61 tahun bangsa Indonesia merdeka. Tapi banyak hal yang perlu menjadi catatan, salah satunya soal citra aman.
Bagaimana kita melihat citra ini? Saya lebih suka yang sederhana aja, soal ketatnya pemerikasaan ketika memasuki gedung-gedung besar, mal, atau hotel di Indonesia. Di Jakarta, meski tidak sulit, memasuki areal gedung atau mal, adalah pekerjaan yang membosankan. Pemeriksaan yang berlapis (mulai dari kendaraan, pintu masuk, juga hilir mudiknya petugas berseragam), tampang petugas yang lebih sering tidak bersahabat dan juga penuh curiga.
Pernah suatu ketika, saya harus mengambil titipan seorang kawan di lantai 28 sebuah gedung di Jakarta. Saat masuk pemeriksaan memang standar aja. Tapi saat mau keluar, ketika saya membawa titipan tersebut, saya harus melewati pemerikasaan berlapis tiga. Pertama petugas di lantai tempat saya mengambil titipan, kedua saat di pintu keluar lift, dan ketiga petugas pengawas gedung. Uh, sungguh melelahkan meski saya sudah membawa surat barang keluar dan meski sebenarnya saya sudah sering masuk ke gedung itu.
Hal berbeda yang saya rasa di UK. Pemeriksaan standar tentu saja ada, tapi khusus di tempat-tempat dengan tingkat keamanan tinggi, seperti bandara. Selainnya ya biasa-biasa aja, tidak ada pemerikasaan, bahkan tempat penitipan barang pun tidak ada. Padahal jika dipikir, negeri ini menjadi target teroris. Apalagi, saat saya tiba, Inggris diguncang isu pengeboman, makanya banyak jadwal penerbangan dari dan ke Inggris ditunda bahkan dibatalkan.
Di luar bandara, yah kehidupan berjalan seperti biasa. Mungkin kita bisa berdalih bahwa itu karena kita juga pernah diguncang bom hebat, yang tidak datang cuma sekali. Belum lagi isu terorisme dan jihad yang tidak juga dilihat utuh.
Tapi tetap aja, ada citra yang dipertaruhkan disitu. Bagaimana kita bisa terus mengklaim bahwa Indonesia kini aman dan tempat yang pas untuk investasi jika dimana-mana justru ketidakamanan yang disebar dan ditonjolkan.
Tapi kok kayak tidak patriotis bicara soal ini di hari kemerdekaan?
Sunday, August 20, 2006
Thursday, August 17, 2006
Sunday, August 13, 2006
Nasib Pejuang Devisa
Saat transit di bandara Dubai International, sekelompok perempuan berwajah melayu menghampiri saya. Jumlah mereka sekitar 7 orang, semuanya berpenampilan biasa. Umur mereka kutaksir sekitar 35 ' 40 an. Mereka sepertinya bingung dan cemas. Tak salah, ternyata mereka tak tahu harus menuju terminal kemana. Bandara ini emang besar, teramat besar dan modern malah. Kami awalnya satu pesawat sejak dari Jakarta, namun di Dubai, mereka harus melanjutkan perjalanan dengan pesawat berbeda dan teminal serta pintu yang berbeda.
Setelah melihat boarding pas dan tiket mereka, saya kemudian menanyakan kepada bagian informasi, yang untungnya agak kooperatif. Sangat beda dengan petugas imigrasi yang memeriksa kami sebelumnya. Tak satupun luput dari incarannya, termasuk bagian dalam sekalipun.
Kembali ke kelompok perempuan tadi, ternyata pesawat mereka baru berangkat jam 5 sore sedangkan saat ini masih jam 06.00 waktu Dubai. Petugas informasi kemudian menunjukkan kepada mereka terminal dan pintu yang harus mereka lewati saat check in nanti.
Kami pun berbagi cerita, mereka menanyakan kemana tujuan saza dan apa yang akan saya lakukan disana. setelah menjawab, saya ganti bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab akan ke Arab Saudi, dengan tujuan menjadi pembantu rumah tangga. Mereka sebenarnya telah ke arab saudi sebelumnya, namun rute yang mereka lalui berbeda dengan saat ini.
Banyak cerita yang mereka bagi, termasuk siasat untuk menghindari terminal 3 di bandara Soekarno Hatta, yang menurut mereka tak ubahya dengan kuburan bagi para TKI. Calo, petugas resmi, seolah berlomba mengambil jatah dari hasil keringat TKI. Jangankan yang tidak remsi, tarif resmi pun sering dimainkan oleh petugas. Belum lagi preman2 yang katanya diberi ruang bebas oleh petugas untuk memalaki mereka.
Tak ingin ambil resiko, mereka pun terbang ke Arab Saudi dengan menyembunyikan status TKI mereka dengan memakai penerbangan lain, beda dengan yang selama ini dipakai TKI pada umumnya. Tentu saja dengan resiko, bahwa biaza tiket menjadi lebih mahal karena harus mengambil rute yang agak jauh dan tidak langsung ke arab saudi.
Saya kemudian teringat sambutan presiden beberapa waktu lalu yang meminta negara untuk menghargai jasa TKI yang dianggap sebagai penghasil devisa terbesar. Gagah betul sebutan untuk mereka, Pahlawan Devisa.
Mereka harus menunggu hingga jam sore, itu berarti mereka akan membutuhkan bekal. Tapi, tak satupun dari mereka zang punza bekal cukup, bahkan air minum sekalipun. Untunglah bandara ini menyediakan air mimum gratis yang kemudian saya tunjukan kepada mereka kerannya.
Panggilan untuk chek in akhirnya membuat saya harus berpamitan dengan mereka. Sambil tersenyum kuberpesan kepada mereka untuk membungkus semua makanan yang diberikan di pesawat agar setibanya di tujuan tak harus bingung karena tak ada bekal.
Ooh Pahlawan, malang benar nasibmu.
Setelah melihat boarding pas dan tiket mereka, saya kemudian menanyakan kepada bagian informasi, yang untungnya agak kooperatif. Sangat beda dengan petugas imigrasi yang memeriksa kami sebelumnya. Tak satupun luput dari incarannya, termasuk bagian dalam sekalipun.
Kembali ke kelompok perempuan tadi, ternyata pesawat mereka baru berangkat jam 5 sore sedangkan saat ini masih jam 06.00 waktu Dubai. Petugas informasi kemudian menunjukkan kepada mereka terminal dan pintu yang harus mereka lewati saat check in nanti.
Kami pun berbagi cerita, mereka menanyakan kemana tujuan saza dan apa yang akan saya lakukan disana. setelah menjawab, saya ganti bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab akan ke Arab Saudi, dengan tujuan menjadi pembantu rumah tangga. Mereka sebenarnya telah ke arab saudi sebelumnya, namun rute yang mereka lalui berbeda dengan saat ini.
Banyak cerita yang mereka bagi, termasuk siasat untuk menghindari terminal 3 di bandara Soekarno Hatta, yang menurut mereka tak ubahya dengan kuburan bagi para TKI. Calo, petugas resmi, seolah berlomba mengambil jatah dari hasil keringat TKI. Jangankan yang tidak remsi, tarif resmi pun sering dimainkan oleh petugas. Belum lagi preman2 yang katanya diberi ruang bebas oleh petugas untuk memalaki mereka.
Tak ingin ambil resiko, mereka pun terbang ke Arab Saudi dengan menyembunyikan status TKI mereka dengan memakai penerbangan lain, beda dengan yang selama ini dipakai TKI pada umumnya. Tentu saja dengan resiko, bahwa biaza tiket menjadi lebih mahal karena harus mengambil rute yang agak jauh dan tidak langsung ke arab saudi.
Saya kemudian teringat sambutan presiden beberapa waktu lalu yang meminta negara untuk menghargai jasa TKI yang dianggap sebagai penghasil devisa terbesar. Gagah betul sebutan untuk mereka, Pahlawan Devisa.
Mereka harus menunggu hingga jam sore, itu berarti mereka akan membutuhkan bekal. Tapi, tak satupun dari mereka zang punza bekal cukup, bahkan air minum sekalipun. Untunglah bandara ini menyediakan air mimum gratis yang kemudian saya tunjukan kepada mereka kerannya.
Panggilan untuk chek in akhirnya membuat saya harus berpamitan dengan mereka. Sambil tersenyum kuberpesan kepada mereka untuk membungkus semua makanan yang diberikan di pesawat agar setibanya di tujuan tak harus bingung karena tak ada bekal.
Ooh Pahlawan, malang benar nasibmu.
Tuesday, August 08, 2006
Bergegas
Malam kemarin serasa menjadi malam yang paling pendek. Entah karena sindrom akan pergi atau sebab lain, tapi begitulah yang terasa. Banyak doa dan pesan yang tersampaikan, kadang membosankan karena berulang. Kali lain tak pas karena diluar konteks. Meski begitu, jiwa seperti terisi amunisi dan sirene tanda konvoi akan dimulai siap dinyalakan.
Pagi-pagi buta, bergegas, untuk sebuah harapan.
Pagi-pagi buta, bergegas, untuk sebuah harapan.
Subscribe to:
Posts (Atom)