Saya masih memendam keinginan bahwa suatu saat saya akan ke Amerika. Sebenarnya saat mengambil program master di tahun 2005, saya ada kesempatan untuk kesana. Beasiswa yang saya dapat saat itu, Ford Foundation, memungkinkan saya untuk ke Amerika. Apalagi, lembaga pemberi beasiswanya juga berasal dari amerika.
Namun saat itu saya memutuskan untuk ke Inggris, apalagi UK memang tujuan belajar saya sejak lama. Masih teringat soal harapan melihat gedung-gedung tua dan juga melihat sisa kejayaan negeri penjajah ini. Selain itu, pilihan ke UK juga karena pilihan pragmatis. Apalagi sejak beberapa cerita dari angkatan sebelumnya dan juga berita di Koran yang menyatakan bahwa (saat itu) bepergian ke amerika makin dipersulit. Isu terorisme dan keamanan nasional menjadi dasar dari pelaksanaan kebijakan ini.
Masih saya ingat, seorang kawan yang harus memasukkan aplikasi visa sampai dua kali. Saat itu, kami berkesimpulan bahwa pilihan ke amerika bukanlah pilihan yang baik, apalagi jika nama da nasal kita makin merujuk pada kedekatan dengan tokoh teroris.
Nah, kejadian ini terulang kembali. Ceritanya begini.
Sejak awal tahun, saya sudah mempersiapkan paper untuk conference di Amerika. Informasi mengenai conference ini sudah lama saya ketahui dari pembimbing, dan dia juga yang meminta saya memasukkan paper ke konferensi ini. Konfrensi ini diadakan di Atlanta, pada akhir Agustus. Sejak awal tahun paper sudah saya siapkan, dan kemudian dikirim ke panitia konferensi. Sekitar awal April, saya mendapat konfirmasi bahwa paper saya diterima dan bisa dipresentasikan pada konferensi kali ini.
Senang tentu saja. Apalagi, konferensi ini sangat penting mengingat topik bahasan tesis saya banyak yang berhubungan dengan tema besar konferensi kali ini. Dalam daftar pembicara dan juga training pre-konfrensi (yang dikhususkan untuk mahasiswa PhD), saya menemukan beberapa nama yang selama ini artikelnya saya kutip dan saya baca. Intinya, konferensi kali ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya. Alasan kedua, tentu saja karena konferensi ini diadakan di Amerika, maka ini kesempatan berharga memenuhi salah satu keinginan dalam bucket list saya.
Maka saya pun mempersiapkan diri mengurus visa dan segala urusan adminstrasi. Saya pun kemudian mengunduh, mempelajari dan mengisi form untuk aplikasi visa. Di saat yang sama, saya juga mempersiapkan urusan administrasi di kampus. Saya memang mengajukan aplikasi conference grant dari kampus, sebab untuk membiayai sendiri perjalanan ke sana, rasanya mustahil. Urusan adminsitrasi ini juga berkaitan dengan supporting documents dari kampus untuk pengurusan visa. Tak ketinggalam saya pun mengajukan surat permohonan bantuan biaya kepada organisasi mahasiswa pascasarjana yang ada di kampus. Alhamdulillah, aplikasi saya diterima dan bantuan sebesar $700 pun telah ditransfer ke rekening saya.
Setelah form saya submit via system visa konsulat amerika, saya pun mendapatkan jadwal wawancara visa, yaitu 22 April 2013. Hari itu saya kemudian diwawancara. Tak lama sebenarnya, dan Cuma beberapa hal yang ditanyakan saat itu. Soal tujuan, apa yang akan saya lakukan dan mengapa saya menggunakan paspor dinas (biru) dan bukannya paspor regular (hijau). Semua pertanyaan saya jawab, dan semua dokumen pendukung yang diminta juga sudah saya lampirkan dalam aplikasi. Intinya, saya sangat yakin tidak ada masalah berarti dalam pengurusan visa ini. Apalagi, (ini asumsi saya) aplikasi visa saya ajukan dari Australia.
Ternyata, petugas di sana memberikan form biru, dan menjelaskan bahawa aplikasi saya sudah lengkap, tak dibutuhkan lagi dokumen tambahan, namun masih diperlukan tambahan proses administrasi dan screening.
Sejak wawancara itu, hamper setiap hari saya cek aplikasi saya melalui system check online. Saya pun membaca informasi bahwa kondisi seperti ini memang bisa terjadi. Menurut website resmi kedutaan Amerika di Canberra, proses administrasi (administrative processing) ini bisa sampai 60 hari. Beberapa hari yang lalu saya cek, tenggat waktu diperpanjang lagi hingga 90 hari. Namun saya masih tetap yakin saja. Apalagi, saya juga mengajukan aplikasi, paling tidak, jauh hari dari hari keberangkatan yang saya rencanakan.
Ringkas cerita, hingga H-10, informasi mengenai aplikasi visa saya masih tetap sama sejak hari pertama saya mengajukan aplikasi. Masih administrative processing. Tak hanya 60 hari, tapi telah lebih 90 hari terlewati sejak saya wawancara. Jika mengacu pada informasi resmi yang ada, maka seharusnya keputusan soal visa saya ini sudah keluar sejak lama. Apalagi, saya harus mengurus tiket pesawat dan akomodasi, yang tentu saja selain harga yang sudah tidak sama, juga makin sulit didapatkan.
Upaya untuk mengetahui kondisi aplikasi visa saya telah saya lakuka, baik itu telpon langsung ke kantor konsuler atau via email. Jawaban mereka tetap sama, aplikasi saya masih di proses dan saya diminta bersabar.
Nah, H-1, aplikasi visa saya masih tetap sama, masih dalam proses administrasi. Saat itulah saya meyakinkan diri bahwa tidak mungkin lagi saya ke amerika untuk menghadiri konferensi ini. Satu keinginan batal lagi terwujud. Padahal masalah finansial sudah teratasi, apalagi ada bonus grant juga dari organisasi mahasiswa.
Bersama kawan, saya kemudian menganalisis mengapa hal ini bisa terjadi. Dan akhirnya, kami tiba pada beberapa hal yang tentu saja sangat tidak mungkin untuk diklarifikasi kebenarannya. Tapi namanya juga analisis tidak mendalam..
Pertama, nama saya Abdullah, yang tentu saja masih menyisakan pertanyaan besar bagi Amerika. Kata bapak kos saya, seharusnya waktu aplikasi visa saya ganti nama. Ia tentu bercanda, tapi bahkan ia pun sadar dan percaya, bahwa nama menjadi factor penting yang menjadi perhatian dalam aplikasi visa. Tentu, ini berbeda tiap orang, karena ada orang yang namanya mungkin lebih teroris (maaf, mengukurnya saya juga bingung) tapi tetap dapat visa juga.
Kedua, teman saya melihat saya sering membaca berita seputar kebocoran informasi NSA oleh Edward Snowden. Ditambah lagi, saya mem-follow Glenn Greenwald, wartawan Guardian, yang juga merupakan orang pertama yang mengabarkan soal Snowden dan mewawancarainya di Hongkong. Nah, kawan ini menganalisis bahwa pilihan berita yang saya baca membuat America jadi curiga. Saya ketawa saja dengar analisisnya. Tapi mungkin maksudnya menghibur.
Yah, begitulah. Satu keinginan tahun ini tertunda. Semoga masih ada kesempatan di tahun depan, mungkin dengan konferensi dan Negara yang berbeda. Semoga..
Monday, August 26, 2013
Friday, August 16, 2013
Pemimpin dan Sejarahnya
Hari ini, sudah dua pekan lebih kampanye pemilihan federal dilaksanakan di Australia. Dua partai besar, Liberal dan Labour sudah genacar melakukan banyak upaya menggaet suara saat Pemilu Federal 7 September mendatang. Tak ketinggalan, Komisi pemilihan umum Australia yang gencar meminta masayrakat yang memiliki hak suara untuk "Enroll". Metode yang mereka pakai relatif seragam, iklan elektronik di televisi dan radio, juga internet. Tentu saja, jalur media tradisional seperti koran, poster, dan surat ke rumah-rumah masyarakat juga dilakukan. Satu hal yang menarik, tak seperti di Indonesia, tak ada satupun spanduk dan baligo di jalan-jalan, hahaha..
Nah, ada yang menarik di artikel koran Guardian Australia hari ini, kisah tentang calon Perdana Mentri Australia kelak, Tony Abbott. Dia yang berasal dari partai Liberal memiliki pandangan tentang masa depan Australia yang berbeda dengan Kevin Rudd yang berasal dari partai Buruh. Perbedaan ini selain berlatar ideologi (Conservative Vs Socialist), namun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepemimpinan di masing-masing partai. Tentu, menjadi pertanyaan, apakah individu yang kemudian memberi warna pada partai (lembaga) atau lembaga kemudian yang mewarnai pandangan politik seorang individu. Namun terlepas dari hal tersebut, artikel menarik tentang Tony Abbott hari ini memuat kisahnya saat kuliah di Oxford.
Seperti Margaret Thatcher, mantan PM Inggris dari Partai Konservative, Abbott ternyata pernah mengenyam pendidikan di salah satu kampus elit di dunia. Ia kuliah selama 2 tahun disana dengan dukungan beasiswa Rhodes, salah satu beasiswa prestigious juga di kalangan commonwealth. Di sana, ia belajar politik dan filsafat. Sebelum studi pascasarjana di Oxford, ia juga kuliah di University of Sidney.
Membaca koran, berita di media elektronik dan gosip, banyak pihak sebenarnya meragukan pria ini. Selain dianggap amatir dalam politik, kemenangannya yang tipis atas rival di dalam partainya untuk posisi ketua partai membuatnya seperti tidak terlegitimasi. Belum lagi olok-olok menyangkut fisik dan cara bicaranya. Bahkan kemarin ada yang menulis begini di koran. "Can not stand to even look at the man, My TV goes off as soon as he appears on it". Ya, bahkan di negara yang mengklaim maju dan canggih seperti Australia ini, masih ada saja yang berpandangan demikian. Tapi tentu saja, pandangan serupa itu tidak dominan dan hanya sedikit. Apalagi banyak dari pandangan tidak senang ini disampaikan dalam bentuk sarkas yang sangat tajam, yang mebacanya malah menyenangkan dan menggelitik.
Yang menarik juga dari Abbot ini adalah sejarahnya yang dekat dengan politik sayap kanan bahkan sejak ia belum ke Oxford. Dan saat di Oxford inilah, bibit sayap kanan yang dimilikinya tersemaikan dan mendapat tempat. Ini tentu saja menarik, bahwa terlepas dari preferensi masing-masing orang akan Abbott, tapi ia bukan orang yang tiba-tiba saja datang dan merasa layak jadi calon PM. Ia telah melewati banyak fase politik dalam hidupnya. Ia bukan orang yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki ideologi politik tertentu. Ada bukti dan catatan sejarah tentang mengapa ia memilih sebuah kebijakan saat ini, misalnya. Sekali lagi, lepas dari apakah pilihan itu baik atau tidak. Kita bisa tahu mengapa dan bagaimana ia bisa sampai pada sebuah pandangan.
Ya, poin saya adalah bahwa ketika bicara pemimpin, apalagi untuk sebuah negeri, selain ideologi tentu patutlah dilihat jejak-rekam sang calon. Kehidupan pribadi, ketika ia memilih menjadi pejabat publik, maka harus pula menjadi catatan dan perhatian. Tapi tentu, penekanannya adalah pada pandangan dan harapannya ke depan yang dibangun sejak lama. Fokus pada kehidupan pribadi sejatinya tidak melepaskan haknya untuk tetap memiliki rahasia, tentu saja ketika itu menyangkut hidup pribadinya dan tidak berhubungan dengan publik.
Tony Abbot memang tidak terlalu populer, meski demikian polling menunjukkan ada peningkatan suara dan kepercayaan padanya. Bisa jadi, kenaikan ini disebabkan karena jenuhnya orang akan pemimpin dan kebijakannya yang sekarang. Tapi entahlah, sekali lagi suara dan poling tak bisa dilepas juga dari kepiawaian 'public relations' dan kemasannya. Kita juga tentu ingat, bagaimana Margaret Thatcher dan Davide Cameron di Inggris, dua pemimpin partai Konservativ yang berhasil naik menjadi Perdana Menteri. Keduanya sangat tidak populer dalam polling dan juga perbincangan sehari-hari. Namun sejarah menunjukkan bagaimana itu semua tidak menghalangi mereka berdua menjadi PM Inggris. Mungkin sejarah yang sama akan terjadi bagi partai Liberal di Australia setelah terakhir terjadi tahun 2007.
Nah, ada yang menarik di artikel koran Guardian Australia hari ini, kisah tentang calon Perdana Mentri Australia kelak, Tony Abbott. Dia yang berasal dari partai Liberal memiliki pandangan tentang masa depan Australia yang berbeda dengan Kevin Rudd yang berasal dari partai Buruh. Perbedaan ini selain berlatar ideologi (Conservative Vs Socialist), namun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepemimpinan di masing-masing partai. Tentu, menjadi pertanyaan, apakah individu yang kemudian memberi warna pada partai (lembaga) atau lembaga kemudian yang mewarnai pandangan politik seorang individu. Namun terlepas dari hal tersebut, artikel menarik tentang Tony Abbott hari ini memuat kisahnya saat kuliah di Oxford.
Seperti Margaret Thatcher, mantan PM Inggris dari Partai Konservative, Abbott ternyata pernah mengenyam pendidikan di salah satu kampus elit di dunia. Ia kuliah selama 2 tahun disana dengan dukungan beasiswa Rhodes, salah satu beasiswa prestigious juga di kalangan commonwealth. Di sana, ia belajar politik dan filsafat. Sebelum studi pascasarjana di Oxford, ia juga kuliah di University of Sidney.
Membaca koran, berita di media elektronik dan gosip, banyak pihak sebenarnya meragukan pria ini. Selain dianggap amatir dalam politik, kemenangannya yang tipis atas rival di dalam partainya untuk posisi ketua partai membuatnya seperti tidak terlegitimasi. Belum lagi olok-olok menyangkut fisik dan cara bicaranya. Bahkan kemarin ada yang menulis begini di koran. "Can not stand to even look at the man, My TV goes off as soon as he appears on it". Ya, bahkan di negara yang mengklaim maju dan canggih seperti Australia ini, masih ada saja yang berpandangan demikian. Tapi tentu saja, pandangan serupa itu tidak dominan dan hanya sedikit. Apalagi banyak dari pandangan tidak senang ini disampaikan dalam bentuk sarkas yang sangat tajam, yang mebacanya malah menyenangkan dan menggelitik.
Yang menarik juga dari Abbot ini adalah sejarahnya yang dekat dengan politik sayap kanan bahkan sejak ia belum ke Oxford. Dan saat di Oxford inilah, bibit sayap kanan yang dimilikinya tersemaikan dan mendapat tempat. Ini tentu saja menarik, bahwa terlepas dari preferensi masing-masing orang akan Abbott, tapi ia bukan orang yang tiba-tiba saja datang dan merasa layak jadi calon PM. Ia telah melewati banyak fase politik dalam hidupnya. Ia bukan orang yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki ideologi politik tertentu. Ada bukti dan catatan sejarah tentang mengapa ia memilih sebuah kebijakan saat ini, misalnya. Sekali lagi, lepas dari apakah pilihan itu baik atau tidak. Kita bisa tahu mengapa dan bagaimana ia bisa sampai pada sebuah pandangan.
Ya, poin saya adalah bahwa ketika bicara pemimpin, apalagi untuk sebuah negeri, selain ideologi tentu patutlah dilihat jejak-rekam sang calon. Kehidupan pribadi, ketika ia memilih menjadi pejabat publik, maka harus pula menjadi catatan dan perhatian. Tapi tentu, penekanannya adalah pada pandangan dan harapannya ke depan yang dibangun sejak lama. Fokus pada kehidupan pribadi sejatinya tidak melepaskan haknya untuk tetap memiliki rahasia, tentu saja ketika itu menyangkut hidup pribadinya dan tidak berhubungan dengan publik.
Tony Abbot memang tidak terlalu populer, meski demikian polling menunjukkan ada peningkatan suara dan kepercayaan padanya. Bisa jadi, kenaikan ini disebabkan karena jenuhnya orang akan pemimpin dan kebijakannya yang sekarang. Tapi entahlah, sekali lagi suara dan poling tak bisa dilepas juga dari kepiawaian 'public relations' dan kemasannya. Kita juga tentu ingat, bagaimana Margaret Thatcher dan Davide Cameron di Inggris, dua pemimpin partai Konservativ yang berhasil naik menjadi Perdana Menteri. Keduanya sangat tidak populer dalam polling dan juga perbincangan sehari-hari. Namun sejarah menunjukkan bagaimana itu semua tidak menghalangi mereka berdua menjadi PM Inggris. Mungkin sejarah yang sama akan terjadi bagi partai Liberal di Australia setelah terakhir terjadi tahun 2007.
Thursday, August 15, 2013
Kejutan
Dalam beberapa hal, kejutan itu perlu, termasuk dalam hidup. Di Youtube, banyak ditemukan video-video bertopik kejutan, yang norak, romantic, hingga yang paling tidak masuk akal sekalipun. Tema-tema kejutan banyak ditampilkan dalam audisi-audisi pencarian bakat seperti X Factor, [Nama Negara] Got Talent, The Voice dan lain-lain.
Saya bukan full time pengamat Youtube, so mungkin banyak video lain yang serupa dari non-audisi pencarian bakat. Saat jenuh dan bosan dengan artikel dan draft yang sepertinya tak habis-habis, youtube menjadi saluran pencerahan. Iya, saya paham, dalam banyak hal, youtube adalah penggangu paling hebat dalam proses belajar mandiri, seperti yang saya alami saat ini.
Tapi baiklah, saya ingin cerita sedikit tentang salah satu video favorit bertema ‘surprise’ dari X Factor UK tahun 2011. Peserta audisi ini namanya Craig Colton, seorang pekerja di pabrik biskuit dari Liverpool. Ada beberapa hal menarik dari video ini. Dialog-dialog yang tejadi antara Craig dan Jury [selalu senang dengar pronociation ‘judges’ khas British] di awal-awal sungguh segar, lucu dan sangat alami. Intinya, dia ingin memberi kejutan kepada orang tuanya, yang ternyata tak mengetahui bahwa ia akan tampil dalam audisi ini.
Ya, kejutan untuk orang tua dan ingin membuat keduanya bangga. Itu saja, kata Craig. Entahlah, bagaimana akhir dari perjalanan Craig dan orang tuanya. Saya hanya menonton satu video tentangnya dan tak tahu kelanjutannya. Meskipun dari iseng-iseng google tentangnya, ternyata di seorang gay. Tapi, ‘kejutan’ itu yang menarik bagi saya. Sisanya, well, beyond this article, I think.
Tahun, tepat 16 tahun sejak kepergian Bapak. Jujur, saya tak mengenalnya terlalu jauh. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kelar SD saya diminta Bapak sekolah di pesantren. ‘Diminta’ itu bentuk lain dari ‘dipaksa’, sebenarnya. Tapi saya tak menyesal, tak sedikit pun menyesal kini. Namun jika ada yang rasanya perlu saya sesali, tak lain bahwa saya tak begitu dekat dengan bapak.
Selain karena pekerjaan, Bapak juga saat itu seperti punya agenda lain. Agenda agar saya tak melulu di rumah dan jadi manja, dan juga menjadi sangat bergantung pada orang-orang di rumah. Menjadi anak bungsu dan laki-laki satu-satunya, tentu lebih dari cukup menjadi alasan untuk dapat perlakuan-perlakuan istimewa. Oh ya, ini hanya analisa saya pribadi, tak sempat mengkonfirmasinya dengan bapak. Ia keburu dipanggil oleh Allah. Doa dan Alfatihah untuknya.
Nah, kembali ke soal kejutan, rasanya belum pernah sekalipun saya memberi kejutan kepada bapak. Dan ini membuat saya merasa berhutang luar biasa. Tak ada kewajiban memberi kejutan dalam bentuk finansial atau kebanggan duniawi. Bukan itu yang saya maksud, meski kebanggan serupa itu tentu saja baik dan menyenangkan. Tak kurang, saya pun punya keingingan besar untuk berbagi kebahagiaan dengan Bapak-ibu. Mengajak mereka liburan, melihat cucu-cucu mereka, mencukupkan kebutuhan dasar dan tentu saja, merawat mereka dengan baik. Entahlah, tapi saya merasa belum cukup berbakti, jika itu tadi indikatornya.
Malam ini, saya rindu Bapak. Itu saja.
Saya bukan full time pengamat Youtube, so mungkin banyak video lain yang serupa dari non-audisi pencarian bakat. Saat jenuh dan bosan dengan artikel dan draft yang sepertinya tak habis-habis, youtube menjadi saluran pencerahan. Iya, saya paham, dalam banyak hal, youtube adalah penggangu paling hebat dalam proses belajar mandiri, seperti yang saya alami saat ini.
Tapi baiklah, saya ingin cerita sedikit tentang salah satu video favorit bertema ‘surprise’ dari X Factor UK tahun 2011. Peserta audisi ini namanya Craig Colton, seorang pekerja di pabrik biskuit dari Liverpool. Ada beberapa hal menarik dari video ini. Dialog-dialog yang tejadi antara Craig dan Jury [selalu senang dengar pronociation ‘judges’ khas British] di awal-awal sungguh segar, lucu dan sangat alami. Intinya, dia ingin memberi kejutan kepada orang tuanya, yang ternyata tak mengetahui bahwa ia akan tampil dalam audisi ini.
Ya, kejutan untuk orang tua dan ingin membuat keduanya bangga. Itu saja, kata Craig. Entahlah, bagaimana akhir dari perjalanan Craig dan orang tuanya. Saya hanya menonton satu video tentangnya dan tak tahu kelanjutannya. Meskipun dari iseng-iseng google tentangnya, ternyata di seorang gay. Tapi, ‘kejutan’ itu yang menarik bagi saya. Sisanya, well, beyond this article, I think.
Tahun, tepat 16 tahun sejak kepergian Bapak. Jujur, saya tak mengenalnya terlalu jauh. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kelar SD saya diminta Bapak sekolah di pesantren. ‘Diminta’ itu bentuk lain dari ‘dipaksa’, sebenarnya. Tapi saya tak menyesal, tak sedikit pun menyesal kini. Namun jika ada yang rasanya perlu saya sesali, tak lain bahwa saya tak begitu dekat dengan bapak.
Selain karena pekerjaan, Bapak juga saat itu seperti punya agenda lain. Agenda agar saya tak melulu di rumah dan jadi manja, dan juga menjadi sangat bergantung pada orang-orang di rumah. Menjadi anak bungsu dan laki-laki satu-satunya, tentu lebih dari cukup menjadi alasan untuk dapat perlakuan-perlakuan istimewa. Oh ya, ini hanya analisa saya pribadi, tak sempat mengkonfirmasinya dengan bapak. Ia keburu dipanggil oleh Allah. Doa dan Alfatihah untuknya.
Nah, kembali ke soal kejutan, rasanya belum pernah sekalipun saya memberi kejutan kepada bapak. Dan ini membuat saya merasa berhutang luar biasa. Tak ada kewajiban memberi kejutan dalam bentuk finansial atau kebanggan duniawi. Bukan itu yang saya maksud, meski kebanggan serupa itu tentu saja baik dan menyenangkan. Tak kurang, saya pun punya keingingan besar untuk berbagi kebahagiaan dengan Bapak-ibu. Mengajak mereka liburan, melihat cucu-cucu mereka, mencukupkan kebutuhan dasar dan tentu saja, merawat mereka dengan baik. Entahlah, tapi saya merasa belum cukup berbakti, jika itu tadi indikatornya.
Malam ini, saya rindu Bapak. Itu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)