Wednesday, April 28, 2010
Hari Ke-2 @ Pulau Tunda
Setelah beristirahat cukup, saya pun terbangun di pagi hari. Shalat subuh dan setelah itu bersiap untuk pelatihan bagi anggota koperasi di Pulau Tunda.
Pesertanya anggota koperasi, pengurus dan kelompok nelayan, petani, serta ibu-ibu penggerak usaha kecil. Sangat menarik karena beragam perserta dan juga karena mereka memang ada niat untuk belajar. Niat tinggi untuk belajar ini bukannya tanpa sebab. Pengurus koperasi sebelumnya beberapa kali melakukan kecurangan dan menyelewengkan bantuan yang diterima atas nama koperasi. Namun mereka tidak bisa melakukan apa pun, meski mereka sebenarnya tahu ada penyimpangan dan penyelewengan. Masalahnya, mereka tidak punya bukti kuat dan tidak mengerti prosedur pencatatan dalam koperasi. Pengurus lama selalu berkelit dengan dalih telah dicatat dalam pembukuan. Ringkasnya, pengurus lalu telah melakukan penyimpanan dengan model canggih, katakanlah financial engineering.
Pelatihan berjalan lancar, tak terkira partisipasi mereka luar biasa aktif. Tak sedikit pertanyaan mereka lontarkan, terutama saat kami pada sesi pembukuan sederhana. Pokoknya semuanya ditanyakan, sampai kolom-kolom pada buku kas dan maksud kata per kata mereka tanyakan.
Saat waktu istirahat tiba, kami kemudian makan siang dan berbincang. Menu hari ini telur rebus dan sayur kulit melinjo. Saya bertanya, kok telur, ini kan pulau nelayan? Ternyata tidak ada nelayan yang melaut saat Jumat. Ini adalah hari libur ‘tak resmi’ para nelayan. Mereka kadang tetap melaut, jika kondisi laut sangat baik dan ikan pun banyak jumlahnya. Kulit melinjo sendiri masih asing bagi saya. Kutanya Pak Hilman sang bendahara koperasi, jawabnya isinya dibuat untuk kerupuk dan dimakan orang darat, kulitnya untuk orang Pulau.
Ada nada prihatin dari jawaban pak Hilman. Sejak kemarin, saya memang melihat kemiskinan begitu lekat dengan kehidupan mereka. Terlepas bahwa ada yang memilih menjadi tki dan tkw, kemudian memberikan penghidupan lebih bak bagi keluarganya, tapi jumlah mereka tak banyak. Kata mas Karim, jumlahnya tak lebih dari 80 orang, dari total 1500-an populasi di pulau Tunda.
Menikmati sayur di pulau ini adalah ritual mahal. Jangankan lagi daging ayam atau sapi. Jumlah tangkapan nelayan sebenarnya cukup aja. Masalahnya, kebanyakan mereka terlilit utang pada tengkulak, dalam Bahasa mereka ‘Si Bos’. Utang itu untuk menutupi biaya perahu, beli mesin, GPS, soalr, dan kadang-kadang untuk biaya sekolah dan rumah sakit keluarga mereka. Pengakuan mas Karim, 99% nelayan di pulau ini semuanya berutang. Dan jumlah terkecil dari utang mereka adalah 3-4 juta rupiah, sedangkan yang terbesar berada pada kisaran 20-an juta rupiah.
Terbayang betapa kerja keras mereka sebenarnya tdak mendapat imbalan yang pas. Si Bos sering menekan harga serendah mungkin. Ikan tenggiri yang di tempat lain dihargai 17 ribu, hanya dihargai 7 ribu oleh si bos. Nelayan tidak punya pilihan selain menjual ke bos karena ikatan utang tadi. Jika ada yang berani menjual selain kepada bos, maka esoknya ia akan ditagih untuk segera melunasi hutangnya. Berat dan dilematis. Maka jangan heran, meski mereka nelayan, tapi jangan berharap mendapatkan ikan baronang, cepa, kerapu, ada dalam hidangan keseharian mereka. Betul, ada saja yang menghidangkan cumi, seperti yang saya nikmati semalam di rumah bu Romlah, tapi itu sekedar pengganti ikan yang memang tidak diperoleh suaminya.
Ada juga hal menarik yang saya dapat saat rehat siang tadi. Ternyata, untuk bersaing dalam segala hal di pulau ini, tak cukup dengan modal dan pengetahuan. Ilmu kanuragan dan magic-magic perlu. Banyak cerita dari peserta yang menguatkan ini. Mulai dari gejala-gejala biasa yang aneh seperti bau menyan sampe keluarnya benda tajam dan benda lain seperti paku dari dalam tubuh. Sebenarnya di tempat lain juga ada, cuma jadi ingat Si Pitung yang katanya sih memang dari Banten.
Sorenya kami diajak berjalan-jalan di sekitar pantai. Sebenarnya enak juga, apalagi pantainya bersih dengan pasir putih. Yang membuat saya tak nyaman hanya karena anginnya yang berhembus kencang. Akibatnya, saya kena masuk angin dan harus segera mencari alternative tempat membuang hajat. Untunglah, karena rasa kekeluargaan, mas Karim mudah saja minta ama nelayan yang ada disitu untuk memakai toilet mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment