Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Kesedihan Pak Bahar dan pedagang lainnya belum juga usai setelah kemarin mereka terpaksa berjibaku mempertahankan miliki mereka, meski sadar tak yakin betul itu milik mereka. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)?
Kita langsung disadarkan dengan pendapat dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang (seharusnya) "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas, dan disinilah rumitnya.
Akibat keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, adakah upaya untuk membuka kanal-kanal terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada? Jika penggusuran dan perampasan hak menjadi indikator, maka kita dengan tegas harus menjawab tidak.
Tuesday, May 31, 2005
Thursday, May 19, 2005
Memperbaiki Citra Kota
Beberapa waktu lalu pemerintah daerah Makassar, melakukan sebuah gebrakan yang sangat positif dengan mewajibkan seluruh hotel dan biro perjalanan menjadikan markisa sebagai welcome drink dan bingkisan bagi tamu-tamu mereka. Upaya ini tentu saja merupakan langkah maju untuk membangkitkan citra kota dan daerah setelah selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk kekelaman akibat kisruh politik, ekonomi dan sosial.
Gebrakan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ketika nama Ujungpandang digantikan Makassar sebenarnya merupakan sebuah upaya rebranding dan repositioning dengan harapan pencitraan yang lebih baik. Bahwa nama Makassar, tidak terbatas pada nama saja, tetapi juga mencakup identifikasi bahasa, suku, budaya, dan kerajaan (Kerajaan Makassar) sedangkan Ujung Pandang hanyalah sebagian kecil dari Kota Makassar (Ujung Pandang berada di dalam Makassar).
Masalah rebranding dan repositioning bukan hanya dilakukan pada produk atau merek dagang sebagaimana banyak dinikmati masyarakat. Sebuah negara atau daerah pun juga perlu (dan dituntut) melakukan langkah serupa untuk memperbaiki citranya. Para marketer menganggap Indonesia perlu melakukan hal itu setelah memperoleh citra kurang menguntungkan menyusul maraknya kasus KKN, teror bom, demonstrasi dan sebagainya.
Kampanye untuk memulihkan citra ini bukannya tidak ada. Selain langkah-langkah sebagaimana disampaikan di atas, pihak pemerintah pusat dan daerah juga telah mengupayakan agar bangsa ini lebih menghargai produk dalam negeri. Masih kita ingat juga bagaimana kampanye cinta rupiah dulu dilakukan ketika krisis moneter mencapai puncaknya yang ditandai dengan “jatuh bebas”nya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Taktik pemasaran untuk memperbaiki citra ini bukan hal baru. Singapura dengan uniquely Singapore, Malaysia dengan truly Asia, Korea dengan Hi Korea, sudah melakukan hal serupa. Atau di Indonesia sendiri beberapa daerah telah melakukan hal serupa. Ambil contoh Yogyakarta dengan Never Ending Asia, Jakarta dengan Enjoy Jakarta, tak hanya lewat logo. Taktik rebranding dan repositioning ini dilakukan dengan menggelar berbagai event. Mulai dari lomba foto, melukis, seminar Internasional dengan tema rebranding the nations hingga konser musik. Termasuk dengan memanfaatkan media sebagaimana Malaysia dan Thailand yang memasang iklan dari ESPN sampai MTV, dengan target yang berbeda tentunya.
Sebenarnya upaya rebranding tanpa disadari sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Yakni, ketika pemilu legislatif dan presiden serta wakil presiden dilaksanakan secara langsung. Meski banyak pihak meragukan, termasuk dengan meramalkan akan banyak timbul konflik, namun sebagaimana diketahui bersama tak ada konflik yang betul-betul mengganggu. Bahkan beberapa negara memberikan apresiasi positif dengan menilai bahwa ini adalah sebuah prestasi yang luar biasa dan tak ada satu negara pun yang memiliki pengalaman serupa. Hal ini tentu saja merupakan upaya rebranding dan repositioning yang sangat positif di tengah buruknya citra birokrasi Indonesia.
Memperbaiki brand yang rusak
Yuswohadi, pengamat manajemen dari MarkPlus melalui tulisannya yang dimuat dalam majalah Warta Ekonomi edisi Oktober 2004 lalu, melihat dalam konsep marketing places, dan marketing nations, brand sebagai 'nyawa' dari sebuah negara. Jika brand sebuah negara rusak, konsekuensinya tentu tidak akan diperhatikan oleh kalangan trader, tourist, dan tentu saja investor. Lebih berbahaya lagi bila potensi SDM-nya yang berkualitas hengkang, akan membuat negara menjadi rapuh, dan tidak memiliki daya saing. Bukan rahasia lagi bahwa banyak tenaga potensial Indonesia lebih memilih bekerja di luar negeri daripada di Indonesia. Belum lagi upaya-upaya pembajakan yang memang telah lama berkembang di kalangan bisnis untuk memperoleh sumber daya yang mumpuni.
Bahkan JW Yunardy menilai posisi brand Indonesia ini adalah ''bottom of all brand''. Pasalnya, Indonesia banyak menyandang predikat buruk. Seperti masalah korupsi, kemiskinan, gangguan keamanan, hukum, dan sebagainya. Langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun sistem, institusi dan kelembagaan yang berfungsi merencanakan, mengoordinasikan, dan mengimplementasikan upaya rebranding. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas.
Langkah kedua adalah membuat cetak biru strategi pemasaran, investasi, dan turisme yang menjadi acuan bagi upaya rebrand yang akan dilakukan secara keseluruhan. Cetak biru itu mencakup penyusunan brand character dan brand identity. Yuswohadi berharap kabinet pimpinan SBY ini akan memiliki program kampanye baru seperti Uniquely Singapore, Amazing Thailand atau Truly Asia milik Malaysia.
Sebenarnya, Indonesia pernah mengampanyekan Visit Indonesia Year pada 1991. Kampanye itu cukup berhasil karena bisa mendongkrak wisman hingga lebih dari dua juta orang. Namun, setelah krisis sampai kini jumlah wisman pun belum menggembirakan dan upaya brand building menghadapi banyak kendala.
Langkah ketiga, dan ini rasanya yang terpenting, adanya upaya untuk membangun kondisi dan iklim positif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal ini memang berat, sebab didalamnya dituntut keseriusan luar biasa. Mulai dari membenahi infrastruktur hingga mental dari pelaksana atau aparat pemerintah dan masyarakat. Citra Indonesia yang tak pernah keluar dari lima besar negara terkorup adalah kampanye negatif, tentu saja untuk ukuran investasi asing. Bayangan akan muncul high cost economy yang timbul dari birokrasi yang memberatkan, adalah bayangan gelap bagi investor.
Belum lagi aparat birokrasi yang masih berpegang teguh pada pendirian “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”? Perbaikan terhadap citra buruk ini tentu saja tak hanya memberikan kampanye positif bagi investor, tapi juga masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat juga akan merasakan manfaat yang luar biasa, dan tentu saja diharapkan akan berimplikasi positif bagi perbaikan mental masyarakat. Kalau ini yang terjadi, maka tanpa dikomando sekalipun masyarakat akan menjadi marketer yang handal bagi investor dan wisatawan.
Lalu bagaimana dengan Makassar? Meski tak menafikan upaya-upaya rebranding dan repositioning yang dilakukan pemerintah daerah—yang kebanyakan hanya berorientasi kepada meningkatnya jumlah wisatawan—kita tentu berharap bahwa upaya rebranding dan repositioning juga memperhatikan perbaikan-perbaikan dalam hal pelayanan dan birokrasi, terutama bagi masyarakat Makassar sendiri. Sebab sekedar membuat jalan yang baik, hotel yang mewah dan bingkisan khas Makassar bagi para tamu tentu saja tak cukup jika masyarakat Makassar sendiri tidak pernah dibuat bangga akan kotanya. Upaya rebranding dan repositioning haruslah tetap menjadikan masyarakat Makassar sebagai subjek yang tidak dipandang sebelah mata.
Aga kareba Makassar?
Tuesday, May 10, 2005
Merebut Kembali Ruang Publik
Harian ini selama beberapa hari memuat pendapat masyarakat melalui salah satu rubriknya mengenai Makassar yang dibanjiri oleh Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Ada yang berpendapat bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun tak sedikit yang menyangsikan argumen ini. Alasannya bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya akan mematikan pedagang kecil yang ada di sekitar mal dan pusat perbelanjaan itu, secara khusus.
Ada dampak lainnya yang mungkin disadari namun tidak memperoleh porsi perhatian yang lebih. Sebab lazimnya ketika berbicara pembangunan, yang menjadi orientasi adalah keuntungan finansial. Dampak itu adalah makin minimnya ruang publik yang tersedia akibat menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan, hotel dan perumahan (mewah).
Ruang publik dalam definisinya yang paling sederhana adalah sebuah space di mana orang boleh secara bebas datang dan pergi. Banyak definisi yang lebih rumit dan canggih, tapi mari kita batasi dengan batasan sederhana sebatas sebagai tempat bertemu, tempat berdagang, dan tempat lalu lintas. Berdasarkan ketiga fungsi ruang publik itu, Jan Gehl kemudian membuat klasifikasi kota menjadi empat kategori.
Pertama adalah kota tradisional, di mana fungsi-fungsi ruang publik masih melekat dan terfasilitasi dengan baik. Biasanya ini ditemui di kota-kota kecil di mana penetrasi kendaraan bermotor tidak terlalu besar. Kedua adalah kota terserbu (invaded city) di mana satu fungsi--biasanya fungsi lalu-lintas, dan itu pun lalu-lintas kendaraan pribadi--telah mengambil sebagian besar porsi space, sehingga tidak ada lagi ruang untuk fungsi yang lain. Di kota jenis ini, penduduknya tidak akan berjalan kaki karena keinginan, tetapi lebih karena keterpaksaan.
Ketiga adalah kota yang ditinggalkan (abandoned city) di mana ruang dan kehidupan publik telah hilang. Kota pun dirancang untuk mobil dan kendaraan bermotor lainnya, yang membuat banyak aktivitas yang tadinya dilakukan dengan berjalan kaki menjadi hilang. Di kota jenis ini, kehidupan penduduknya hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain, yang untuk mencapainya tentu saja harus dengan menggunakan kendaraan.
Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) di mana ada usaha yang kuat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat, untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik Di sini akan kita temui program-program yang memberikan keleluasaan kepada pejalan kaki untuk berinteraksi satu sama lain.
***
Sejak Makassar Mall berdiri menggantikan pasar sentral yang dirasa sudah tidak “modern” maka kemudian bermunculanlah mal dan pusat perbelanjaan lainnya. Mal, pusat perbelanjaan, kompleks perumahan mewah, hotel dalam pembangunannya kemudian tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Konsekuensi penggusuran lahan, penebangan pohon, sebagai contoh, adalah sebuah keniscayaan yang “terpaksa” harus diterima.
Meski formalitas menuntut adanya laporan dan analisis dampak dalam setiap proyek pembangunan, namun kenyataannya dampak buruk dari pembangunan itu sendiri tak juga teratasi. Kemacetan, kegersangan kota akibat minimnya pohon yang berfungsi sebagai “penyejuk” sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kota ini. Belum lagi lahan kosong yang terpaksa “dikorbankan” (dengan dalih agar lebih bernilai) demi kepentingan proyek ini. Maka jangan heran bila di jalan raya yang padat dengan lalu lalang kendaraan kita mendapatkan anak-anak kecil yang bermain-main. Berbahaya? Ya, tapi apa mau dikata sebab tak ada lagi lahan kosong tempat mereka dapat bermain dengan bebas.
Ketiadaan ruang publik ini kemudian menjadikan masyarakat membuat ruang publik baru untuk segala aktivitas; ruang pseudo-publik, ruang yang seolah-olah berfungsi sebagai ruang publik, padahal sebenarnya bukan ruang publik. Maka ramailah tempat-tempat seperti shopping mall dan kafe-kafe yang saat ini menjamur pula di Makassar.
Lalu akankah Makassar akan kehilangan ruang publiknya? Arah ke sana sebenarnya bisa nyata kita lihat. Pembangunan mal dan pusat perbelanjaan, perumahan serta hotel belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti. Tengok pula saat ini berapa banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk memperluas akses kendaraan bermotor. Bandingkan dengan proyek revitalisasi bagi ruang publik, seperti taman kota, museum atau sekolah dan sarana olahraga.
Semua pihak tentu memahami betapa penting ruang publik ini bagi kehidupan warga. Tinggal masalahnya siapa yang harus berinisiatif. Lagi-lagi, kita semua perlu berinisiatif. Tetapi setidaknya kita menunggu Pemkot untuk berinisiatif dan bertindak nyata sebelum ruang publik yang tersisa kemudian habis akibat keserakahan segelintir pihak. Dan yang terpenting dalam bertindak itu pemerintah juga melibatkan masyarakat. Sebab sering terjadi moral dan afinitas kolektif pejabat publik selalu bertolak belakang dengan norma-moral dan afinitas kolektif masyarakat. Jika hal itu itu tidak dilaksanakan maka akan memunculkan ‘kekerasan struktural’ manakala pengelolaan kota tidak mengikutsertakan partisipasi publik.
Kalau toh Pemkot tetap tidak menjalankan fungsinya, maka seperti lagu perjuangan yang menggambarkan kekuatan rakyat melawan penjajah, saatnya kita untuk merebut kembali ruang publik yang dirampas. Mari bung rebut kembali...
Ada dampak lainnya yang mungkin disadari namun tidak memperoleh porsi perhatian yang lebih. Sebab lazimnya ketika berbicara pembangunan, yang menjadi orientasi adalah keuntungan finansial. Dampak itu adalah makin minimnya ruang publik yang tersedia akibat menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan, hotel dan perumahan (mewah).
Ruang publik dalam definisinya yang paling sederhana adalah sebuah space di mana orang boleh secara bebas datang dan pergi. Banyak definisi yang lebih rumit dan canggih, tapi mari kita batasi dengan batasan sederhana sebatas sebagai tempat bertemu, tempat berdagang, dan tempat lalu lintas. Berdasarkan ketiga fungsi ruang publik itu, Jan Gehl kemudian membuat klasifikasi kota menjadi empat kategori.
Pertama adalah kota tradisional, di mana fungsi-fungsi ruang publik masih melekat dan terfasilitasi dengan baik. Biasanya ini ditemui di kota-kota kecil di mana penetrasi kendaraan bermotor tidak terlalu besar. Kedua adalah kota terserbu (invaded city) di mana satu fungsi--biasanya fungsi lalu-lintas, dan itu pun lalu-lintas kendaraan pribadi--telah mengambil sebagian besar porsi space, sehingga tidak ada lagi ruang untuk fungsi yang lain. Di kota jenis ini, penduduknya tidak akan berjalan kaki karena keinginan, tetapi lebih karena keterpaksaan.
Ketiga adalah kota yang ditinggalkan (abandoned city) di mana ruang dan kehidupan publik telah hilang. Kota pun dirancang untuk mobil dan kendaraan bermotor lainnya, yang membuat banyak aktivitas yang tadinya dilakukan dengan berjalan kaki menjadi hilang. Di kota jenis ini, kehidupan penduduknya hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain, yang untuk mencapainya tentu saja harus dengan menggunakan kendaraan.
Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) di mana ada usaha yang kuat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat, untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik Di sini akan kita temui program-program yang memberikan keleluasaan kepada pejalan kaki untuk berinteraksi satu sama lain.
***
Sejak Makassar Mall berdiri menggantikan pasar sentral yang dirasa sudah tidak “modern” maka kemudian bermunculanlah mal dan pusat perbelanjaan lainnya. Mal, pusat perbelanjaan, kompleks perumahan mewah, hotel dalam pembangunannya kemudian tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Konsekuensi penggusuran lahan, penebangan pohon, sebagai contoh, adalah sebuah keniscayaan yang “terpaksa” harus diterima.
Meski formalitas menuntut adanya laporan dan analisis dampak dalam setiap proyek pembangunan, namun kenyataannya dampak buruk dari pembangunan itu sendiri tak juga teratasi. Kemacetan, kegersangan kota akibat minimnya pohon yang berfungsi sebagai “penyejuk” sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kota ini. Belum lagi lahan kosong yang terpaksa “dikorbankan” (dengan dalih agar lebih bernilai) demi kepentingan proyek ini. Maka jangan heran bila di jalan raya yang padat dengan lalu lalang kendaraan kita mendapatkan anak-anak kecil yang bermain-main. Berbahaya? Ya, tapi apa mau dikata sebab tak ada lagi lahan kosong tempat mereka dapat bermain dengan bebas.
Ketiadaan ruang publik ini kemudian menjadikan masyarakat membuat ruang publik baru untuk segala aktivitas; ruang pseudo-publik, ruang yang seolah-olah berfungsi sebagai ruang publik, padahal sebenarnya bukan ruang publik. Maka ramailah tempat-tempat seperti shopping mall dan kafe-kafe yang saat ini menjamur pula di Makassar.
Lalu akankah Makassar akan kehilangan ruang publiknya? Arah ke sana sebenarnya bisa nyata kita lihat. Pembangunan mal dan pusat perbelanjaan, perumahan serta hotel belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti. Tengok pula saat ini berapa banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk memperluas akses kendaraan bermotor. Bandingkan dengan proyek revitalisasi bagi ruang publik, seperti taman kota, museum atau sekolah dan sarana olahraga.
Semua pihak tentu memahami betapa penting ruang publik ini bagi kehidupan warga. Tinggal masalahnya siapa yang harus berinisiatif. Lagi-lagi, kita semua perlu berinisiatif. Tetapi setidaknya kita menunggu Pemkot untuk berinisiatif dan bertindak nyata sebelum ruang publik yang tersisa kemudian habis akibat keserakahan segelintir pihak. Dan yang terpenting dalam bertindak itu pemerintah juga melibatkan masyarakat. Sebab sering terjadi moral dan afinitas kolektif pejabat publik selalu bertolak belakang dengan norma-moral dan afinitas kolektif masyarakat. Jika hal itu itu tidak dilaksanakan maka akan memunculkan ‘kekerasan struktural’ manakala pengelolaan kota tidak mengikutsertakan partisipasi publik.
Kalau toh Pemkot tetap tidak menjalankan fungsinya, maka seperti lagu perjuangan yang menggambarkan kekuatan rakyat melawan penjajah, saatnya kita untuk merebut kembali ruang publik yang dirampas. Mari bung rebut kembali...
Maaf, di Sini Akan Dibangun Mal
Makassar, sebagaimana kota-kota besar lainnya seperti tak ingin ketinggalan untuk dikatakan modern. Maka untuk mendukung itu semua, segala hal yang berhubungan dengan “modern” kemudian dibangun. Mal, hotel berbintang, pemukiman mewah, lapangan golf, (sebentar lagi) apartemen, jalan layang dan tol, semuanya demi memenuhi syarat untuk disebut modern.
Modernisme kerap disimbolkan pada perubahan dalam berpenampilan. Masyarakat bisnis terbilang modern jika aktivitasnya turut ditunjang trend pemenuhan gaya hidup.
Mal, hotel berbintang yang sudah ada dirasa belum cukup untuk memuaskan nafsu belanja masyarakat kota ini yang memang terkenal “royal”, meski kondisi ekonominya pas-pasan. Citra, harga diri dan ego sambung menyambung menjadi satu. Tak heran jika beberapa produsen melakukan peluncuran pertama produk atau menjadikan Makassar sebagai target pasar yang potensial.
Di beberapa jalan yang dianggap strategis sering kita temui papan pengumuman yang menjelaskan bahwa disitu akan berdiri sebuah bangunan. Media pun memblow up-nya dengan memberikan predikat-predikat mencengangkan. Gedung terjangkung, pusat perbelanjaan terbesar di kawasan timur dan lain sebagainya.
Pembangunan gedung dan pusat perbelanjaan itu tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Belum lagi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Memang tak bisa begitu saja menafikan implikasi positifnya seperti peningkatan PAD dari pajak dan retribusi, dan (mungkin) akan memberikan kontribusi bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Tapi haruskah pertumbuhan dan peningkatan pendapatan itu mengorbankan sektor lainnya?
Penyimpangan-penyimpangan tata ruang, misalnya, seperti perubahan peruntukan kawasan dari residen area menjadi bisnis area hingga pemasangan papan-papan reklame di sembarang tempat, membentuk preferensi masyarakat bahwa pemerintah kota/kabupaten (pemerintah daerah) bisa melakukan apa saja, walaupun hal itu melanggar aturan yang telah mereka buat sendiri.
Tengok kemudian fenomena kemacetan yang mulai “akrab” dengan keseharian masyarakat kota ini. Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tidak dilengkapi dengan peningkatan infrastruktur pendukung seperti jalan dan trotoar. Akibatnya kemacetan pun tak terhindarkan. Belum lagi pembangunan yang menyita lahan-lahan hijau (green space) tak kemudian digantikan dengan penanaman kembali pohon. Ringkasnya, pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tentu saja akan menyita ruang publik yang selama ini ada. Pembenaran pun kemudian terlontar dari pemerintah kota dan “didukung” para ahli yang menyatakan bahwa mal dan pusat perbelanjaan yang dibangun toh menjadi pengganti ruang publik itu.
Memang jika diperhatikan sepintas maka mal dan pusat perbelanjaan itu menjadi ruang publik dengan asumsi bahwa siapa pun dapat masuk dan terlibat di dalamnya. Namun sebagaimana di kota-kota besar lainnya mal dan pusat perbelanjaan itu tak lebih dari kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif.
Namun benarkah semua dapat menimatinya? Maaf, jika Anda datang ke mal dengan penampilan kere maka siap-siaplah diusir dengan dalih merusak pemandangan dan citra atau paling parah akan dicap akan ngutil hingga Anda akan diikuti terus oleh security.
Masalah lahan parkir dari mal dan pusat perbelanjaan itu juga menarik disimak. Ruang parkir itu menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota. Tak bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Yang juga perlu didiskusikan secara dialogis adalah mengenai tata ruang yang selama ini selalu ditetapkan oleh pihak pemerintah. Mengenai masalah tata ruang, para birokrat umumnya menjawab secara klasik bahwa penyusunan master plan sudah dirumuskan oleh tim ahli yang tak perlu lagi mengikutsertakan warga, karena tim ahli lebih banyak tahu dibandingkan masyarakat. Dalam perspektif lain, pihak pemerintah kota selalu beralasan bahwa mereka telah menyertakan masyarakat dalam setiap perencanaan kebijakan pembangunannya.
Akibatnya, masyarakat akan dengan terpaksa menerima program-program pemerintah karena hal itu sudah menjadi peraturan daerah yang harus dilaksanakan. Dan bila mereka melanggarnya, maka warga akan ditertibkan oleh aparat pemerintah daerah melalui berbagai macam cara, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.
Bagaimanapun memang perlu keseriusan dan komitmen, terutama dari pemkot yang didukung provinsi.
Penyiapan mental tidak saja dilakukan kepada masyarakat, tetapi terutama pada seluruh aparat, sampai tingkat pelaksana lapangan yang paling bawah. Sifat, sikap, dan komitmen birokrasi yang dewasa dan demi kepentingan publik menjadi krusial di tengah masyarakat kita yang masih paternalistis.
Penyertaan masyarakat atau menyertakan partisipasi publik dalam setiap kebijakan, khususnya pengelolaan kota sudah saatnya untuk direalisasikan. Cara-cara atau pembahasan terbuka, di luar DPRD, juga sudah saatnya pula dihidupkan. Karena dengan dihidupkannya mekanisme-mekanisme di luar parlemen, sebuah kebijakan perkotaan tidak akan lagi berwarna elitisme semata, sebagaimana yang kerap terjadi.
Tentu saja, dengan harapan bahwa kebijakan yang diambil akan berorientasi pada terlindunginya hak dan kepentingan publik, yaitu bermuara pada terjaminnya rasa aman, nyaman, dan ketenangan serta penghargaan kepada masyarakat saat berada di ruang publik.
Mengapa Makassar tidak berusaha membuktikan diri menjadi pelopor di bidang ini?
Modernisme kerap disimbolkan pada perubahan dalam berpenampilan. Masyarakat bisnis terbilang modern jika aktivitasnya turut ditunjang trend pemenuhan gaya hidup.
Mal, hotel berbintang yang sudah ada dirasa belum cukup untuk memuaskan nafsu belanja masyarakat kota ini yang memang terkenal “royal”, meski kondisi ekonominya pas-pasan. Citra, harga diri dan ego sambung menyambung menjadi satu. Tak heran jika beberapa produsen melakukan peluncuran pertama produk atau menjadikan Makassar sebagai target pasar yang potensial.
Di beberapa jalan yang dianggap strategis sering kita temui papan pengumuman yang menjelaskan bahwa disitu akan berdiri sebuah bangunan. Media pun memblow up-nya dengan memberikan predikat-predikat mencengangkan. Gedung terjangkung, pusat perbelanjaan terbesar di kawasan timur dan lain sebagainya.
Pembangunan gedung dan pusat perbelanjaan itu tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Belum lagi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Memang tak bisa begitu saja menafikan implikasi positifnya seperti peningkatan PAD dari pajak dan retribusi, dan (mungkin) akan memberikan kontribusi bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Tapi haruskah pertumbuhan dan peningkatan pendapatan itu mengorbankan sektor lainnya?
Penyimpangan-penyimpangan tata ruang, misalnya, seperti perubahan peruntukan kawasan dari residen area menjadi bisnis area hingga pemasangan papan-papan reklame di sembarang tempat, membentuk preferensi masyarakat bahwa pemerintah kota/kabupaten (pemerintah daerah) bisa melakukan apa saja, walaupun hal itu melanggar aturan yang telah mereka buat sendiri.
Tengok kemudian fenomena kemacetan yang mulai “akrab” dengan keseharian masyarakat kota ini. Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tidak dilengkapi dengan peningkatan infrastruktur pendukung seperti jalan dan trotoar. Akibatnya kemacetan pun tak terhindarkan. Belum lagi pembangunan yang menyita lahan-lahan hijau (green space) tak kemudian digantikan dengan penanaman kembali pohon. Ringkasnya, pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tentu saja akan menyita ruang publik yang selama ini ada. Pembenaran pun kemudian terlontar dari pemerintah kota dan “didukung” para ahli yang menyatakan bahwa mal dan pusat perbelanjaan yang dibangun toh menjadi pengganti ruang publik itu.
Memang jika diperhatikan sepintas maka mal dan pusat perbelanjaan itu menjadi ruang publik dengan asumsi bahwa siapa pun dapat masuk dan terlibat di dalamnya. Namun sebagaimana di kota-kota besar lainnya mal dan pusat perbelanjaan itu tak lebih dari kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif.
Namun benarkah semua dapat menimatinya? Maaf, jika Anda datang ke mal dengan penampilan kere maka siap-siaplah diusir dengan dalih merusak pemandangan dan citra atau paling parah akan dicap akan ngutil hingga Anda akan diikuti terus oleh security.
Masalah lahan parkir dari mal dan pusat perbelanjaan itu juga menarik disimak. Ruang parkir itu menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota. Tak bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Yang juga perlu didiskusikan secara dialogis adalah mengenai tata ruang yang selama ini selalu ditetapkan oleh pihak pemerintah. Mengenai masalah tata ruang, para birokrat umumnya menjawab secara klasik bahwa penyusunan master plan sudah dirumuskan oleh tim ahli yang tak perlu lagi mengikutsertakan warga, karena tim ahli lebih banyak tahu dibandingkan masyarakat. Dalam perspektif lain, pihak pemerintah kota selalu beralasan bahwa mereka telah menyertakan masyarakat dalam setiap perencanaan kebijakan pembangunannya.
Akibatnya, masyarakat akan dengan terpaksa menerima program-program pemerintah karena hal itu sudah menjadi peraturan daerah yang harus dilaksanakan. Dan bila mereka melanggarnya, maka warga akan ditertibkan oleh aparat pemerintah daerah melalui berbagai macam cara, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.
Bagaimanapun memang perlu keseriusan dan komitmen, terutama dari pemkot yang didukung provinsi.
Penyiapan mental tidak saja dilakukan kepada masyarakat, tetapi terutama pada seluruh aparat, sampai tingkat pelaksana lapangan yang paling bawah. Sifat, sikap, dan komitmen birokrasi yang dewasa dan demi kepentingan publik menjadi krusial di tengah masyarakat kita yang masih paternalistis.
Penyertaan masyarakat atau menyertakan partisipasi publik dalam setiap kebijakan, khususnya pengelolaan kota sudah saatnya untuk direalisasikan. Cara-cara atau pembahasan terbuka, di luar DPRD, juga sudah saatnya pula dihidupkan. Karena dengan dihidupkannya mekanisme-mekanisme di luar parlemen, sebuah kebijakan perkotaan tidak akan lagi berwarna elitisme semata, sebagaimana yang kerap terjadi.
Tentu saja, dengan harapan bahwa kebijakan yang diambil akan berorientasi pada terlindunginya hak dan kepentingan publik, yaitu bermuara pada terjaminnya rasa aman, nyaman, dan ketenangan serta penghargaan kepada masyarakat saat berada di ruang publik.
Mengapa Makassar tidak berusaha membuktikan diri menjadi pelopor di bidang ini?
Subscribe to:
Posts (Atom)