa kita tangkap dari baliho Sulsel Go Green yang hanya berisi foto pejabat dengan seragam dinasnya? Apakah kemudian kita menjadi terinspirasi untuk peduli lingkungan? Pun tidak ada manfaat dan informasi detail yang kita bisa peroleh dengan melihat baliho Samsat Drive Thru yang dimonopoli oleh gambar gubernur dan pejabat kepolisian.
Masih kurang? Coba tengok baliho-baliho lain yang ada. Semuanya seragam, menunjukkan foto gubernur dengan pose yang melambai, senyum lebar, atau berbaju dinas. Tak jelas betul apa manfaat foto-foto itu ada di sana.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan pemakaian foto tokoh sebagai pembawa pesan. Namun yang harus dicermati adalah bahwa pemilihan pembawa pesan tersebut seharusnya mempertimbangkan aspek perceived expertise (ahli), trust worthiness (terpercaya), dan likeability (disenangi).
Dengan memperhatikan tiga aspek tersebut, maka rasanya sedikit saja yang tidak sepakat jika foto Dara dan Daeng yang menjadi duta pesan ketimbang foto gubernur untuk kampanye promosi wisata, misalnya.
Pesan Kunci
Mengembangkan komunikasi adalah proses yang dimulai dari menentukan pesan kunci, yang disesuaikan dengan tujuan pemasaran dan target pasar. Dalam menentukan pesan kunci, tiga pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan oleh pembuat pesan adalah, apa yang harus diketahui audiens, apa yang harus dipercaya, dan apa yang kita harapkan audiens lakukan.
Sepertinya, tiga pertanyaan mendasar ini tak pernah coba digali oleh pemerintah daerah dalam setiap upaya penyampaian pesannya, dalam hal ini pembuatan baliho. Okelah kalau gubernur mengaku tak tahu-menahu tentang pemakaian fotonya di banyak baliho oleh SKPD, tapi kok tidak gelisah melihat baliho itu menjadi mubazir dan pesan yang ingin disampaikan menjadi kabur?
Kampanye go Green tentu saja mengharapkan masyarakat terinspirasi untuk menjaga lingkungan, memelihara pohon, dan menjaga ekosistem yang ada agar mampu dinikmati oleh anak-anak cucu kita kelak. Namun jika tidak ada informasi jelas tentang mengapa dan bagaimana masyarakat berpartisipasi, apa yang bisa kita harapkan?
Kreatif
Satu hal lagi yang harus menjadi perhatian adalah iklan layanan pemerintah baik melalui saluran komunikasi berupa baliho atau spanduk, tidak seharusnya mengabaikan sisi kreatifitas. Kreatif di sini tak berarti terbatas pada desain belaka, namun juga pada metode dan strategi penyampaiannya.
Gerakan kesehatan dan pendidikan gratis, misalnya, seharusnya memberikan pesan yang jelas sebab manfaatnya bertujuan untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat.
Dengan demikian, fokus dan komitmen tidak boleh berhenti hanya sampai memasang baliho. Strategi penyampaian pesannya pun tak hanya dimonopoli dengan pilihan saluran seperti baliho.
Di bidang kesehatan, perlu pula dipikirkan upaya-upaya pencegahan dan meningkatkan kesadaran kesehatan dan bagaimana memasarkan ide ini. Gerakan sayang museum perlu pula ditindaklanjuti dengan evaluasi bagaimana keberhasilan program ini setelah dicanangkan. Sudah seberapa meningkat jumlah pengunjung yang datang dan seberapa besar manfaat dari tingginya tingkat kunjungan ini. Perlu pula dievaluasi kendala yang membuat gerakan ini tak optimal berjalan.
Berangkat dari pemikiran di atas, alangkah baik dan bijaknya jika Gubernur meminta jajarannya menata kembali bagaimana pesan-pesan layanan masyarakat disampaikan. Kepada mereka pun Gubernur sebaiknya meminta untuk bertindak sebagai pengelola dan penyampai pesan yang baik.
Jika ini dilakukan, kita tentu bisa berharap bahwa pesan dan kampanye yang dilakukan pemerintah daerah di masa mendatang akan semakin efektif dan tepat. Tepat pesannya yang disampaikan melalui saluran yang tepat dan ditujukan kepada target yang tepat pula.

No comments: