Wednesday, October 15, 2008

Serial Pamitan

Tinggal berbilang hari kami akan meninggalkan kota ini. Tak ingin ada yang terlupa, pamitan kepada tetangga kami cicil setiap hari di pekan terakhir ini. Semalam saya ke tempat Martin, orang yang selalu namanya ada dalam tulisan di blog ini. Tetangga ini salah seorang yang terdekat dengan kami. Meski ia selalu mengaku kesulitan untuk melafalkan nama kami dalam sentuhan yang lebih "Indonesia".

Martin pula salah seorang yang terunik yang kutemui selama lebih dua tahun di sini.

Ia sampai harus "cuti" sore ini dari kerja rutinnya. Sebagai loper koran gratis, ia memiliki jadwal tetap pagi dan sore untuk mengedarkan koran city council dan koran iklan ke rumah-rumah di sekitar wilayah Roman Way.

Sore itu ia kemudian (kembali) bercerita tentang pengalaman hidupnya. Dirampok saat mencari kerja di Jerman, merasakan panas yang sangat saat di Amerika, dan juga menerima tindakan rasis saat berada di kampung halaman, Irlandia. Ujungnya, ia menjadi loper koran di Birmingham.

Kelar topik soal pengalaman "jadul" pribadi, topik beranjak pada masalah aktual, krisis keuangan global. Ia tak habis pikir, si Gordon Brown memutuskan untuk mem-bail out bank-bank besar yang ada di Inggris. Tentu, dengan duit pemerintah yang berasal dari duit pajak dan juga utang luar negeri. Sebagai pembayar pajak, meski ia akui pajak yang dibayarnya tak ada apa-apanya dibanding Beckham atau Sir Alan Sugar, tapi tetap saja ia tak rela duitnya dihamburkan untuk sesuatu yang dalam istilahnya ia sebut sebagai "membiakkan kapitalisme".

"Tapi itukan pilihan terburuk dari yang ada. Kalau tidak, bisa kolaps sistem keuangan di negaramu ini", begitu kataku. Dengan sigap iya menjawab. Iya, tapi tetap saja tak bisa diterima. Kalau perusahaan rugi, itu resiko bisnis. Kalo harga saham mereka anjlok, masak saya yang harus nanggung semua? Salah mereka sendiri, mau terlibat dalam 'dunia spekulasi' yang kejam namun tak mau jadi korban.

Seperti ingin mengganti topik lain, ia kemudian berujar, "It doesnt really matter anyway, I dont have any bank account". Case closed kalau begitu.

Pembicaraan kemudian berputar di soal kenangan, dan harapan. Sedih rasanya akan meninggalkan Martin, dan orang-orang baik yang selama ini bersama kami. Tapi begitulah, tahapan hidup ini harus berpindah ke episode baru. Semoga kawan-kawan baik ini selalu terkenang dan mengenang kami.

Sebelum berpisah, ia sempat berharap doa. "Doel, doakan semoga saya menang lotere. Kalau saya menang, akan saya jenguk Rafi di Indonesia". Saya tak tahu harus bilang amin atau tidak.

Thursday, October 09, 2008

Duka

Kemarin, saya terima pesan singkat dari seorang kawan. Isinya pendek, mengabarkan berita duka. Pak Wempi, begitu ia sering disapa telah berpulang ke hadirat penciptanya.

Sedih saya membacanya. Ia adalah kolega, guru, dan juga kawan yang baik, teramat baik, bahkan. Darinya saya banyak belajar. Tak hanya soal ekonomi, tapi juga soal hidup dan beragam pilihannya, termasuk dengan bagaimana menikmatinya.

Dalam aras akademik, dia juga menjadi pioneer, paling tidak begitu anggapan saya. Ia bagi saya adalah orang pertama yang membuat suasana jurusan lebih dinamis dan juga lebih up to date. Ketika dosen-dosen lain masih berkutat dan berbangga dengan beragam buku "tua", ia yang dengan diam berbagi artikel terbaru dan juga buku baru dengan mahasiswanya.

Banyak waktu yang saya habiskan bersama beliau, meski tak seluruhnya sepadu padan. Kadang ada juga perbedaan dan debat panjang, tapi begitulah, semuanya berjalan baik-baik saja.

Selamat jalan untuk pak Wempi. Sedih tak bisa hadir di rumah duka, yang juga tak jarang menjadi rumah suka bagi saya dan kawan-kawan.