Like the church and communism in other times, the corporation is today’s dominant institution…
Semua bermula setelah 1880-khususnya setelah “revolusi industri” di barat sana. Teknologi diperbarui, dan mesin-mesin yang dulu tak terbayangkan tumbuh subur tercipta. Pada akhirnya, mesin-mesin itu tak sekedar menjadi pembangkit Eropa, yang dimulai Inggris, tapi juga menjadi penghancur dan penghisap.
Tak butuh waktu lama untuk kemudian membuat dunia ini menjadi terbagi milik siapa dan atau oleh siapa. Mesin dan pabrik, menjadi kegandrungan baru, yang tak hanya menjadi privasi dan previlise bagi seseorang, tapi juga menjadi senjata bagi sebuah negara mencamplok negara lain, tanpa tentara dan amarah.
Film dokumenter “The Corporation” menyajikan dengan vivid fakta ini. Film ini berusaha menggambarkan kedahsyatan cengkraman “makhluk” bernama perusahaan, yang bahkan telah masuk pada sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Tak pelak, lewat film ini, makhluk itu ditelanjangi sebagai mesin kapitalis yang rakus dan semata-mata demi keuntungan. Yes, it’s all about the money.
Tak masalah jika keuntungan itu lahir dari penindasan yang dibungkus oleh etos dan profesionalisme. Bagaimana kemudian kita tahu bahwa Nike mempekerjakan pekerja dibawah usia 13 tahun. Ironisnya, barang yang mereka hasilkan dihargai mahal sementara upah yang mereka terima tak lebih dari seperduapuluh harga produk itu. Sebuah bentuk imprealisme dan perselingkuhan antara modal dan kekuasaan, yang dilembagakan oleh segudang regulasi atas nama investasi dan pembangunan.
Ada yang menarik ketika Michael Moore—yang menjadi narasumber dalam film ini dan terkenal dengan film 911-nya—meminta President Direktur Nike Corporation untuk terbang ke Indonesia. Ajakan ini ia ajukan dengan membeli dua tiket kelas bisnis. Jawaban yang ia terima tentu saja penolakan. Lebih mengagetkan lagi bahwa sang Presdir belum pernah ke Indonesia. Dengan masih berekspresi kaget Moore kemudian membalasnya dengan kalimat yang menohok, “Bagaimana mungkin seorang pemimpin perusahaan belum mendatangi negara tempat pabriknya beroperasi?”
Pada saat itu memang salah satu pusat produksi Nike adalah Indonesia. Namun sejak beberapa tahun lalu, mereka telah memindahkan pabriknya ke negara lain, salah satu sebabnya karena di sana upah buruh masih sangat murah. Dan tak seperti Indonesia, di sana kepentingan perusahaan sangat terjaga, tak juga oleh demonstrasi pekerja yang tentu saja tak disukai oleh pengusaha.
Film ini disutradarai oleh Mark Achbar, yang hadir pula saat pemutaran film. Dalam sambutannya, ia sempat menceritakan tekanan yang ia terima setelah menyelesaikan filmnya. Bagaimana pula ia harus mengahabiskan enam tahun—tiga tahun untuk mengumpulkan dana dan riset serta tiga tahun lainnya untuk proses produksi—yang “keras” untuk sebuah film yang tentu saja tak masuk kategori box office dan mendatangkan jutaan dollar. Bukannya untung, film yang menghabiskan banyak duit ini menurut pembuatnya bahkan belum kembali modal.
Tapi ia kemudian menimpalinya dengan mengatakan bahwa film ini adalah sebuah upaya untuk memberikan definisi lain tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Tak melulu harus dengan membohongi dan menggadaikan kemanusiaan. Film ini juga merupakan ajakan untuk kita berinspirasi. Lalu, kata dia, “Bangkit dari sofa Anda dan lakukan sesuatu untuk memperbaiki hal ini. Apa pun bentuknya..”
Achbar mewawancarai berbagai narasumber, dari Noam Chomsky, perain nobel ekonomi--Milton Friedman, dan Jane Akre serta Steve Wilson, dua wartawan FOX News yang dipecat karena memberitakan perusahaan Monsanto yang menggunakan bahan kimia berbahaya yang disuntikkan ke sapi untuk meningkatkan hasil susu. Terakhir diketahui Monsanto membayar jutaan dollar untuk iklan yang disiarkan di jaringan FOX News.
Menonton film ini seperti mengajak kita untuk melihat “dunia lain” dari perusahaan dan proses penguasaan modal terhadap segala sendi kehidupan manusia. Ya, apa yang tidak dikuasai saat ini? Ketika rumah ibadah telah menjelma laksana WalMart, berita tak lagi sekedar informasi, sekolah tak lebih dari jejeran billboard dan saat pagi tak lagi menjadi pertanda mula hari, kemanakah kita harus bersembunyi?
Tuesday, December 20, 2005
Monday, December 12, 2005
Sejam Bersama Soekarno
Demam selama lebih dua minggu membuatku khawatir. Namun setelah memeriksakan diri, termasuk cek darah, kekhawatiran terkena demam berdarah—yang lagi “booming” di Jakarta—akhirnya tidak terbukti. Tapi dokter tetap mensyaratkan untuk beristirahat total.
Berdiam diri di kamar adalah pekerjaan yang tidak begitu menyenangkan, apalagi hari ini Jiffest memasuki hari kedua. Setelah kemarin terlewat saat pembukaan, maka hari ini kuputuskan untuk pergi. Meski sebelum berangkat aku mewanti diri untuk menonton hanya satu film, setelah itu harus pulang dan melanjutkan istirahat yang tersela.
Sampai di TIM, pilihan film menjadi masalah selanjutnya. Begitu banyak film dan tentu saja semuanya menarik. Setelah membolak-balik buku petunjuk jiffest yang berisi paparan singkat dari masing-masing film maka kuputuskan untuk menonotn film dokumenter saja. Apalagi jenis film ini gratis untuk ditonton. Bukan gratis itu sebenarnya yang menjadi alasan utama, tapi melihat antrian panjang calon penonton di graha bakti budaya yang ingin menyaksikan film “bagus” dan tidak gratis membuatku berfikir ulang. Takut tidak kuat, apalagi di teater kecil tempat pemutaran film dokumenter tidak terlihat antrian yang luar biasa. Judul filmnya, “From the Cabinet of Des Alwi”. Film ini
Ini tentu sangat menarik. Ya, jika selama ini aku hanya kenal sejarah bangsa ini lewat pelajaran PSPB dan buku-buku sejarah, maka hari ini ada kesempatan menarik melihat visualisasinya.
Ruangan teater tidak penuh dengan penonton, mungkin film dokumenter tidak begitu menarik bagi mereka yang berselera hollywood. Atau bisa jadi karena filmnya yang tidak menarik, entahlah..Dan satu lagi, sekitar 70% penonton adalah orang asing. Dari beberapa pembicaraan panitia, kudengar mereka ini adalah mahasiswa dari australia dan inggris yang sengaja datang untuk jiffest yang ketujuh kalinya dilaksanakan ini. Sejenak kupikir, mereka mungkin ingin membuktikan apakah leluhur mereka benar imprealis atau malah hero bagi bangsa Indonesia. Yang spesial, Des Alwi sang pembuat dokumenter hadir untuk memberikan narasi bagi film yang memang lebih banyak sekedar visual namun tetap berbobot.
Sosok Des Alwi sendiri menurutku adalah festival tersendiri. Bagaimana ia dengan sangat detail masih mengingat gambar itu diambil tanggal dan bulan berapa. Termasuk bagaimana ia mendeskripsikan roman muka dari objek yang diliputnya. Kalau toh ada yang luput, seorang asisten yang duduk disampingnya siap membetulkan. Tapi sepanjang pemutaran, fungsi sang asisten tak lebih dari teman duduk manis dan lebih banyak menikmati sendiri tontonan.
Kembali ke film, ia menggambarkan kondisi bangsa ini sejak berusaha untuk merdeka hingga masa-masa sulit dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih. Yang lebih membuat menarik, film ini juga menggambarkan Soekarno apa adanya. Ya, inilah film dokumenter tentang presiden pertama republik ini. Meski dari judul ia berusaha mencitrakan gambaran tentang tokoh-tokoh bangsa yang lain—dan memang ada sosok Syahrir, Bung Hatta, Ahmad Yani, Oemar Dani, Nasution dll, tapi tetap saja itu dalam bingkai interaksi mereka dengan Soekarno. Ini dimungkinkan karena, salah satunya adalah bahwa Des Alwi, selain jadi wartawan dan diplomat, ia juga memiliki kedekatan dengan tokoh-tokh tersebut.
Menurutku, ada beberapa adegan yang cukup menggambarkan Soekarno “apa adanya”. Pertama ketika ia menandatangani perjanjian jual beli senjata dengan Cina. Saat itu memang dengan panji nasakom, Soekarno mencoba membangun aliansi dengan negara-negara penganut paham ini, salah satunya dengan Cina. Karena Indonesia dianggap sebagai negara yang sangat strategis, maka Cina kemudian memberikan bantuan senjata. Nah, film itu memberikan proses penandatanganan yang sangat Soekarno. Ketika ia telah selesai menandatangani berkas, Soekarno kemudian berpaling ke arah diplomat Cina yang menandatangani dokumen yang sama untuk bertukar. Tapi sebelum itu ia masih sempat ngupil dan tanpa membersihkan tangan atau menyembunyikan aktivitasnya itu, ia langsung saja berjabat tangan. Dari bangku belakang kudengar beberapa penonton asing ngakak sengakak-ngakaknya…entah apa yang mereka pikirkan.
Ada juga bung Karno dalam ekspresi kesedihan yang mendalam, ketika dengan paksa ia diperintahkan keluar dari istana. Bagaimana ia mengepak sendiri barang-barangnya, pun ketika ia membagi-bagikan dasi koleksinya kepada wartawan..tampak jelas ketegaran dan kebesarannya, meski dalam sejarah ia diceritakan pecundang. Ia pun dengan tetap mengumbra senyum memasuki istana bogor, tempat kemudian ia menjalani nasib sebagai tahanan rumah.
Bagi wartawan, Soekarno adalah sosok yang sangat dekat. Ia bahkan terkenal sering bercanda dengan mereka. Termasuk ketika diwawancarai oleh seorang wartawan, ia kemudian melihat ada sebungkus rokok dikantong baju sang wartawan. Tanpa sungkan dan seolah akrab, ia langsung saja mengambil rokok itu dan membakarnya. “enak juga rokok kamu”, hanya itu yang dikatakannya. Kecakapannya berbahasa inggris, belanda dan jerman, juga menjadi kekaguman tersendiri, paling tidak begitu kata Des Alwi mengutip komentar rekan-rekan wartawan yang bersamanya meliput kegiatan presiden.
Adegan yang lain menggambarkan sosok Bung Hatta yang sangat pemalu dan dengan sifatnya itu ia sering menjadi gugup. Ceritanya saat ia menghadiri pertemuan di Belanda, saat ratu akan menyerahkan kedaulatan Indonesia. Setelah menyampaikan pidatonya yang bagus, ia lupa untuk menjabat tangan sanga ratu yang sudah menyodorkan tangan. Des Alwi mengatakan bahwa saat itu bung Hatta gugup sekali sampai lupa menjabat tangan. Ia tahu karena bung Hatta sendiri yang cerita.
Lebih dari itu semua, film ini seperti menggambarkan sosok Des Alwi yang telaten dan sangat menghargai dokumentasi. Dalam pikiran beliau, mungkin terbersit bahwa sejarah, betatapapun kelamnya, ia harus dikekalkan. Bukan untuk dimaknai sempit dan menjadi primbon, tapi tempat dan ruang untuk belajar. Film ini—yang menampilkan Soekarno sebagai bintang—seperti menitip pesan tentang kekuasaan dan batas manusia. Dan Soekarno, hanyalah satu dari sekian pertanda.
Tuesday, December 06, 2005
Weathering
#1
Seorang anak, kutaksir umurnya tak lebih dari 10 tahun, sedang asyik membaca buku. “The Onion Nausem, American’s Finest News Source-Complete News Archieves Vol.15”, begitu judul buku yang ia baca. Aku tahu judul buku itu setelah ‘bersabar’ menanti ia membolak-balik lembar demi lembar buku itu. Setelah ia berpaling karena panggilan ibunya—mungkin harus segera creambath atau mencari prada edisi teranyar, kuambil buku yang dibacanya tadi. Penasaran aja rasanya, anak sekecil itu sudah membaca (kalau toh tidak membaca, menaruh perhatian terhadap sesuatu yang tidak lazim bagi anak-anak) buku yang aku sendiri belum tentu mengerti apa isinya.
Ternyata buku itu berisi kumpulan berita yang pernah dimuat salah satu majalah di Amerika. Semacam bundel, yang diterbitkan dalam beberapa volume. Dari halaman yang kuingat, berita yang lama dipelototi anak itu berjudul “The King of Pop Speaks”. Wah, aku jadi ingat bacaan-bacaanku ketika seumuran anak kecil itu.
#2
Keluar dari plaza, hujan deras mengguyur kota. Di luar tampak beberapa anak “dalam pengawasan ketat” orang tua mencoba mencicipi guyuran hujan. Dengan menjulurkan tangan keluar dari beton yang menutupi sebagian lobi plaza. Atau sekedar berteriak girang seolah hujan, paling tidak bermain-main dengan hujan, adalah barang langka untuk mereka.
Di seberang jalan seorang anak dengan kuyup menawarkan payung untuk mereka yang bergegas. Kuhampiri dia, dengan berlari tentunya, untuk mengantarku ke halte bus. Sambil menikmati perjalanan beberapa ratus meter menuju halte, kubertanya kepadanya, sekedar mencoba memecah kesunyian seolah kami adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Namanya Andi, kelas 5 SD. Mengojek payung adalah pilihan paling baik untuk membantu ibunya menghidupi ia dan tiga orang adiknya. Dari mengojek payung ia biasa membawa pulang Rp 15 ribu. Lumayanlah, sebab tak sedikit pengguna jasanya memberi tip tambahan. Mungkin iba, mungkin juga malas menunggu kembalian atau memang ingin bersedekah.
#3
Desember menjelang akhir hari ketiga, sebuah pesan pendek masuk ke handphoneku. “Alhamdulillah Hasni telah melahirkan bayi laki-laki pada pukul 22.56 WITA tadi. Panjang 52 cm, berat 3,60 kg.” Seorang ponakanku lahir lagi, berarti tanda bahwa kehidupan harus terus dilestarikan. Atau mungkin seperti kata Tagore, setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.
Selamat datang, nak.
Seorang anak, kutaksir umurnya tak lebih dari 10 tahun, sedang asyik membaca buku. “The Onion Nausem, American’s Finest News Source-Complete News Archieves Vol.15”, begitu judul buku yang ia baca. Aku tahu judul buku itu setelah ‘bersabar’ menanti ia membolak-balik lembar demi lembar buku itu. Setelah ia berpaling karena panggilan ibunya—mungkin harus segera creambath atau mencari prada edisi teranyar, kuambil buku yang dibacanya tadi. Penasaran aja rasanya, anak sekecil itu sudah membaca (kalau toh tidak membaca, menaruh perhatian terhadap sesuatu yang tidak lazim bagi anak-anak) buku yang aku sendiri belum tentu mengerti apa isinya.
Ternyata buku itu berisi kumpulan berita yang pernah dimuat salah satu majalah di Amerika. Semacam bundel, yang diterbitkan dalam beberapa volume. Dari halaman yang kuingat, berita yang lama dipelototi anak itu berjudul “The King of Pop Speaks”. Wah, aku jadi ingat bacaan-bacaanku ketika seumuran anak kecil itu.
#2
Keluar dari plaza, hujan deras mengguyur kota. Di luar tampak beberapa anak “dalam pengawasan ketat” orang tua mencoba mencicipi guyuran hujan. Dengan menjulurkan tangan keluar dari beton yang menutupi sebagian lobi plaza. Atau sekedar berteriak girang seolah hujan, paling tidak bermain-main dengan hujan, adalah barang langka untuk mereka.
Di seberang jalan seorang anak dengan kuyup menawarkan payung untuk mereka yang bergegas. Kuhampiri dia, dengan berlari tentunya, untuk mengantarku ke halte bus. Sambil menikmati perjalanan beberapa ratus meter menuju halte, kubertanya kepadanya, sekedar mencoba memecah kesunyian seolah kami adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Namanya Andi, kelas 5 SD. Mengojek payung adalah pilihan paling baik untuk membantu ibunya menghidupi ia dan tiga orang adiknya. Dari mengojek payung ia biasa membawa pulang Rp 15 ribu. Lumayanlah, sebab tak sedikit pengguna jasanya memberi tip tambahan. Mungkin iba, mungkin juga malas menunggu kembalian atau memang ingin bersedekah.
#3
Desember menjelang akhir hari ketiga, sebuah pesan pendek masuk ke handphoneku. “Alhamdulillah Hasni telah melahirkan bayi laki-laki pada pukul 22.56 WITA tadi. Panjang 52 cm, berat 3,60 kg.” Seorang ponakanku lahir lagi, berarti tanda bahwa kehidupan harus terus dilestarikan. Atau mungkin seperti kata Tagore, setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.
Selamat datang, nak.
Subscribe to:
Posts (Atom)