Saat jeda di library siang tadi, saya melintasi rak buku yang berlabel
“free book”. Heran juga, kok ada buku gratis hari gini? Tertarik, saya pun mencoba mengambil satu buku. Setelah membaca brosur dan keterangan di sampul buku, ternyata buku-buku yang ada di rak itu memang gratis.
Dari om
Wiki saya kemudian jadi tahu bahwa program
free book ini diluncurkan oleh kelompok
bookcrossing sejak tahun 2001 yang anggotanya disebut
bookcrossers. Niatnya untuk “membebas”kan buku dan menjadikan kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Modelnya sederhana. Tinggalkan buku-buku anda di ruang publik dan biarkan orang kemudian mengambilnya dan membacanya. Pembaca kemudian bisa menyerahkan lagi buku itu di
collect point atau sekedar menaruhnya di kafe, toko, atau
public space lainnya dan nanti akan diambil dan dibaca lagi oleh orang lain. Ini seperti slogan “3R” mereka,
Read a good book, Register to bookcrossing, and just Release it into the wild so others can read it.Tak ada aturan rumit. Siapa saja bisa mengambil buku yang tersedia. Namun untuk mewakafkan buku, kita perlu register ke situsnya dan kemudian menuliskan kode yang disediakan. Biar menarik, kode di setiap buku yang bisa dicatatkan di situs bookcrossing itu kemudian dimasukkan lagi oleh pembaca untuk kemudian kita semua bisa tahu jejak rekam perjalanan buku dan pembacanya.
Buku yang saya ambil contohnya. Ternyata telah dibaca oleh banyak orang. Komentar dan rating akan buku ini juga ada. Termasuk data dimana mereka mengambilnya dan kapan.
Tentu saja, program ini tidak lepas dari kritik. Penerbit, pengarang dan juga jaringan distribusi buku akan teriak keras bahwa kegiatan ini akan menurunkan nilai buku. Tak akan ramai lagi toko buku, serta amazon si raja buku itu akan tersedot keuntungannya. Lalu, bukankah kritikus-kritikus ini harus berkaca pada industri musik? Meski gencar melawan pembajakan, tak sulit amat untuk mendapatkan album terbaru dari top ten chart atau lagu terbaru Letto atau Tukul Arwana.
Social network ala
Multiply memungkinkan kita mendapatkan semua itu. Tinggal buka account, dan Anda bisa mengunduh lagu dan video sepuasnya. Toh artis musik tetap saja bisa beli
land cruiser atau berjejal di butik-butik mewah. Ini tentu tidak kemudian menjadi alasan pembenar bahwa pembajakan dan perampasan hak cipta benar adanya. Tapi apa salahnya berbagi buku. Bukankah ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak dibagi?
Saya lalu ingat pengalaman saat kuliah dulu. Beberapa kawan dan saya sendiri tentunya, pernah bertanding soal siapa yang memiliki buku paling banyak. Soal lain itu urusan baca atau tidak. Kesan banyak buku banyak ilmu, dan pintar, adalah tema seksi bagi mahasiswa baru dan adik-adik junior. Ada juga dosen yang dengan bangga memajang deretan buku di ruang tamu mereka, seperti mengabarkan pada setiap yang datang, ”Hey, saya punya buku yang banyak, lho”. Lalu kalau banyak kenapa? Wong mau pinjam beberapa buku saja ceritanya jadi panjang. Yang penting adalah bagaimana buku itu tidak saja bermanfaat bagi diri tapi juga bisa dibagi dengan yang lain.
Menjadi soal memang jika watak peminjam ”yang baik”—meminjam buku adalah hak, mengembalikannya bukanlah kewajiban—masih tertanam kuat di dalam kepala. Ini juga memang penyakit. Apalagi memang harga buku yang kelewat mahal di Indonesia. Saatnya pemerintah meninjau kembali pajak-pajak yang menghambat tumbuh dan berkembangnya industri buku.
Kembali ke bookcrossing ini. Singapura ternyata telah ”meratifikasi” ide ini dengan menjadi negara resmi pertama yang menjadikannya sebagai semacam 'program nasional'. Tak terbilang manfaat bagi rakyat Singapura. Padahal mereka juga sudah terkenal dengan budaya dan fasilitas baca yang lengkap. Belum lagi infrastruktur dan teknologi mereka yang mendukung. Sungguh, kampanye membaca tak lagi sekedar slogan dengan gerakan seperti ini.
Bagaimana kemudian ini bisa diaplikasikan di Indonesia? Tak perlulah sampai sedrastis Singapura atau sesuai konvensi bookcrossing, saya kira. Cukup dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan gratis bagi masyarakat. Mereka yang punya buku-buku banyak di rak-rak juga bisa membagi akses bagi yang lain, ketimbang buku-buku itu tersimpan rapi tak terbaca dan bisa jadi tak terawat.
Tahun lalu, kakak saya yang guru SMA meminta ijin agar buku-buku saya yang menumpuk di kamar bisa dia bawa ke perpustakaan sekolahnya. Menurutnya, lebih banyak buku saya ketimbang buku yang ada di perpustakaan sekolahnya. Seperti kebanyakan sekolah negeri, fasilitas minim dan perpustakaan sepi adalah gambaran umum. Belum lagi letak sekolahnya yang memang jauh dan tak masuk dalam radius keramaian. Dengan begitu, ia berharap bahwa ada bahan bacaan alternatif bagi murid-muridnya. Meski kebanyakan buku-buku saya itu hanyalah novel, biografi, buku sejarah dan kumpulan tulisan dari beberapa penulis.
Awalnya saya khawatir, takut buku-buku itu rusak dan yang paling ekstrim, hilang. Tapi ketimbang menumpuk di rumah dan membuat ibu saya repot merawat dan membersihkannya, kuizinkan saja. Sekarang baru sadar, bisa jadi buku-buku saya itu telah berpindah tangan ke beberapa murid, dan siapa tahu ada saja yang mendapat manfaat dari membacanya.
Nah, saatnya membebaskan buku dengan berbagi kepada yang lain. Masuk akal, kan?