Wednesday, April 28, 2010

Tunda Island--Day 3




Hari ini hari terakhir kami berada di pulau Tunda. Seharusnya kami disini sampai hari senin. Namun karena esok harinya bupati dan stafnya ingin datang, kami khawatir pelatihan yang kami jadi bakal sepi. Apalagi ada ‘imbauan’ dari perangkat desa untuk menyambut datangny bupati. Sang bupati juga kembali mencalonkan diri untuk periode kedua. Makanya, sebagai bagian dari penyambutan, di sekeliling kampong telah terpasang spanduk, baligo dan stiker kampanye.
Tak menyangka melihat antusiasme dan semangat peserta. Bapak-bapak dan ibu-ibu ini sungguh tekun belajar pembukuan sederhana. Banyak dari mereka memang tidak menamatkan SMP. Selain karena saat mereka muda gedung SMP belum ada di Pulau Tunda, biaya sekolah dan segala kebutuhannya memang tidak terjangkau untuk ukuran mereka, nelayan, yang hidupnya bergantung pada kebaikan alam.
Pertanyaan yang mereka ajukan pun luar biasa menarik, meski kami harus sabar menjelaskan kolom per kolom dan penempatan transaksi sesuai kolomnya. Belum lagi masuk pada kolom saldo, menjumlahkan setiap transaksi menjadi begitu menarik karena celetukan-celetukan spontan dari mereka.
Sore hari kami diajaka ke bagian timur dari pulau Tunda. Jika kemarin kami mengunjungi sisi barat pulau ini, maka hari ini kami memilih suasana baru. Kami berjalan sekitar 15 menit untuk mencapai sisi timur pulau, melewati kebun-kebun petani. Banyak jenis tanaman yang mereka tanam. Timun, kacang panjang, jagung, singkong, pisang, kelapa. Saya heran juga, dengan tanah berpasir seperti itu, kok bisa ya tanaman darat bisa tumbuh. Satu hal yang pasti, bahwa air tawar yang digunakan untuk mandi dan minum di pulau ini tak payau. Hampir sama dengan air di darat. Mungkin ini yang menjadi sebab mengapa tanama-tanaman itu bisa tumbuh. Itu hanya prediksi tidak ilmiah saya, soal ini bukan wewenang saya kayaknya..
Sisi timur pulau ini tak semenarik sisi barat, yang memiliki suar, rumah-rumah penduduk disekeliling pantai atau deretan pohon kelapa yang indah menjadi siluet karena matahari yang ingin terbenam. Yang ada hanya deretan mangrove dan sampah-sampah kiriman yang entah datang dari mana. Sampah-sampah kecil serupa kemasan sampo dan makanan ringan hingga bangkai sofa dan kayu-kayu bekas tebangan. Kata pak Khilman yang menjadi pemandu kami kali ini, mereka selalu kewalahan menghadapi sampah-sampah ini. Kadang jika kondisi angin barat daya, tumpukan sampah yang mampir ke pulau ini bisa jadi lebih banyak lagi. Akibatnya, mereka tak lagi dapat memancing di sekitar pantai. Dan pantai mereka pun tak lagi nyaman untuk berenang.
Karena tak puas dengan sisi timur pulau ini, saya pun memohon, tepatnya mendesak, agar kami juga sekalian melihat bagian utara pulau. Alasan saya, esok pagi saya harus kembali ke Serang untuk terus ke Jakarta, dan entah kapan saya ada waktu lagi ke Pulau Tunda. Untunglah, pak Khilman tak keberatan, namun ia member syarat. Kami harus berjalan menyusuri pantai, bukan lagi didaratan pantai. Sebab pohon mangrove telah menutupi jalan yang selama ini ada. Artinya, saya harus menggulung celana dan juga bersiap untuk basah.
Tak ada masalah, tanpa pertimbangan kami pun menyetujui syarat, atau tepatnya permintaan ini. Menyusuri pantai terasa sangat menyenangkan, apalagi angin di pantai lagi tenang-tenangnya. Berbeda dengan kondisi kemarin, yang membuat saya masuk angin dan tak nyaman. Sampah masih menjadi pemandangan tetap yang kami peroleh. Tapi tetap ada yang menarik. Deretan mangrove yang tumbuh subur menjadi pemandangan indah. Belum lagi deretan karang yang jelas terlihat karena jernih dan beningnya air pantai. Perjalanan kami kembali diselingi dengan cerita-cerita mistik khas jagoan dan cerita tentang beberapa penduduk dan pendatang yang melihat makhluk halus. Cerita seperti ni sebenarnya bukan baru, dan hampir semua tempat pasti memiliki ragam cerita mistik. Tapi yang membuat saya kaget bercampur tak percaya, karena mas Karim yang juga turut serta dalam ‘tour’ kali menunjukan titik tempat kami berdiri sebagai tempat orang-orang melihat makhluk itu. Ada satu lagi cerita menarik dari mas Karim. Menurutnya, pulau ini dulunya tidak ada. Tapi proses ratusan tahun menaikkan tanah ini menjadi daratan pulau. Buktinya, pernah ada yang membuat sumur di tengah pulau dan menemukan kerangka kapal. Tak sedikit yang menemukan batu-batu besar khas dasar laut.
Setelah 20 menit menyusuri pantai dan celana yang makin terasa berat karena basah, kami pun tiba di sisi utara. Sisi ini terasa lebih nyaman dan bersih. Tepian pantainya pun lebih panjang. Cocok sekali untuk pariwisata. Saya pun mengusulkan mas Karim untuk membuat tempat yang lebih nyaman di bibir pantai agar orang mau datang berwisata. Belum juga mas Karim menjawab, pak Khilman menimpali, “kalau dia mah tempat karaokean aja pikirannya, mana sempat mikir tempat wisata”. Kami semua sontak tertawa.
Tak terasa waktu magrib sudah dekat. Kami memutuskan untuk batal melanjutkan perjalan ke sisi selatan pulau. Selain gelap, kaki ini sudah pegal luar biasa. Bahkan, beberapa menit sempat keram. Padahal perjalanan yang saya tempuh sebenarnya tidak jauh-jauh amat. Berjalan sejam lebih masih biasa saya lakukan.
Yang pasti, hari ini kami sudah melihat pemandangan lain yang tak kelah sedap. Mas Karim menjanjikan malam ini kami bakal menyantap ikan Ela dan teripang. Nama ikan ini masih asing bagi saya, ini yang menambah semangat untuk segera pulang..

No comments: