Tuesday, March 07, 2006

Membangun dengan CSR

Protes terhadap PT Freeport yang berujung pada penggugatan terhadap keberadaan perusahaan tambang tersebut membuat sebagian pihak berargumen bahwa ini akan menjadi “bad precedent” terhadap dunia investasi di Indonesia. Tapi seberapa pentingkah precedent bagi perusahaan yang memang tidak pernah lepas dari kontroversi ini?

Terlepas dari konteks dan muatannya, ia memberi sebuah pesan kepada perusahaan untuk lebih memperhatikan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) mereka. Konsep CSR secara geneologis masih terbilang baru khususnya di Indonesia. Meski demikian, adaptasi dan pelaksanaannya telah menjadi “trend” bagi perusahaan. Maka berlomba-lombalah perusahaan mengklaim diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dan peduli terhadap pembangunan masyarakat, meski tolak ukurnya sekedar program dan divisi community development/CD yang dimiliki.

Namun kasus Freeport (meski bukan pertama dan satu-satunya) kemudian menjadi puncak gunung es, yang membuat kita bertanya-tanya, sejauh mana perusahaan mengintegrasikan konsep ini ke dalam strategi dan budaya perusahaan. Lebih jauh, kita diperhadapkan pada keseriusan dan kesinambungan dari penjabaran konsep itu sendiri.

Tengoklah komentar dari masyarakat yang menuntut penghentian kontrak karya perusahaan tambang itu. Menurut mereka, setelah lebih dari 35 tahun mengeruk keuntungan yang luar biasa, PT Freeport belum berkontribusi maksimal untuk membantu pengentasan kemiskinan dan ketertinggalam masyarakat Papua sebagai pemegang hak ulayat (Kompas,28/02).

Meninggalkan Pendekatan Lama
Harapan terbesar masyarakat pada dasarnya adalah bahwa keuntungan finansial perusahaan harus berimbang dengan sejauhmana “perbuatan baik”nya. Hal ini muncul karena keterbukaan yang tidak dapat dinafikan sebagai bagian dari proses perwujudan good governance yang makin mengglobal.

Dalam kasus Freeport, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan belum menunjukkan perbuatan baiknya, paling begitu dalam pikiran masyarakat papua, meski keuntungan finansial yang diraih sangatlah besar. Dalam isu pelestarian lingkungan misalnya, PT Freeport (dan perusahaan tambang lainnya) menghadapi environmental scepticism yang menganggap perusahaan tambang lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada manfaat.

Pada tahun 2004, kontribusi pajak dan non-pajak dari perusahaan tambang terhadap pendapatan negara tidak lebih dari Rp. 7,8 triliun. Jaringan Advokasi Tambang juga mencatat bahwa lebih dari 100 kasus muncul setiap tahunnya antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar atau otoritas lingkungan yang juga diakibatkan dari pengabaian pihak perusahaan terhadap kondisi masyarakat sekitar (The Jakarta Post,27/02).

Untuk mengatasinya, peran pemerintah pun makin diharapkan untuk tidak lagi sekedar penagih tanggung jawab normatif semisal royalti dan peningkatan pendapatan. Peran pemerintah sangat menentukan dalam membangun usaha yang kondusif dan tidak manipulatif.

Harus diakui bahwa peran pemerintah masih belum maksimal. Ini terlihat dari belum terciptanya iklim yang kondusif bagi perusahaan untuk meningkatkan program CSR-nya. Selain itu, pemerintah juga belum menyediakan regulasi yang menjamin lintas sektor dan dunia usaha agar mampu menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial secara berkelanjutan dan melembaga.

Sampai disini kita kemudian disadarkan akan arti penting CSR bagi perusahaan dan pembangunan masyarakat.

Tapi pertanyaannya kemudian, bagaimana agar CSR tidak menjadi paradigma pinggiran (peripheral paradigm), baik itu bagi masyarakat, pemerintah dan kalangan dunia usaha sendiri? Apalagi dalam dunia usaha sendiri, masih terjadi perdebatan mengenai penting tidaknya CSR bagi perusahaan. Terlepas dari itu, ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar CSR menjadi paradigma arus utama (mainstream paradigm). Pertama, perdebatan akademis atau politik mengenai sistem pengetahuan tersebut di arena publik. Di sini, partisipasi masyarakat adalah prasyarat mutlak.

Kedua, perdebatan tersebut kemudian ditopang oleh jaringan kekuasaan (legislatif-eksekutif, perguruan tinggi, media, dan LSM). Selanjutnya, akan tercipta kondisi ketiga, dimana sistem ini memiliki ‘teknologi sosial’ yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan (Rochman Achwan, 2006).

Di atas semua itu, CSR juga mensyaratkan agar dunia usaha mengubah pola tanggung jawab mereka yang cenderung elitis, dimana pelibatan masyarakat cukup melalui pejabat atau tokoh-tokoh semata. Kasus Freeport sekali lagi memberi pembenaran atas ini, dimana menurut klaim perusahaan dalam laporannya, mereka telah melakukan banyak hal untuk masyarakat. Namun karena sifat dan desainnya yang tidak melibatkan public sebagai objek, maka yang terjadi kemudian adalah disharmonisasi antara apa yang dilakukan perusahaan dengan kebutuhan masyarakat.

Ke depan, program community development, sebagai salah satu pengejawantahan CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan harus dapat menciptakan hubungan sinergi antar pelaku pembangunan. Kekuasaan harus pula dikelola secara seimbang dan tidak manipulatif sebagaimana yang terjadi selama ini, dalam bentuk pola hubungan sosial antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dengan peran masing-masing dalam menciptakan civil society dan good governance.

Bagi dunia usaha saat ini, tuntutan akan implementasi CSR tidak hanya bersifat eksternal (tekanan dari masyrakat global), tetapi juga haruslah bersifat internal, dimana karyawan juga menyadari dan memberi tekanan kepada perusahaan untuk mengiplementasikan CSR ini dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari entitas bangsa.

Setelah itu, barulah kemudian esensi dari CSR yang bertujuan sebagai perwujudan reorientasi dalam manajemen pembangunan dari state-centered ke multi-centered, dimana keterlibatan dunia usaha tak lagi dapat ditawar, dapat terwujud. Kita pun akhirnya dapat melihat prakarsa perusahaan sebagai bagian dari potensi bangsa yang mendayagunakan diri secara efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

1 comment:

Anonymous said...

mantong!
maksudnya???
hehehe...