Friday, August 17, 2007

Merdeka, Bung

“Kita belum merdeka, bung”, begitu kata teman saya via emailnya. Panjang ia bercerita tentang kondisi buruh yang selama ini dibelanya. Menurutnya, tak ada kata merdeka dalam kosa kata mereka. Gaji yang dipotong seperti tak ada henti, lembur yang tak terukur, harga minyak tanah yang tak terjamah, semuanya membuat mereka merasa tak merdeka.

Bukan tak ada saya pikir, cuma belum merdeka aja kali. Tapi apa artilah perdebatan semantik ini, toh pada kenyataannya masih banyak nasib buruh, dan bukan hanya buruh, yang belum merdeka dari kebutuhan dasar kemanusiaan seperti makan dan tempat tinggal. Amrtya Sen, peraih hadiah nobel ekonomi mengemukakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah terletak pada tidak adanya yg akan dimakan, juga bukan masalah pendanaan atau pengadaan makanan. Namun lebih banyak karena masalah distribusi atau tidak adanya pemerataan.

Merdeka dari ketakutan, itu juga yang masih menjadi barang mahal bagi bangsa Indonesia. Ya, rakyatnya tentu saja. Toh para penguasa itu memiliki pengawal yang setiap saat bisa menjaganya, so mereka tak masuk bagian orang takut ini.

Kemarin presiden sudah baca pidato kenegaraan di DPR, termasuk rencana-rencana pemerintah setahun ke depan. Terdengar banyak duit yang dibicarakan. Belum lagi highlight dari pidatonya yang ber-trend naik. Anggaran pendidikan naik, anggaran kesehatan naik, gaji PNS dan TNI naik, anggaran ini-itu naik. Melelahkan juga baca pidato yang panjang itu. Tapi intinya semua naik, bagus bukan? Tapi waspadalah, orang statistik punya anekdot sendiri akan ilmu mereka. Ada tiga model kebohongan, bohong, luar biasa bohong, dan statistik itu sendiri. Tapi namanya harapan harus terus disemai, sebab itulah yang membuat hidup lebih berarti.

Merdeka, Bung!!

1 comment:

Anonymous said...

setuju.

cita-cita bisa menumbuhkan semangat untuk melanjutkan hidup. minimal sampai pada waktu diketahui bahwa cita2 tersebut kandas.