Sedih juga membaca headline KOMPAS kemarin (21/03) tentang beberapa anak yang tak dapat melanjutkan pendidikannya karena tiadanya dana. Kisah Euis Nurhayati tentulah sangat menyayat hati dan mengguncang perasaan. Ia tak dapat menyembunyikan tangisnya ketika sang nenek memintanya berhenti sekolah. Tak terbayangkan pula kesedihannya bertambah karena kemampuan neneknya untuk membiayai sudah tidak ada lagi.
Teringat kembali waktu sekolah dulu. Saat pembayaran SPP tiba adalah saat dimana kami diberikan amplop cokelat dan sampul depannya ada beberapa kolom dan baris untuk mengecek "rajin-tidaknya" kami memenuhi kewajiban tersebut. Nah, terbayang pula raut wajah Euis ketika tiba saatnya membayar dan ia tidak mampu untuk memenuhinya.
Bangsa ini memang sedikit keterlaluan. Coba bayangkan, berapa sih anggaran pendidikan yang disediakan negara untuk bidang ini? Bandingkan pula anggaran untuk membangun sekolah dengan anggaran untuk membangun atau merenovasi kantor dan rumah para pejabat. Memang angka tak bisa berbicara, tapi dari deretan angka itu bisa dilihat sebuah itikad.
Tak terima rasanya pikiran ini ketika mendengar bahwa biaya renovasi rumah seorang pejabat di Makassar sebesar 1,3 Milyar. Sama tidak terimanya ketika tahu bahwa biaya jas dan pakaian dinas gubernur yang besarannya bisa membiayai SPP 3200 anak sekolah (asumsi SPP Rp.15.000/bln--ini biaya sekolah di SD Inpres, bukan di Athirah atau sekolah swasta yang sarat fasilitas). Ingin yang lebih banyak lagi? Bagaimana kalau dana 1,3 milyar yang dipakai untuk merenovasi rumah pejabat itu kita pakai membayar SPP, maka terdapat 7222 anak yang bisa sekolah gratis selama setahun penuh.
Tentu ini bisa dikatakan terlalu simplistis dan mengada-ada. Tapi bukankah deretan angka itu akan lebih bermakna dengan sebuah itikad, yang baik, tentunya. Masalahnya soal itikad inilah yang sekarang menjadi barang mahal. Tengok perlombaan para pejabat untuk memakai mobil dinas yang mewah. Bahkan di Makassar sendiri beberapa pejabat melengkapi mobil dinas mereka dengan telepon satelit dan tv car. Jika ditanya alasan, mereka siap bersekutu dengan profesionalitas dan tuntutan kerja.
Jadi teringat ketika beberapa tahun lalu seluruh bupati yang ada di Sulsel menggunakan Pajero untuk kendaraan dinas mereka. Alasan mereka ketika itu adalah untuk membantu kelancaran tugas-tugas mereka dan untuk meningkatkan profesionalitas yang selama ini dirasa mandeg. Bagaimana hasilnya??? Ada ribuan Euis yang tidak mampu bersekolah atau kehilangan sekolah mereka yang roboh karena tidak lebih berarti dibanding rumah jabatan. Rasanya, profesionalitas para pejabat memang meningkat, terutama untuk bidang berkelit dan bersilat lidah.
Tuesday, March 22, 2005
Tuesday, March 15, 2005
Ganyangggg
Tulisan guru besar UGM Riswanda kemarin rasanya patut kita cermati. Dengan judul sederhana ia menyatakan bahwa kita harus banyak berterima kasih kepada Malaysia karena telah berniat untuk mengambil alih Ambalat dan east Ambalat dari Indonesia. Reaksi masyarakat terhadap kasus ini memperlihatkan bahwa bangsa ini memang butuh strugle untuk menjadi kuat.
Coba kita tarik ulur sedikit ke belakang. Ketika korupsi merajalela dan illlegal loging menjadi biasa, tak ada rasa nasionalisme yang gila-gilaan seperti terlihat ketika Malaysia mau mencaplok Ambalat. Pun ketika anggota DPR meminta tambahan gaji sebesar Rp.15 juta. Di Sulsel sendiri anggota dewan meminta fasilitas laptop, katanya sih untuk meningkatkan profesionalisme mereka, toh tidak ada reaksi ganyang koruptor atau ganyang anggota dewaan yang kita lihat di jalan-jalan.
Nah, dengan adanya masalah Ambalat ini, kita dibuat bersatu padu untuk menunjukkan nasionalisme. Bayangkan, sudah berapa ribu orang yang mendaftarkan diri menjadi relawan dan siap mati untuk mempertahankan negara ini. Hebatnya lagi, isu Ambalat ini membuat "hampir" tenggelam isu kenaikan harga BBM. Pokoknya, pameo "right or wrong, Indonesia is my country" menjadi pemersatu.
Parahnya, kampanye ganyang Malaysia ini menjadi tidak rasional lagi. Selain di dunia nyata, di dunia maya pun perang antar hecker kedua negara menjadi perang terbuka dan berujung pada sikap saling menrendahkan. Di dunia nyata sendirii tak kurang demikian. Bayangkan, ada demo yang membakar foto Siti Nurhaliza, ada pula radio yang mengganti memutar lagu-lagu Malaysia menjadi lagu-lagu patriotis dan perjuangan. Padahal, trademark radio itu sendiri karena lagu-lagu Malaysia yang sering diputarnya. Tak habis pikir, memang. Tapi itulah nasionalisme, betapapun sempitnya.
Seorang kawan berandai-andai bahwa kalau toh Indonesia berperang melawan Malaysia kita akan menang. Sebab bangsa ini punya pengalaman 3 abad lebih berperang, dan itu yang tidak dimiliki Malaysia. Tapi bukankah itu berarti kita akan dijajah kembali?
Tapi, menyaksikan "bersatu"nya rakyat untuk membela negeri ini kita menjadi sedih jika melihat tingkah para elit. Tak ada reaksi yang pantas untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Tak ada reaksi wajar ketika melihat korban berjatuhan akibat longsor sampah, kelaparan NTT atau anak sekolah yang harus berhenti karena gedung sekolah mereka roboh. Bagaimana kalau kampanye ganyang Malaysia ini ditambah dengan ganyang koruptor?
Coba kita tarik ulur sedikit ke belakang. Ketika korupsi merajalela dan illlegal loging menjadi biasa, tak ada rasa nasionalisme yang gila-gilaan seperti terlihat ketika Malaysia mau mencaplok Ambalat. Pun ketika anggota DPR meminta tambahan gaji sebesar Rp.15 juta. Di Sulsel sendiri anggota dewan meminta fasilitas laptop, katanya sih untuk meningkatkan profesionalisme mereka, toh tidak ada reaksi ganyang koruptor atau ganyang anggota dewaan yang kita lihat di jalan-jalan.
Nah, dengan adanya masalah Ambalat ini, kita dibuat bersatu padu untuk menunjukkan nasionalisme. Bayangkan, sudah berapa ribu orang yang mendaftarkan diri menjadi relawan dan siap mati untuk mempertahankan negara ini. Hebatnya lagi, isu Ambalat ini membuat "hampir" tenggelam isu kenaikan harga BBM. Pokoknya, pameo "right or wrong, Indonesia is my country" menjadi pemersatu.
Parahnya, kampanye ganyang Malaysia ini menjadi tidak rasional lagi. Selain di dunia nyata, di dunia maya pun perang antar hecker kedua negara menjadi perang terbuka dan berujung pada sikap saling menrendahkan. Di dunia nyata sendirii tak kurang demikian. Bayangkan, ada demo yang membakar foto Siti Nurhaliza, ada pula radio yang mengganti memutar lagu-lagu Malaysia menjadi lagu-lagu patriotis dan perjuangan. Padahal, trademark radio itu sendiri karena lagu-lagu Malaysia yang sering diputarnya. Tak habis pikir, memang. Tapi itulah nasionalisme, betapapun sempitnya.
Seorang kawan berandai-andai bahwa kalau toh Indonesia berperang melawan Malaysia kita akan menang. Sebab bangsa ini punya pengalaman 3 abad lebih berperang, dan itu yang tidak dimiliki Malaysia. Tapi bukankah itu berarti kita akan dijajah kembali?
Tapi, menyaksikan "bersatu"nya rakyat untuk membela negeri ini kita menjadi sedih jika melihat tingkah para elit. Tak ada reaksi yang pantas untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Tak ada reaksi wajar ketika melihat korban berjatuhan akibat longsor sampah, kelaparan NTT atau anak sekolah yang harus berhenti karena gedung sekolah mereka roboh. Bagaimana kalau kampanye ganyang Malaysia ini ditambah dengan ganyang koruptor?
Monday, March 07, 2005
i like monday
ada tawaran untuk sekedar menguatkan keyakinan, begitu istilah yang dipakai kawan yang datang jauh-jauh demi menepati janjinya untuk menjadi pendengar. bisa sih sebenarnya aku telpon saja dan langsung bercerita tapi tidak afdhal kalau tidak melihat-lihat ekspresi wajahnya yang kadang sayu dan seolah-olah simak. bukan apa-apa, makhluk satu ini tersa penting sekarang karena tidak ada lagi teman yang punya sedikit waktu untuk mendengar.
saya sendiri merasa nyaman ketika selesai bercerita kepadanya. meski tak melulu hadir solusi yang "memadai' dari pemikirannya. tapi begitulah, ia memiliki "kharisma" tersendiri bagi saya.
menurutnya, aku tak boleh melanjutkan apa yang telah aku jalani sekarang ini. "adalah perbuatan bodoh untuk selalu berada dibalik bayang-bayang," begitu alasannya. satu sisi ia menawarkan alternatif yang masuk akal, tapi sisi lain rasanya tak sanggup saya menghadapi padangan mata orang (bahasa kerennya kira-kira social cost) yang tentu saja menunjukkan coor tanda tak setuju, tanpa komando.
mungkin benar juga tak baik selalu berada dibalik bayang-bayang, tapi untuk jauh darinya tak melulu dengan menghapusnya bukan? nah kali ini saya sekedar mengubah arah untuk kemudian menciptakan bayangan sendiri. soal bayangan yang mengkhawatirkan, bagaimana kalau ia menjadi satu bab dari kehidupan?
saya sendiri merasa nyaman ketika selesai bercerita kepadanya. meski tak melulu hadir solusi yang "memadai' dari pemikirannya. tapi begitulah, ia memiliki "kharisma" tersendiri bagi saya.
menurutnya, aku tak boleh melanjutkan apa yang telah aku jalani sekarang ini. "adalah perbuatan bodoh untuk selalu berada dibalik bayang-bayang," begitu alasannya. satu sisi ia menawarkan alternatif yang masuk akal, tapi sisi lain rasanya tak sanggup saya menghadapi padangan mata orang (bahasa kerennya kira-kira social cost) yang tentu saja menunjukkan coor tanda tak setuju, tanpa komando.
mungkin benar juga tak baik selalu berada dibalik bayang-bayang, tapi untuk jauh darinya tak melulu dengan menghapusnya bukan? nah kali ini saya sekedar mengubah arah untuk kemudian menciptakan bayangan sendiri. soal bayangan yang mengkhawatirkan, bagaimana kalau ia menjadi satu bab dari kehidupan?
Thursday, March 03, 2005
It's All About Habitat
Entah sudah berapa kali kuungkapkan kalimat seperti itu. Dan beberapa waktu lalu, aku harus mengulanginya lagi, meski sungguh, itu hanya sebuah mekanisme untuk menghibur diri sendiri.
Aku kembali kehilangan sesuatu. Kehilangan bukan dalam wujudnya tapi dalam sikapnya. Alasan untuk merasa kehilangan ini kurang lebih seperti menjelaskan sebuah teori tentang ketidakpastian. Kesannya memang mengabstrakkan sesuatu yang jelas, namun sebetulnya tetap mengkongkretkan yang samar.
Lalu apa hubungannya dengan mekanisme tadi? Yah, seperti selalu ada yang datang seperti pula halnya dengan mereka yang selalu pergi. Tapi konteks ini coba kutarik kemudian menjadi cara yang perlu penerjemahan model lain untuk memahaminya. Mungkin yang satu ini, perasaan memang yang mendominasi?
Aku kembali kehilangan sesuatu. Kehilangan bukan dalam wujudnya tapi dalam sikapnya. Alasan untuk merasa kehilangan ini kurang lebih seperti menjelaskan sebuah teori tentang ketidakpastian. Kesannya memang mengabstrakkan sesuatu yang jelas, namun sebetulnya tetap mengkongkretkan yang samar.
Lalu apa hubungannya dengan mekanisme tadi? Yah, seperti selalu ada yang datang seperti pula halnya dengan mereka yang selalu pergi. Tapi konteks ini coba kutarik kemudian menjadi cara yang perlu penerjemahan model lain untuk memahaminya. Mungkin yang satu ini, perasaan memang yang mendominasi?
Keteguhan Warimen
Ini cerita tentang keteguhan. Meski tak ada satu teori bisnis pun yang mendukung keteguhan macam ini. Namanya Warimen, seorang jawa yang telah lama tinggal di kompleks tempat saya tinggal. Waktu SD dulu, rumahnya adalah tempat yang paling kami minati. Jendela depan rumahnya adalah etalase baginya untuk memajang barang dagangannya.
Ada ludo, ular tangga, kwartet, layang-layang sampai robot-robotan voltus dan topeng superman, yang semuanya diatur seadanya tanpa berhitung soal estetika dan trik menjaring pembeli sebagaimana lazim digunakan di supermarket dan swalayan. Saat itu, permainan yang dijualnya menjadi barometer kemajuan sebuah dunia yang hari ini menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pebisnis yang mengatasnamakan kegembiraan dan kebahagiaan, meski muaranya tentu adalah proses kapitalisasi. Tentu saja, jangan masukkan anak kota sebagai variabel pembandingnya.
Yang mengagumkan, sampai satu dekade waktu berlalu, ia tetap dengan setia menjalani profesinya. Kemarin aku iseng lewat depan rumahnya dan jendela itu masih menjadi etalase yang begitu menggoda hasrat kanak-kanak. Meski jenis permainan yang ada juga telah melewati evolusi yang entah sudah keberapa kalinya.
Hari itu kulihat beberapa anak usia lima dan enam tahun berkumpul dan mungkin saja memperbincangkan tentang bagaimana mereka mencari jalan untuk mendapatkan sebuah permainan yang menarik, seperti yang aku dan teman-teman lakukan ketika kami duduk di beranda rumahnya dulu. Ingatan masa kecil ini membangkitkan rasa tersendiri bagiku.
Tapi diluar kenangan yang kadang menjadi candu, adalah konsistensinya itu lho, untuk eksis di jalur bisnis yang sungguh, teori bisnis tak sempat menyentuhnya. Jangan tanya positioning dan penetrasi pasar kepadanya. Jangan pula kau tanya tentang difrensiasi usaha yang sepatutnya telah ia lakukan mengingat rentang waktu yang begitu panjang. Satu yang pasti, jendela itu tetap menjadi etalase, lengkap dengan tata letak dan desain seadanya. Masih juga ada ular tangga dan ludo disana.
Ia bisa (dan saya memang yakin) saja mengubah arah bisnisnya ke arah yang lebih jelas. Dibanding ia menghabiskan energi untuk sebuah bisnis yang kurang menjanjikan di tengah gempuran permainan digital namun minim interaksi seperti saat ini. Kalau toh untung yang betul-betul jadi motivasi, berapa sih keuntungan dari menjual permainan kertas seperti itu, apalagi ia tidak menjual dalam partai besar? Tapi bukan itu yang ditempuhnya. Ia tetap setia melayani anak-anak dengan segala kenakalannya. Tetap pula dengan jualan yang itu-itu juga. Aku berfikir, bukan semata bisnis yang menjadi nafasnya. Ada semangat untuk tetap mendidik anak menjadi “nakal” dengan caranya, meski untuk itu ia harus berhadapan dengan sinisme para orang tua yang merasa keberatan karena anaknya yang sering merengek minta dibelikan permainan.
Di tengah kegersangan hidup bangsa ini, masih ada Warimen yang menyajikan konsistensi dan keteguhan, meski dengan jalan dan penafsiran yang berbeda.
Ada ludo, ular tangga, kwartet, layang-layang sampai robot-robotan voltus dan topeng superman, yang semuanya diatur seadanya tanpa berhitung soal estetika dan trik menjaring pembeli sebagaimana lazim digunakan di supermarket dan swalayan. Saat itu, permainan yang dijualnya menjadi barometer kemajuan sebuah dunia yang hari ini menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pebisnis yang mengatasnamakan kegembiraan dan kebahagiaan, meski muaranya tentu adalah proses kapitalisasi. Tentu saja, jangan masukkan anak kota sebagai variabel pembandingnya.
Yang mengagumkan, sampai satu dekade waktu berlalu, ia tetap dengan setia menjalani profesinya. Kemarin aku iseng lewat depan rumahnya dan jendela itu masih menjadi etalase yang begitu menggoda hasrat kanak-kanak. Meski jenis permainan yang ada juga telah melewati evolusi yang entah sudah keberapa kalinya.
Hari itu kulihat beberapa anak usia lima dan enam tahun berkumpul dan mungkin saja memperbincangkan tentang bagaimana mereka mencari jalan untuk mendapatkan sebuah permainan yang menarik, seperti yang aku dan teman-teman lakukan ketika kami duduk di beranda rumahnya dulu. Ingatan masa kecil ini membangkitkan rasa tersendiri bagiku.
Tapi diluar kenangan yang kadang menjadi candu, adalah konsistensinya itu lho, untuk eksis di jalur bisnis yang sungguh, teori bisnis tak sempat menyentuhnya. Jangan tanya positioning dan penetrasi pasar kepadanya. Jangan pula kau tanya tentang difrensiasi usaha yang sepatutnya telah ia lakukan mengingat rentang waktu yang begitu panjang. Satu yang pasti, jendela itu tetap menjadi etalase, lengkap dengan tata letak dan desain seadanya. Masih juga ada ular tangga dan ludo disana.
Ia bisa (dan saya memang yakin) saja mengubah arah bisnisnya ke arah yang lebih jelas. Dibanding ia menghabiskan energi untuk sebuah bisnis yang kurang menjanjikan di tengah gempuran permainan digital namun minim interaksi seperti saat ini. Kalau toh untung yang betul-betul jadi motivasi, berapa sih keuntungan dari menjual permainan kertas seperti itu, apalagi ia tidak menjual dalam partai besar? Tapi bukan itu yang ditempuhnya. Ia tetap setia melayani anak-anak dengan segala kenakalannya. Tetap pula dengan jualan yang itu-itu juga. Aku berfikir, bukan semata bisnis yang menjadi nafasnya. Ada semangat untuk tetap mendidik anak menjadi “nakal” dengan caranya, meski untuk itu ia harus berhadapan dengan sinisme para orang tua yang merasa keberatan karena anaknya yang sering merengek minta dibelikan permainan.
Di tengah kegersangan hidup bangsa ini, masih ada Warimen yang menyajikan konsistensi dan keteguhan, meski dengan jalan dan penafsiran yang berbeda.
Subscribe to:
Posts (Atom)