Selamat Lebaran, Selamat iDOEL Fitri
Mohon maaf lahir dan batin..
Sunday, September 28, 2008
Monday, September 15, 2008
Nomor Buntut
Saat bertemu Martin, salah seorang tetangga di flat, di depan lift, ia langsung bertanya soal nomor keberuntungan saya. "Just give me any number, from 1 to 49", desaknya ketika kujawab saya tak punya nomor tertentu yang jadi lambang keberuntungan. Ia rupanya sedang terburu-buru menuju convinent store di seberang jalan untuk membeli euro million.
Ini kali kedua ia bertanya dengan point yang sama. Sekali waktu saat menikmati cream tea bersama di flatnya, secara tak sengaja ia memakai dua sendok secara bersamaan untuk mengaduk kopi. Baginya, ini sebuah tanda keberuntungan. Maka sontak ia tanya kepada saya mengenai nomor keberuntungan. Kala itu, saya menjawab sekenanya, setelah beberapa kali coba menolak. Esoknya, saya bertemu dengannya, masih dengan penampilan khasnya. Tak ada tanda ia telah menang jutaan poudnsterling seperti yang diharapkannya kala itu. Ia memang memasang taruhan lotere euro million, yang hadiahnya jutaan pounsdterling. Jumlah ini tentu masih jauh lebih banyak ketimbang APBD beberapa daerah di Indonesia.
Taruhan dengan beragam macam dan bentuknya memang sangat akrab dengan kehidupan orang Inggris. National Lotere, lotere yang mirip dengan SDSB zaman orba dulu, adalah yang paling favorit. Dengan taruhan 1-5 pound, orang yang pasang pun sangat banyak. Jumlah taruhan ini masih lebih murah ketimbang seporsi fish and chips plus minuman kaleng. Jadi, sekali lagi, menjadi favorit. Mendapatkannya pun tak sulit. Hampir semua toko dan supermarket punya stand lotere ini. Tak ketinggalan, mereka juga punya stand khusus di mall. Sangat affordable dan reacheable deh pokoknya. yang khusus taruhan pun tak sedikit jumlahnya. Rumah-rumah taruhan seperti william hill, selalu ramai setiap pekan, bahkan setiap hari. Akhir pekan ramai dengan taruhan bola, sedangkan hari-hari biasa ramai dengan taruhan pacuan kuda atau olahraga-olahraga lainnya.
Atas nama pembiayaan sosial pulalah yang membuat lotere dianggap sebagai sumbangan sosial. Hampir 1/2 dana tim Great Britain untuk mengikuti Olimpiade kemarindi Beijing didapat dari dana lotere. Begitu pula tak terhitung Kastil dan gedung bersejarah Inggris yang direnovasi dan diperbaiki dengan uang 'panas' ini, juga sekolah dan rumah sakit.
Soal uang panas ini memang diakui sendiri oleh mereka yang beli lotere, termasuk Martin. Ia pernah menang lotere yang jumlahnya 20 pound, jumlah yang masuk kategori jumlah terkecil. Dapat duit sigtiu, abis juga untuk beli rokok, bir dan makanan layak seperti whole chicken dan jacket potato. Ini tak membuatnya kapok, sebab meski kalah, ia tetap saja tak patah semangat. Kalo ini, memang nature-nya judi dan taruhan, yang bakal membuat orang tak kenal dengan kata berhenti dan kapok. Seorang tetangga yang lain, yang juga rutin membeli lotere setiap minggunya, punya pengalaman yang sama. Hadiah tertinggi yang pernah dimenangkannya adalah 100 pound. Jumlah ini langsung abis untuk membeli rokok, bir dan sepatu. Kapok kah ia? Tak juga. Baginya, ini adalah rutinitas mingguan yang mengasyikkan. Apalagi lotere yang dipasangnya pun tak pernah lebih dari 5 pound/minggu.
Saya tak tahu apa Martin menang esok dengan nomor "seadanya" dari saya. Yang pasti, saya berharap kali ini dia tidak dapat lagi. Sebab kalo ia menang, ia berjanji akan memberi saya separuhnya. Bayangkan, separuh dari sejuta poundsterling saja jumlahnya sudah banyak sekali, ini tentu masalah. Masalah lainnya, saya tentu tak punya cukup kenekatan untuk menolaknya....
Ini kali kedua ia bertanya dengan point yang sama. Sekali waktu saat menikmati cream tea bersama di flatnya, secara tak sengaja ia memakai dua sendok secara bersamaan untuk mengaduk kopi. Baginya, ini sebuah tanda keberuntungan. Maka sontak ia tanya kepada saya mengenai nomor keberuntungan. Kala itu, saya menjawab sekenanya, setelah beberapa kali coba menolak. Esoknya, saya bertemu dengannya, masih dengan penampilan khasnya. Tak ada tanda ia telah menang jutaan poudnsterling seperti yang diharapkannya kala itu. Ia memang memasang taruhan lotere euro million, yang hadiahnya jutaan pounsdterling. Jumlah ini tentu masih jauh lebih banyak ketimbang APBD beberapa daerah di Indonesia.
Taruhan dengan beragam macam dan bentuknya memang sangat akrab dengan kehidupan orang Inggris. National Lotere, lotere yang mirip dengan SDSB zaman orba dulu, adalah yang paling favorit. Dengan taruhan 1-5 pound, orang yang pasang pun sangat banyak. Jumlah taruhan ini masih lebih murah ketimbang seporsi fish and chips plus minuman kaleng. Jadi, sekali lagi, menjadi favorit. Mendapatkannya pun tak sulit. Hampir semua toko dan supermarket punya stand lotere ini. Tak ketinggalan, mereka juga punya stand khusus di mall. Sangat affordable dan reacheable deh pokoknya. yang khusus taruhan pun tak sedikit jumlahnya. Rumah-rumah taruhan seperti william hill, selalu ramai setiap pekan, bahkan setiap hari. Akhir pekan ramai dengan taruhan bola, sedangkan hari-hari biasa ramai dengan taruhan pacuan kuda atau olahraga-olahraga lainnya.
Atas nama pembiayaan sosial pulalah yang membuat lotere dianggap sebagai sumbangan sosial. Hampir 1/2 dana tim Great Britain untuk mengikuti Olimpiade kemarindi Beijing didapat dari dana lotere. Begitu pula tak terhitung Kastil dan gedung bersejarah Inggris yang direnovasi dan diperbaiki dengan uang 'panas' ini, juga sekolah dan rumah sakit.
Soal uang panas ini memang diakui sendiri oleh mereka yang beli lotere, termasuk Martin. Ia pernah menang lotere yang jumlahnya 20 pound, jumlah yang masuk kategori jumlah terkecil. Dapat duit sigtiu, abis juga untuk beli rokok, bir dan makanan layak seperti whole chicken dan jacket potato. Ini tak membuatnya kapok, sebab meski kalah, ia tetap saja tak patah semangat. Kalo ini, memang nature-nya judi dan taruhan, yang bakal membuat orang tak kenal dengan kata berhenti dan kapok. Seorang tetangga yang lain, yang juga rutin membeli lotere setiap minggunya, punya pengalaman yang sama. Hadiah tertinggi yang pernah dimenangkannya adalah 100 pound. Jumlah ini langsung abis untuk membeli rokok, bir dan sepatu. Kapok kah ia? Tak juga. Baginya, ini adalah rutinitas mingguan yang mengasyikkan. Apalagi lotere yang dipasangnya pun tak pernah lebih dari 5 pound/minggu.
Saya tak tahu apa Martin menang esok dengan nomor "seadanya" dari saya. Yang pasti, saya berharap kali ini dia tidak dapat lagi. Sebab kalo ia menang, ia berjanji akan memberi saya separuhnya. Bayangkan, separuh dari sejuta poundsterling saja jumlahnya sudah banyak sekali, ini tentu masalah. Masalah lainnya, saya tentu tak punya cukup kenekatan untuk menolaknya....
Saturday, September 06, 2008
Terima Kasih
Pekan ini adalah pekan sibuk bagi banyak mahasiswa, khususnya postgraduate students. Deadline untuk submit disertasi tinggal berbilang hari. Saat di kantor administrasi siang kemarin, beberapa kawan telah mengumpulkan disertasi mereka. Selain disertasi, banyak dari teman-teman yang juga menitipkan 'oleh-oleh' kepada supervisor dan beberapa professor melalui kantor akademik.
Makanya, meja utama di kantor tersebut penuh dengan beragam titipan. Kebanyakan terbungkus dengan kertas khas mandarin. Memang, hadiah-hadiah itu kebanyakan dari mahasiswa asal Cina. Salah seorang kawan bercerita bahwa itu adalah tanda terima kasih mereka kepada supervisor. Beberapa dari mereka juga bermurah hati dengan menyisihkan 'tanda terima kasih' kepada pegawai akademik yang ada di kantor itu.
Nah, disinilah yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi. Seorang pegawai akademik yang akrab dengan saya bercerita bahwa pimpinan universitas tegas melarang dosen dan staf menerima pemberian dari mahasiswa. Terlebih lagi jika ada kaitannya dengan kegiatan akademik. Lagipula, itu agak diluar mainstream kultur mereka untuk menerima pemberian. Makanya, hampir semua pemberian-pmebrian itu disimpan saja di atas meja atau dipajang di kantor akademik. Tak ada yang dibawa pulang. Itulah mengapa meja utama itu tak pernah sepi dari makanan khas dari berbagai negara dan juga cokelat beraneka rasa. Siapa pun bisa menikmatinya. Ruangan kantor pun tak ubahnya seperti galeri. Beragam lukisan mini dan cenderamata khas asia menempel di dinding. Jangan tanya soal gantungan kunci, banyak macam dan jumlahnya.
Nah, di lain sisi, kawan-kawan dari Asia itu tentu tak pernah bermaksud untuk menyogok, atau apalah namanya. Paling tidak, begitu kata teman Cina saya yang turut memberi tanda terima kasih pada siang itu. Kalau toh memang niat awalnya untuk mempengaruhi keputusan akademik, itu sih sudah keterlaluan. Baginya, itu tak lebih dari tanda terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang selama ini mereka terima. Tidak memberikan hadiah, takutnya mereka akan dicap tak tahu terima kasih.
Repot juga pikirku. Pihak kampus tentu tak enak hati menolak pemberian-pemberian yang bejibun itu. Apalagi 65% mahasiswa asing di Inggris berasal dari Cina. Jumlah yang sangat signifikan bagi universitas-universitas disini yang sangat bergantung dari tuition fee mahasiswa asing. Tentu, ini terlepas dari faktor integritas dan kemerdekaan berakademik. Ini tak berarti pula meyederhanakan soal pendidikan dan kaitannya dengan kultur mahasiswa asing. Tapi ketika jumlah signifikan yang berbicara, perbedaan sekecil apapun tentu harus dihindari.
Dalam konteks yang lain, konon, tingkat kelulusan di Inggris bagi mahasiswa asing membuahkan simalakama bagi dosen-dosen di universitas. Jika tak diluluskan, dikhawatirkan ini akan berbuntut kepada jumlah pendaftar untuk tahun berikut. Jika diluluskan, tentu akan menurunkan kualitas yang telah lama dijaga. Pernah di koran nasional seorang profesor mengaku frustasi. Mahasiswa yang ia tahu betul tak bisa bercakap, meski untuk percakapan dasar sekalipun, tak pernah bersih dari plagiarism dari setiap assignment-nya, dan tak pernah dikasi lulus olehnya, tiba-tiba telah mendapat gelar master dari universitas. Baginya, ini adalah sebuah penghianatan dan saatnya untuk ditinjau ulang.
Kembali ke soal tanda terima kasih tadi, bagi saya pribadi itu memang sedikit bermasalah. Apalagi hadiah-hadiah itu diberikan saat nilai untuk disertasi belum resmi keluar. Betapapun itu dikilahkan sebagai sebuah tanda terima kasih, tetap saja etiketnya terasa ada yang aneh. Lalu, sampai kapan hadiah-hadiah yang diterima ditinggalkan begitu saja di atas meja?
Makanya, meja utama di kantor tersebut penuh dengan beragam titipan. Kebanyakan terbungkus dengan kertas khas mandarin. Memang, hadiah-hadiah itu kebanyakan dari mahasiswa asal Cina. Salah seorang kawan bercerita bahwa itu adalah tanda terima kasih mereka kepada supervisor. Beberapa dari mereka juga bermurah hati dengan menyisihkan 'tanda terima kasih' kepada pegawai akademik yang ada di kantor itu.
Nah, disinilah yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi. Seorang pegawai akademik yang akrab dengan saya bercerita bahwa pimpinan universitas tegas melarang dosen dan staf menerima pemberian dari mahasiswa. Terlebih lagi jika ada kaitannya dengan kegiatan akademik. Lagipula, itu agak diluar mainstream kultur mereka untuk menerima pemberian. Makanya, hampir semua pemberian-pmebrian itu disimpan saja di atas meja atau dipajang di kantor akademik. Tak ada yang dibawa pulang. Itulah mengapa meja utama itu tak pernah sepi dari makanan khas dari berbagai negara dan juga cokelat beraneka rasa. Siapa pun bisa menikmatinya. Ruangan kantor pun tak ubahnya seperti galeri. Beragam lukisan mini dan cenderamata khas asia menempel di dinding. Jangan tanya soal gantungan kunci, banyak macam dan jumlahnya.
Nah, di lain sisi, kawan-kawan dari Asia itu tentu tak pernah bermaksud untuk menyogok, atau apalah namanya. Paling tidak, begitu kata teman Cina saya yang turut memberi tanda terima kasih pada siang itu. Kalau toh memang niat awalnya untuk mempengaruhi keputusan akademik, itu sih sudah keterlaluan. Baginya, itu tak lebih dari tanda terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang selama ini mereka terima. Tidak memberikan hadiah, takutnya mereka akan dicap tak tahu terima kasih.
Repot juga pikirku. Pihak kampus tentu tak enak hati menolak pemberian-pemberian yang bejibun itu. Apalagi 65% mahasiswa asing di Inggris berasal dari Cina. Jumlah yang sangat signifikan bagi universitas-universitas disini yang sangat bergantung dari tuition fee mahasiswa asing. Tentu, ini terlepas dari faktor integritas dan kemerdekaan berakademik. Ini tak berarti pula meyederhanakan soal pendidikan dan kaitannya dengan kultur mahasiswa asing. Tapi ketika jumlah signifikan yang berbicara, perbedaan sekecil apapun tentu harus dihindari.
Dalam konteks yang lain, konon, tingkat kelulusan di Inggris bagi mahasiswa asing membuahkan simalakama bagi dosen-dosen di universitas. Jika tak diluluskan, dikhawatirkan ini akan berbuntut kepada jumlah pendaftar untuk tahun berikut. Jika diluluskan, tentu akan menurunkan kualitas yang telah lama dijaga. Pernah di koran nasional seorang profesor mengaku frustasi. Mahasiswa yang ia tahu betul tak bisa bercakap, meski untuk percakapan dasar sekalipun, tak pernah bersih dari plagiarism dari setiap assignment-nya, dan tak pernah dikasi lulus olehnya, tiba-tiba telah mendapat gelar master dari universitas. Baginya, ini adalah sebuah penghianatan dan saatnya untuk ditinjau ulang.
Kembali ke soal tanda terima kasih tadi, bagi saya pribadi itu memang sedikit bermasalah. Apalagi hadiah-hadiah itu diberikan saat nilai untuk disertasi belum resmi keluar. Betapapun itu dikilahkan sebagai sebuah tanda terima kasih, tetap saja etiketnya terasa ada yang aneh. Lalu, sampai kapan hadiah-hadiah yang diterima ditinggalkan begitu saja di atas meja?
Tarawih
Ini ramadhan ketiga saya di sini. Selama itu pula, saya harus mengakui tak pernah sekalipun ikut tarawaih berjamaah di masjid. Ada tiga alasan mengapa ini tejadi. Pertama, karena malas. Kedua, malas dan ketiga karena mesjidnya yang cukup jauh yang membuat saya malas lagi.
Atas dasar itulah, bersama beberapa kawan yang seiman (yang tak pernah ikut tarawihan di masjid) berikrar untuk bertarawih bersama. Hari pertama ramadhan menjadi pilihan, selepas pengajian ruitin masyarakat Indonesia di sini, kami berkumpul bersama.
Mesjid yang kami tuju adalah mesjid Pakistan. Persepsi kami selama ini terhadap mesjid ini adalah khutbah disampaikan dalam bahasa urdhu dan dalam jangka waktu yang lama. ”Wah, ini mesjid yang pas untuk menguji keimanan kita, paling tidak, puasa kan menuntut kesabaran”, begitu canda seorang kawan.
Sebenarnya pilihan lain bukannya tidak ada. Tapi ketika komunitas muslim di inggris dimayoritasi oleh mereka (Pakistan, India dan Bangladesh), pilihan lain itu menjadi tidak berarti. Yang membuat beda paling cuma jumlah rakaat dan enak tidaknya bacaan sang imam.
Singkat cerita, kami pun bertarwih. Oh yah, ternyata tidak ada ceramah sebelum tarawih. Entah karena tidak ada khatib, atau karena mereka memang tak perlu selalu diingatkan. Seperti kita di indonesia, dengan sederet ceramah, dan bahkan terkadang dilengkapi dengan segudang sambutan.
Setelah tarawih yang panjang, dalam perjalanan pulang, sang kawan tadi berkomentar lagi. ”Betul-betul kesabaran kita diuji malam ini. Tak hanya 23 rakaat, tapi cara mereka shalat pun berbeda dengan apa yang saya tahu.” Kawan lain menimpali, ”Itu artinya pengetahuan agamamu memang pas-pasan, ha..ha..”. Untung dua imam yang bergantian memimpin jamaah bacaanya enak didengar dan perlu. Paling tidak, itulah yang membuat betah meski semalam tarawih mereka menghabiskan bacaan dua juz.
Soal perbedaan melaksanakan tarawih ini, kemudian menjadi perbincangan panjang. Soal panjang bacaan, soal lama rukuk, juga soal qunut dan witir. ”Yang penting itu tidak berarti kalian akan berhenti pergi tarawih berjamaah”, kata kawan lain coba mem-bijak. Betul juga. Apalagi latar belakang budaya yang berbeda tentu saja melahirkan produk budaya yang berbeda. Perbedaan mazhab tentu berujung pada perbedaan eksekusi ibadah.
Lagipula, mengapa memaksa mereka, atau tepatnya berharap orang-orang Pakistan itu bersembahyang seperti sembahyangnya orang-orang di istiqlal juga tak elok. Tak boleh ada yang memonopoli kebenaran. Yang masalah jika kemudian ada yang sok berkuasa dan memaksakan kebenaran itu, dengan kekerasan, bahkan. Lagian, kita yang numpang shalat di mesjid mereka, kan?
Begitulah, namanya juga tarawih kesabaran.
Atas dasar itulah, bersama beberapa kawan yang seiman (yang tak pernah ikut tarawihan di masjid) berikrar untuk bertarawih bersama. Hari pertama ramadhan menjadi pilihan, selepas pengajian ruitin masyarakat Indonesia di sini, kami berkumpul bersama.
Mesjid yang kami tuju adalah mesjid Pakistan. Persepsi kami selama ini terhadap mesjid ini adalah khutbah disampaikan dalam bahasa urdhu dan dalam jangka waktu yang lama. ”Wah, ini mesjid yang pas untuk menguji keimanan kita, paling tidak, puasa kan menuntut kesabaran”, begitu canda seorang kawan.
Sebenarnya pilihan lain bukannya tidak ada. Tapi ketika komunitas muslim di inggris dimayoritasi oleh mereka (Pakistan, India dan Bangladesh), pilihan lain itu menjadi tidak berarti. Yang membuat beda paling cuma jumlah rakaat dan enak tidaknya bacaan sang imam.
Singkat cerita, kami pun bertarwih. Oh yah, ternyata tidak ada ceramah sebelum tarawih. Entah karena tidak ada khatib, atau karena mereka memang tak perlu selalu diingatkan. Seperti kita di indonesia, dengan sederet ceramah, dan bahkan terkadang dilengkapi dengan segudang sambutan.
Setelah tarawih yang panjang, dalam perjalanan pulang, sang kawan tadi berkomentar lagi. ”Betul-betul kesabaran kita diuji malam ini. Tak hanya 23 rakaat, tapi cara mereka shalat pun berbeda dengan apa yang saya tahu.” Kawan lain menimpali, ”Itu artinya pengetahuan agamamu memang pas-pasan, ha..ha..”. Untung dua imam yang bergantian memimpin jamaah bacaanya enak didengar dan perlu. Paling tidak, itulah yang membuat betah meski semalam tarawih mereka menghabiskan bacaan dua juz.
Soal perbedaan melaksanakan tarawih ini, kemudian menjadi perbincangan panjang. Soal panjang bacaan, soal lama rukuk, juga soal qunut dan witir. ”Yang penting itu tidak berarti kalian akan berhenti pergi tarawih berjamaah”, kata kawan lain coba mem-bijak. Betul juga. Apalagi latar belakang budaya yang berbeda tentu saja melahirkan produk budaya yang berbeda. Perbedaan mazhab tentu berujung pada perbedaan eksekusi ibadah.
Lagipula, mengapa memaksa mereka, atau tepatnya berharap orang-orang Pakistan itu bersembahyang seperti sembahyangnya orang-orang di istiqlal juga tak elok. Tak boleh ada yang memonopoli kebenaran. Yang masalah jika kemudian ada yang sok berkuasa dan memaksakan kebenaran itu, dengan kekerasan, bahkan. Lagian, kita yang numpang shalat di mesjid mereka, kan?
Begitulah, namanya juga tarawih kesabaran.
Subscribe to:
Posts (Atom)