Lebaran lagi, idul Qurban. Selamat Idul Adha.
Semoga kita bisa mengikuti kesalehan Ibrahim,
ketaatan Ismail,
ketegaran Siti Hajar,
dalam berkehidupan.
Semoga...
Saturday, December 30, 2006
Saturday, December 23, 2006
Sale
Mendekati Cristmast saat ini, saya lalu teringat saat-saat lebaran di tanah air. Bukan suasana religiusnya yang kumaksud, tapi suasana lain. Apa itu? Belanja.
Ya, belanja. Rupanya kekuatan capital telah mengubah cara pandang banyak orang (termasuk saya) dalam memaknai ibadah. "Lebaran Sale", "Jadikan Lebaran Anda lebih Berkesan", adalah sekedar contoh dari kekuatan itu untuk mengajak kita tentang bagaimana memaknai lain lebaran. Jadilah saya menjadi suntuk dan ngambek saat kecil dulu tidak dibelikan pakaian lebaran. Sampai mengancam tidak akan puasa segala. Untungnya, bapak dulu sangat "kikir" untuk urusan--yang menurutnya mubazir--seperti ini. Baginya, lebaran dan baju baru tidak punya korelasi positif.
Nah, menyambut Cristmast pun, kekuatan itu menunjukkan rupanya yang luar biasa. Semua toko berlomba memajang patung santa di depan pintu masuk toko mereka. Belum lagi hiasan pohon natal yang besarnya luar biasa, lengkap dengan kerlap-kerlip lampunya. Soal diskon, jangan ditanya. Cristmast sale dan semacamnya menjadi hal yang lumrah. Ada bahkan toko yang "mengklaim" bahwa tokonya adalah tempat santa berbelanja. "xxx, where all Santas shop".
Reaksi untuk ini pun bukannya tidak ada, namun tetaplah tidak seramai dengan iklan dan seruan untuk memaknai natal dengan cara yang berbeda. Media juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan "lain" itu.
Tapi pagi tadi saya baca satu artikel yang menyoroti hal ini. Ada semacam parade pendapat yang semuanya mengkritisi cara ber-natal ini. Kaum sekularis menyebutkan bahwa sudah saatnya untuk mengembalikan natal kepada natal yang sesungguhnya dan merayakannya dengan cara-cara traditional sebaimana dulu dilakukan di Roma, tepatnya in ancient Rome. Saat itu cristmast disebut sebagai Saturnalia, dimana festival traditional dilakukan setelah mereka melakukan ibadah di gereja. Festival ini pun jauh dari kesan hedon, sebagaimana biasanya dilakukan sekarang.
Kaum anti-capitalist juga tak ketinggalan. Mereka mengkritisi Cristmast lebih kepada perayaannya yang terkesan berlebihan dan malah jauh dari sifat dasar cristmast itu sendiri. Menurut mereka, being anti capitalist does not exclude you from being Cristian or any faith. But there is pressure being put on people to spend, spend, spend at this time of year. Shops are under pressure to sell and people are under pressure to buy. Begitulah hukum belanja, bung..
Ada pula kaum anti-symbolist yang sangat sesak dengan makin banyaknya simbol-simbo kosong yang menyertai hidup kita. Sama dengan di Indonesia, dimana pemerintah-pemerintah daerah lebih sibuk menjual image dengan perda syariat islam daripada mengurusi sekolah-sekolah yang rusak dan orang-orang miskin yang tak tahu apakah besok mereka akan makan atau tidak. Kaum ini merasa mereka tidak bisa lari, setidaknya dalam 2 bulan terakhir, tanpa dibombardir dengan orang tua berpakaian merah serupa Santa, yang menurut mereka hasil rekaan Coca Cola. Parahnya, Santa ini bukannya memberikan hadiah malah mengajak orang untuk makin rajin menggesek debit dan credit card mereka.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Laporan kahir tahun perusahaan-perusahaan tentu saja menunjukkan lonjakan berarti dari sisi penjualan mereka. Itu untuk generalisasi saja, meski banyak juga yang bangkrut karena tak mampu bersaing untuk membujuk.
Saya hanya tahu, sungguh sulit untuk lari dari kata ini, "Sale". Entah itu saat lebaran--dimana keramaian di Mall jauh lebih tinggi daripada di mesjid saat mendekati akhir ramadhan--atau pun saat Natal seperti ini.
Selamat berbelanja..
Ya, belanja. Rupanya kekuatan capital telah mengubah cara pandang banyak orang (termasuk saya) dalam memaknai ibadah. "Lebaran Sale", "Jadikan Lebaran Anda lebih Berkesan", adalah sekedar contoh dari kekuatan itu untuk mengajak kita tentang bagaimana memaknai lain lebaran. Jadilah saya menjadi suntuk dan ngambek saat kecil dulu tidak dibelikan pakaian lebaran. Sampai mengancam tidak akan puasa segala. Untungnya, bapak dulu sangat "kikir" untuk urusan--yang menurutnya mubazir--seperti ini. Baginya, lebaran dan baju baru tidak punya korelasi positif.
Nah, menyambut Cristmast pun, kekuatan itu menunjukkan rupanya yang luar biasa. Semua toko berlomba memajang patung santa di depan pintu masuk toko mereka. Belum lagi hiasan pohon natal yang besarnya luar biasa, lengkap dengan kerlap-kerlip lampunya. Soal diskon, jangan ditanya. Cristmast sale dan semacamnya menjadi hal yang lumrah. Ada bahkan toko yang "mengklaim" bahwa tokonya adalah tempat santa berbelanja. "xxx, where all Santas shop".
Reaksi untuk ini pun bukannya tidak ada, namun tetaplah tidak seramai dengan iklan dan seruan untuk memaknai natal dengan cara yang berbeda. Media juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan "lain" itu.
Tapi pagi tadi saya baca satu artikel yang menyoroti hal ini. Ada semacam parade pendapat yang semuanya mengkritisi cara ber-natal ini. Kaum sekularis menyebutkan bahwa sudah saatnya untuk mengembalikan natal kepada natal yang sesungguhnya dan merayakannya dengan cara-cara traditional sebaimana dulu dilakukan di Roma, tepatnya in ancient Rome. Saat itu cristmast disebut sebagai Saturnalia, dimana festival traditional dilakukan setelah mereka melakukan ibadah di gereja. Festival ini pun jauh dari kesan hedon, sebagaimana biasanya dilakukan sekarang.
Kaum anti-capitalist juga tak ketinggalan. Mereka mengkritisi Cristmast lebih kepada perayaannya yang terkesan berlebihan dan malah jauh dari sifat dasar cristmast itu sendiri. Menurut mereka, being anti capitalist does not exclude you from being Cristian or any faith. But there is pressure being put on people to spend, spend, spend at this time of year. Shops are under pressure to sell and people are under pressure to buy. Begitulah hukum belanja, bung..
Ada pula kaum anti-symbolist yang sangat sesak dengan makin banyaknya simbol-simbo kosong yang menyertai hidup kita. Sama dengan di Indonesia, dimana pemerintah-pemerintah daerah lebih sibuk menjual image dengan perda syariat islam daripada mengurusi sekolah-sekolah yang rusak dan orang-orang miskin yang tak tahu apakah besok mereka akan makan atau tidak. Kaum ini merasa mereka tidak bisa lari, setidaknya dalam 2 bulan terakhir, tanpa dibombardir dengan orang tua berpakaian merah serupa Santa, yang menurut mereka hasil rekaan Coca Cola. Parahnya, Santa ini bukannya memberikan hadiah malah mengajak orang untuk makin rajin menggesek debit dan credit card mereka.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Laporan kahir tahun perusahaan-perusahaan tentu saja menunjukkan lonjakan berarti dari sisi penjualan mereka. Itu untuk generalisasi saja, meski banyak juga yang bangkrut karena tak mampu bersaing untuk membujuk.
Saya hanya tahu, sungguh sulit untuk lari dari kata ini, "Sale". Entah itu saat lebaran--dimana keramaian di Mall jauh lebih tinggi daripada di mesjid saat mendekati akhir ramadhan--atau pun saat Natal seperti ini.
Selamat berbelanja..
Wednesday, December 20, 2006
Menulis Lagi
Setelah beberapa waktu tersudut oleh setumpuk assignment, yang mengerjakannya pun masih model lama (kebut sebelum deadline) akhirnya saya ada waktu untuk sekedar menengok blog ini, yang lama kutinggalkan.
Awalnya ada niatan untuk memanfaatkan libur, mungkin ke beberapa tempat yang belum terjamah. Untuk urusan ini, banyak nama kota yang sudah masuk dalam list, namun begitulah, dekat-dekat cristmast ini tiket kereta dan coach jadi sedikit tidak bersahabat. Eh, tiba-tiba ada telpon dari teman yang memintaku untuk jadi moderator di acara "ilmiah" PPI UK di KBRI London, maka daftar kota tadi harus disimpan dulu. Mungkin sambil menunggu tabungan cukup sambil berharap dapat tambahan dengan kerja di cristmast ini.
Selang beberapa hari dari acara temu ilmiah itu, acara PPI UK masih lanjut lagi dengan pemilihan ketua dan pengurus baru organisasi itu. Lucu juga saat melihat bagaimana Mubes berjalan. Saat itu saya dan beberapa teman hanya menjadi peserta peninjau. Rapat sudah berjalan sekitar tiga jam namun bahasan mengenai tatib (tata tertib) sidang belum juga rampung. Jika dilihat dari draft nya, maka sebenarnya cuma butuh sekitar 30 menit. Namun begitulah, efisiensi dan efektifitas belum menjadi perhatian utama dalam rapat-rapat di Indonesia, yang kini menghinggapi juga mereka yang di sini.
Seorang kawan yang kuliah di LSE, berseloroh bahwa mahasiswa yang menjadi peserta rapat kali ini kebanyakan anak babe dan nyokap (itu kutipan aslinya--tak jadi soal tepat tidak pasangan katanya) yang saat di Indonesia tak biasa berorganisasi dan sekarang mengumbar tindakan karitatif yang membuat organisasi ini seolah arisan keluarga. Ia memang jengah setelah mengikuti kampanye di milis yang memuat kampanye, visi-misi serta program kerja calon ketua.
Ada calon yang menjadikan rekreasi sebagai program kerja utama dengan target menguatkan kekerabatan dan kebersamaan. Baginya, organisasi ini tak ubahnya arisan keluarga, yang selalu menanti waktu untuk saling tukar cerita dan mungkin membuat janji, kemana lagi kita harus membuang duit. Soal ada orang yang butuh lebih dari sekedar rekreasi, itu soal lain. Ada pula calon yang seolah kakinya tak berpijak di bumi. Bagi calon ini, Indonesia sangat berharap (sekali) kepada mahasiswa Indonesia di perantauan. Entah ia lupa bahwa luar dan dalam negeri, kini tak lebih dari sekedar imaji.
Begitulah, beberapa waktu sempat tak menengok rumah ini, banyak hal yang menarik namun tak sedikit pula yang tak berarti.
Awalnya ada niatan untuk memanfaatkan libur, mungkin ke beberapa tempat yang belum terjamah. Untuk urusan ini, banyak nama kota yang sudah masuk dalam list, namun begitulah, dekat-dekat cristmast ini tiket kereta dan coach jadi sedikit tidak bersahabat. Eh, tiba-tiba ada telpon dari teman yang memintaku untuk jadi moderator di acara "ilmiah" PPI UK di KBRI London, maka daftar kota tadi harus disimpan dulu. Mungkin sambil menunggu tabungan cukup sambil berharap dapat tambahan dengan kerja di cristmast ini.
Selang beberapa hari dari acara temu ilmiah itu, acara PPI UK masih lanjut lagi dengan pemilihan ketua dan pengurus baru organisasi itu. Lucu juga saat melihat bagaimana Mubes berjalan. Saat itu saya dan beberapa teman hanya menjadi peserta peninjau. Rapat sudah berjalan sekitar tiga jam namun bahasan mengenai tatib (tata tertib) sidang belum juga rampung. Jika dilihat dari draft nya, maka sebenarnya cuma butuh sekitar 30 menit. Namun begitulah, efisiensi dan efektifitas belum menjadi perhatian utama dalam rapat-rapat di Indonesia, yang kini menghinggapi juga mereka yang di sini.
Seorang kawan yang kuliah di LSE, berseloroh bahwa mahasiswa yang menjadi peserta rapat kali ini kebanyakan anak babe dan nyokap (itu kutipan aslinya--tak jadi soal tepat tidak pasangan katanya) yang saat di Indonesia tak biasa berorganisasi dan sekarang mengumbar tindakan karitatif yang membuat organisasi ini seolah arisan keluarga. Ia memang jengah setelah mengikuti kampanye di milis yang memuat kampanye, visi-misi serta program kerja calon ketua.
Ada calon yang menjadikan rekreasi sebagai program kerja utama dengan target menguatkan kekerabatan dan kebersamaan. Baginya, organisasi ini tak ubahnya arisan keluarga, yang selalu menanti waktu untuk saling tukar cerita dan mungkin membuat janji, kemana lagi kita harus membuang duit. Soal ada orang yang butuh lebih dari sekedar rekreasi, itu soal lain. Ada pula calon yang seolah kakinya tak berpijak di bumi. Bagi calon ini, Indonesia sangat berharap (sekali) kepada mahasiswa Indonesia di perantauan. Entah ia lupa bahwa luar dan dalam negeri, kini tak lebih dari sekedar imaji.
Begitulah, beberapa waktu sempat tak menengok rumah ini, banyak hal yang menarik namun tak sedikit pula yang tak berarti.
Thursday, December 14, 2006
CSI's effect
Berita tentang pembunuhan terhadap beberapa PSK (aduh, istilah ini pasti ditentang oleh feminists dan pemerhati masalah gender) di Ipswich menjadi berita hangat selain ditemukannya bukti baru tentang kematian Putri Diana, dan dimintainya keterangan dari Tony Blair tentang sebuah kejahatan.
Pembunuhan ini menjadi berita hangat karena efek yang ditimbulkannya, sampai pihak kepolisian menganjurkan wanita untuk tidak keluar malam sendirian.. Belum lagi jumlah korban yang banyak dan model pembunuhannya yang mirip dengan cerita-cerita detektif di pilem-pilem atau novel. Media Inggris menyebutkan bahwa pembunuhan ini berseri dan meninggalkan semacam "trademark" yang tentu saja menantang polisi untuk mencari siapa dalangnya.
Namun, tak luput pula beberapa kalangan melihat pengaruh televisi terhadap timbulnya pembunuhan berseri ini. Serial CSI (Crime Scene Investigation) ditunjuk sebagai ilham bagi terjadinya pembunuhan. Serial lainnya tak luput dari argumen ini seperti, Waking the Dead, Cracker and Silent Witness, dimana mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memcahkan kasus. Benarkah?
Serial ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana polisi dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan alat canggih mampu memecahkan kasus-kasus yang dianggap sulit. Ada dua seri dari serial CSI ini, CSI Miami dan CSI Newyork. Jam tayangnya berurut, dimulai dengan CSI Miami, setiap rabu malam. Nah, kalangan yang menilai bahwa televisi, dalam hal ini CSI, sebagai ilham bagi pembunuh menganggap bahwa serial CSI ini memperlihatkan kemampuan dan metode polisi dalam memecahkan kasus. Ini tentu saja memberi kesempatan bagi pembunuh untuk mencari celah dari kapasitas polisi tersebut.
Saya lalu teringat ketika banyak pihak menyayangkan pemberitaan kriminal serupa BUSER, Sergap dan sejenisnya. Menurut mereka, tayangan itu tak lagi murni tayangan kriminal dan sekedar mencari sensasi dan keuntungan dari kesalahan penajahat-penjahat kecil. Teman saya yang wartawan pasti sangat bisa menjelaskan masalah tayangan ini. Tayangan ini pun dituding membeberkan rahasia kepolisian termasuk dalam hal memecahkan kasus. Entah benar apa tidak, yang jelas saya ingat bagaimana seorang pencuri ayam mengaku mendapatkan ilham dari menonton tayangan kriminal semacam ini.
Pengaruh tayangan televisi pun makin kuat dipertanyakan. Apalagi kasus Smackdown yang sampai menelan korban jiwa, meski, jika ingin disangkal sekali lagi, LaTivi sebagai media yang menayangkan Smackdown telah menjalankan program tersebut sesuai dengan aturan yang ada. Artinya, secara de jure, mereka tidak bisa dinyatakan bersalah.
Kembali ke soal CSI dan pembunuhan di Ipswich, beberapa pihak juga mengatakan bahwa tak perlu merisaukan tayangan-tayangan televisi itu. Toh, seperti klaim Sharlock Holmes, detektif favorit saya, "Every contact leaves a trace". Dan lagi, polisi Inggris kini punya "Bible" yang baru (Murder Investigation Manual 2006). Mereka yang berpendapat ini mungkin jelas melihat televisi sebagai industri semata.
Bagi saya, tayangan televisi tetap memberikan pengaruh luar biasa bagi penonton. Terlepas dari CSI's effect dan Smackdown effect, rasanya masih banyak acara-acara lain yang harus diwaspadai, sebab cenderung mencederai logika dan menghilangkan kesadaran. Serupa yang terjadi di Indonesia, ketika televisi dengan semena-mena menjajah dengan beragam acara yang kadang dipaksakan sebagai hiburan atau informasi, bahkan kadang dicampur adukan sehingga makin membingungkan. Dalam kesempatan lain pun, televisi tak luput menjajakan mimpi bagi kita. Lalu? Tak perlu parno, menontonlah secukupnya dan seperlunya. Jangan banting televisi anda, apalagi jika itu tivi plasma keluaran terbaru..
Pembunuhan ini menjadi berita hangat karena efek yang ditimbulkannya, sampai pihak kepolisian menganjurkan wanita untuk tidak keluar malam sendirian.. Belum lagi jumlah korban yang banyak dan model pembunuhannya yang mirip dengan cerita-cerita detektif di pilem-pilem atau novel. Media Inggris menyebutkan bahwa pembunuhan ini berseri dan meninggalkan semacam "trademark" yang tentu saja menantang polisi untuk mencari siapa dalangnya.
Namun, tak luput pula beberapa kalangan melihat pengaruh televisi terhadap timbulnya pembunuhan berseri ini. Serial CSI (Crime Scene Investigation) ditunjuk sebagai ilham bagi terjadinya pembunuhan. Serial lainnya tak luput dari argumen ini seperti, Waking the Dead, Cracker and Silent Witness, dimana mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memcahkan kasus. Benarkah?
Serial ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana polisi dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan alat canggih mampu memecahkan kasus-kasus yang dianggap sulit. Ada dua seri dari serial CSI ini, CSI Miami dan CSI Newyork. Jam tayangnya berurut, dimulai dengan CSI Miami, setiap rabu malam. Nah, kalangan yang menilai bahwa televisi, dalam hal ini CSI, sebagai ilham bagi pembunuh menganggap bahwa serial CSI ini memperlihatkan kemampuan dan metode polisi dalam memecahkan kasus. Ini tentu saja memberi kesempatan bagi pembunuh untuk mencari celah dari kapasitas polisi tersebut.
Saya lalu teringat ketika banyak pihak menyayangkan pemberitaan kriminal serupa BUSER, Sergap dan sejenisnya. Menurut mereka, tayangan itu tak lagi murni tayangan kriminal dan sekedar mencari sensasi dan keuntungan dari kesalahan penajahat-penjahat kecil. Teman saya yang wartawan pasti sangat bisa menjelaskan masalah tayangan ini. Tayangan ini pun dituding membeberkan rahasia kepolisian termasuk dalam hal memecahkan kasus. Entah benar apa tidak, yang jelas saya ingat bagaimana seorang pencuri ayam mengaku mendapatkan ilham dari menonton tayangan kriminal semacam ini.
Pengaruh tayangan televisi pun makin kuat dipertanyakan. Apalagi kasus Smackdown yang sampai menelan korban jiwa, meski, jika ingin disangkal sekali lagi, LaTivi sebagai media yang menayangkan Smackdown telah menjalankan program tersebut sesuai dengan aturan yang ada. Artinya, secara de jure, mereka tidak bisa dinyatakan bersalah.
Kembali ke soal CSI dan pembunuhan di Ipswich, beberapa pihak juga mengatakan bahwa tak perlu merisaukan tayangan-tayangan televisi itu. Toh, seperti klaim Sharlock Holmes, detektif favorit saya, "Every contact leaves a trace". Dan lagi, polisi Inggris kini punya "Bible" yang baru (Murder Investigation Manual 2006). Mereka yang berpendapat ini mungkin jelas melihat televisi sebagai industri semata.
Bagi saya, tayangan televisi tetap memberikan pengaruh luar biasa bagi penonton. Terlepas dari CSI's effect dan Smackdown effect, rasanya masih banyak acara-acara lain yang harus diwaspadai, sebab cenderung mencederai logika dan menghilangkan kesadaran. Serupa yang terjadi di Indonesia, ketika televisi dengan semena-mena menjajah dengan beragam acara yang kadang dipaksakan sebagai hiburan atau informasi, bahkan kadang dicampur adukan sehingga makin membingungkan. Dalam kesempatan lain pun, televisi tak luput menjajakan mimpi bagi kita. Lalu? Tak perlu parno, menontonlah secukupnya dan seperlunya. Jangan banting televisi anda, apalagi jika itu tivi plasma keluaran terbaru..
Saturday, December 09, 2006
Selamat
091220016
Lumpur Lapindo...
Semburan gas di kalimantan..
Sekolah rubuh..
Pungutan liar Imigrasi.
Selamat berhari Anti Korupsi se-Dunia.
Lumpur Lapindo...
Semburan gas di kalimantan..
Sekolah rubuh..
Pungutan liar Imigrasi.
Selamat berhari Anti Korupsi se-Dunia.
Subscribe to:
Posts (Atom)