Thursday, February 10, 2005

Perlawanan terhadap Nirmanusiawi

Judul Buku: Tragedi Minamata
Penulis: Masazumi Harada
Penerjemah: Ihsan Nasir, dkk.
Penerbit: Media Kajian Sulawesi, Januari 2005
Tebal: 332 halaman

Sebuah laporan penelitian yang menyingkap kasus pencemaran di Minamata, Jepang. Bacaan bagus untuk para dokter yang melihat profesinya sebagai mata pencaharian belaka.

Bermula pada 21 April 1956, seorang bocah perempuan 5 tahun diantar orangtuanya ke klinik kesehatan khusus anak. Bocah itu mengeluhkan sejumlah rasa sakit yang dirasa di kepalanya. Sekitar seminggu kemudian, giliran adiknya yang masih berusia kurang dari 3 tahun mengeluhkan rasa yang sama.

Dokter saat itu angkat tangan dan lebih memilih merekomendasikan kedua pasien mungilnya itu ke Minamata Health Center. Sejak itu, penyakit Minamata disadari kalangan luas yang ditandai banyak pasien dengan gejala yang relatif sama yang bermunculan. Itulah awal dari munculnya penyakit Minamata.

Pada 28 Mei 1956, ”Komite untuk Penyakit Aneh” dibentuk sebagai respon perjangkitan massal ini. Mereka mulai menyelidiki penyakit itu. Tidak perlu waktu lama karena pada November 1956 kelompok itu berhasil mendeteksi bentuk keracunan logam berat yang berasal dari konsumsi ikan dan kerang. Sebelumnya mereka mendapatkan kondisi tanah dan air masih dalam status normal, sedangkan banyak ikan yang mati.

Tetapi, baru pada Juli 1959, dipastikan sumber racun itu adalah merkuri atau air raksa/Hg, (halaman 87). Setahun kemudian menjadi lebih jelas bahwa sejumlah pasien menderita kelumpuhan saraf otak. Mereka berasal dari lokasi yang sama dengan kemunculan penyakit Minamata. Lebih parah lagi, para pasien itu juga diketahui satu generasi.

Membaca buku ini kita seperti diajak mengikuti napak tilas sang penulis dalam menjalankan aktivitas penelitiannya mengenai penyakit Minamata. Keikutsertaannya dalam penelitian, sebagaimana ia paparkan dalam pendahuluan, dimulai ketika ia menyaksikan tayangan di televisi mengenai korban penyakit aneh dalam acara ”The True Face of Japan.”

Yang menarik, penelitian ini berawal dari keinginan besar masyarakat untuk mengetahui apa yang menimpa mereka. Ia pun mengisahkan bagaimana masyarakat Minamata sendiri sebagai korban pencemaran, melakukan aksi swadaya untuk membiayai kedatangan peneliti dan dokter untuk memeriksa kondisi mereka.
Sebagaimana lazimnya dalam kasus-kasus pencemaran, pertentangan kepentingan juga mewarnai perjalanan kasus ini. Perusahaan, dalam hal ini Chisso, tentu saja melakukan berbagai macam manuver untuk menghindari kerugian besar dari akibat kasus yang dituduhkan kepada mereka. Salah satunya adalah dengan memaksa Lembaga Solidaritas Keluarga dan Pasien untuk menyelesaikan sengketa. Perjanjian berat sebelah ini semakin mengukuhkan kekuatan modal di atas kepentingan masyarakat kecil.

Apa yang dituliskan Harada dalam bukunya ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, tentu saja jika kita lihat dari perspektif pertentangan kepentingan. Dengan demikian, kita dapat melihat semakin hari sains dan teknologi makin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar. Bukti paling nyata adalah riset-riset yang dihasilkan lebih bersifat market driven ketimbang academic driven.

Karenanya perlu perlawanan terhadap nirmanusia, yakni ambruknya manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang dirancang oleh teknologi maju. Kita perlu menentang dengan keras segala solusi yang nirmanusiawi yang didukung oleh kekuatan-kekuatan "tekno-sains", yakni teknologi plus sains, plus kapitalisme lanjut, dan korporasi-korporasi multinasional.

Inilah awal tragedi seperti Minamata, Bhopal, Chernobyl, atau kasus Buyat yang baru-baru ini merebak. Fenomena ini perlu dicermati karena kekuatan investasi telah berhasil mendiktekan munculnya regulasi semacam UU Penambangan di Kawasan Hutan Lindung (di Sulawesi Selatan sendiri melibatkan PT INCO) yang ujung-ujungnya akan sangat memarjinalkan kualitas ekologis kita.

Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan etika manusiawi agar penyesalan sebagaimana yang telah lama diperingatkan oleh Einstein menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, dan bukannya bencana.

Harada, melalui bukunya ini membagikan pengalamannya itu kepada kita. Bagaimana ia dan beberapa dokter menafikkan profesi kedokteran sebagai profesi mata pencaharian belaka. Bagaimana pula Dr. Hosokawa yang mundur dari jabatannya sebagai kepala rumah sakit perusahaan Chesso untuk kemudian bersama-sama dengan dokter dan peneliti lainnya mencari sebab dan pencegah dari penyakit Minamata ini. Sebuah sikap yang sangat menghargai hakikat profesi mulia seorang dokter.

Inilah yang rasanya menjadi point utama dari buku Harada. Ia mempertanyakan ”kemampuan” dan makna dari ilmu kedokteran dalam kaitannya dengan penyakit Minamata, sebagaimana yang dituliskannya dalam catatan akhir. Pertanyaan itulah yang kemudian ia jawab dengan penelitiannya dan menuangkannya dalam buku, sambil berharap bahwa kita, khususnya ahli medis, mampu mengambil pelajaran darinya.

Sayangnya, buku ini lebih banyak terfokus pada isu-isu medis, meski dari latar belakang profesinya bisa kita pahami. Selain itu, buku ini menyisakan celah yang mengganggu. Penomoran halaman pada daftar isi lebih banyak yang tak sesuai dengan isi buku.

Meski demikian, catatan-catatan tersebut tak membuat buku ini menjadi tidak berarti. Buku ini adalah bahan yang bagus untuk kita, terutama pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah, LSM, organisasi masyarakat, pers dan peneliti serta ahli medis. Sebab seperti diperingatkan oleh Harada, penyakit Minamata belumlah usai.

1 comment:

Anonymous said...

Hanya sedikit org yang mau berdedikasi untuk tetap mencari yg benar. Meski sedikit, tapi tetap bermanfaat :)
doel