Wednesday, April 28, 2010

Catatan Perjalanan ke Pulau Tunda


Day 1:
Berangkat dari Makassar dengan Airbus seri terbaru Garuda. Tiba di cengkareng, langsung ke Serang, dengan 2 jam perjalanan darat. Sampai di serang, makan siang trus langsung berangkat lagi ke pulau tunda melalui karang hantu. Ada kapal yang telah disiapkan. Ditemani Lutfi dari Oxfam, dan mas Karim pemandu dari Pulau Tunda. Saya harus mencari kartu Indosat. Di pulau ini tak ada sinyal lain selain indosat.
Pulau tunda merupakan batas paling utara provinsi Banten. Pulaunya memanjang, kepala keluarga skitar 350. Dalam perjalanan kami diteman angin barat laut, yang membuat ombak besar dan sangat menakutkan. Perjalanan laut hampir tiga jam terasa sehari saja rasanya.
Awalnya saya duduk di luar, namun pindah masuk ke ruang mesin karena tempias ombak yang membuat tubuh basah kuyup. Selain itu karena takut terlempar ke lautan aja, karena perahu sudah bergerak dengan bebasnya. Di ruang kemudi saya sedikit tenang. Ada surat kecakapan milik sang kapten ditempel didinding kapanl. Ada pula pelampung. Dan yang utama, ada stiker bergambar popeye si pelaut dengan sekaleng penuh bayam di tangannya. Disana juga tertulis, perhatian, zero accident. Pelautnya orang bugis, bangga juga punya saudara yang luar biasa hingga Banten.
Sampai di Tunda, kami melapor ke pos polisi. Berbincang sejenak dengan briptu prasetya yang menanyakan maksud dan tujuan kedatangan kami. Setelah itu kami langsung menuju ke rumah bu Romlah. Suami dari bu Romlah merupakan ketua dari kelompok nelayan. Hari ini sang suami masih melaut.
Aroma kekeluargaan terasa kental disini. Hampir semua yang kemai temui menyapa dan mengajak mampir. Serasa di kampong sendiri saja rasanya. Penduduk disini kebanyakan nelayan. Pernah sih ada yang emncoba bertani dan segala usaha pertanian. Namun harga pupuk yang mahal, jangka waktu panen yang lama dan harga jual produk pertanian yang rendah membuat mereka kembali ke habitat asli sebagai nelayan.
Ada yang luar biasa dari mereka soal nelayan ini. Tak ada astu pun dari nelayan di pulau Tunda yang memakai jarring atau pukat. Mereka menangkap ikan masih dengan cara memancing. Ya, memancing satu per satu ikan. Makanya hasil tangkapan mereka tak pernah bisa sebanyak nelayan di pulau lain atau yang didaratan Serang. Alasan mereka sederhana, agar mancingnya tak maruk dan agar ikan tak cepat hasbis. Local wisdom yang sederhana tapi sungguh mumpuni.
Meski demikian, godaan untuk menyentuh modernitas dalam hal memancing yang ditandai dengan perahu besar dan pukat serta jarring bukannya tidak ada. Apalagi disasadari, hasil yang mereka dapat dengan memancing jauh dari cukup. Iya kalau dapat ikan, sebab tak jaran mereka melaut tiga hari dan tidak mendapatkan apa-apa. Yang perih lagi, pernah ada yang ikut melaut bersama seorang juragan ikan. Dua minggu melaut dan upah mereka hanya 15 ribu!
Yang ada akhirnya adalah mereka hidup dari utang, dan memancing atau melaut tujuan utamanya adalah menebus utang. Utang mereka bakal bertambah jika waktu-waktu sekolah dan tahun ajaran baru dimulai. Belum lagi kalau ada yang sakit dan urusan pangan lainnya.
Mendengar cerita mereka, betapa jelas tergambar penderitaan dan rumitnya masalah yang dihadapi penduduk disini. Keterisolasian menjadi masalah paling utama. tidak ada pilihan lain, Hasil tangkapan mereka akhirnya hanya bisa dijual ke ‘bos’. Meski si bos membeli lebih sering dengan harga yang ditekan. Itu pun dengan jujur mereka akui, timbangan yang digunakan untuk mengukur hasil tangkapan mereka adalah timbangan yang curang. Pilihan untuk menjual sendiri ke daratan adalah mustahil, sebab biaya untuk ke daratan jauh lebih besar dari hasil tangkapan mereka.
Makanya, kondisi kesehatan mereka relative buruk dibanding lainnya. Jangan lagi bicara soal asupan gizi. Anak-anak mereka banyak yang terkena gizi buruk serta pendidikan yang tidak tuntas. Pokoknya, hampir semua masalah dasar kemiskinan, ada disini. Bukannya keidupan tidak lebih baik dari yang dulu. Pengakuan pak Lurah Tunda, sejak jaman Soeharto, mereka sudah sering mendapat bantuan. Cuman payahnya, bantuan yang mereka terima selalu bersyarat. Pilih ini dan jangan pilh itu, menjadi syarat mutlak dari setiap bantuan.
Salah satu upaya mengatasi hal ini adalah dengan mengirim istri-istri nelayan menjadi TKI di luar negeri. Kebanyakan dari mereka berangkat ke Arab Saudi. Mas Karim, orang pulau ini punya lelucon, kalau mau lihat istri siapa yang jadi TKI, lihat saja rumahnya. Semua rumah yang ‘bagus’ pasti istrinya pernah jadi TKI.
Bu Romlah sendiri yang rumahnya kami tempati pernah menjadi TKI di Arab Saudi. Saya kemudian bertanya ke mas KArim, kok istrinya ga diminta ke luar negeri aja agar taraf kehidupan mereka lebih baik. Jawabannya singkat, tak kuat ditinggal lama. Belum lagi kasus-kasus TKI disiksa dan contoh buruk seorang TKW yang strees di kampung sebelah karena mengalami pemerkosaan dari majikannya.
Yang menarik bagi saya adalah soal listrik. Mereka pernah mendapat bantuan solar panel dari pemerintah. Namun karena alat yang diberi merupakan spesifikasi terendah, mulai dari aki hingga panelnya, maka alat itu tak bertahan lama. Si Kapten, pemilik kapal fery kemudian membuat bisnis listrik. Dengan generator yang ia miliki, listrik pun dialirkan kerumah-rumah. Yang mencengangkan, tagihannya itu lho. Betul, ini di pulau dimana segalanya terbatas, tapi ga kebayang bu Romlah membyar tagihan listrik tiga kali lebih banyak dari yang saya bayar dirumah. Rinciannya, Rp 1500/ untuk setiap unit lampu dan alat listrik. Di rumah bu Romlah, ada 3 lampu, dan sebuah tipi. Jadi kebayang kan berapa banyak yang harus ia keluarkan untuk listrik itu saja.
Bu Romlah, PLN mungkin ga tertarik ke pulau Tunda. .

3 comments:

nirwana said...

mmm... boleh minta CP Pulau Tunda..?
saya tertarik berkunjung ke sana..

Nida Choirun Nufus said...

mau ke pulau tunda? aku punya teman orang sana. mau aku beri kontaknya? email saja ke nufus.nida@yahoo.co.id atau inbox ke facebook nida choirun nufus :)

Nida Choirun Nufus said...

email saja ke nufus.nida@yahoo.co.id . saya punya teman di pulau tunda. nanti saya beri kontaknya. atau inbox ke facebook nida choirun nufus