Monday, January 21, 2008

Penonton Setia

Kaget juga saya ketika cek di BBC 3 hari ini ada highlight piala Afrika 2008. Luar biasa betul piala Afrika yang dilaksanakan di Ghana ini, rupanya. Belum lama rasanya piala Asia berlangsung, tapi berita tentang hajatan besar bangsa Asia ini tak semeriah warna-warni piala Afrika. Yang teringat jelas terliput oleh media Inggris saat itu hanya Irak yang berhasil keluar sebagai juara di tengah morat-marit kehidupan bangsanya. Selebihnya, tak ada yang luar biasa dalam hal liputan dan pewartaan.

Piala Afrika memang berbeda. Selain karena banyak pemain dari benua ini yang merumput di Inggris, kualitas mereka pun tak setara dengan benua coklat, Asia, yang masih dianggap dunia ketiga dalam sepakbola. Meski ini terus diperdebatkan dan coba digugat, termasuk dengan menyentuh lapisan ideologis dari perspektif globalisasi, tetap saja, kita harus akui ketimpangan kelas ini. Akhirnya, tak hanya highlight, siaran langsung hampir seluruh pertandingan piala asia pun disaksikan gratis di Inggris.

Memang ada banyak muka Asia di English Premier League (EPL), dan mereka tak hanya di klub-klub gurem lagi kecil. Tapi kelas mereka hanya kelas pelengkap, kalau tak ingin menyebutnya sebagai pemain cadangan sepanjang musim. Kalau toh ada yang muncul di permukaan, jumlah mereka tak perlu memakai kalkulator untuk menghitungnya. Beda jauh dengan pemain Afrika, yang hampir menjadi pemain kunci dan sangat berpengaruh di klub mereka masing-masing. Drogba, Yakubu, dan beberapa pemain Arsenal meninggalkan sedih bagi manajer mereka. Saking stressnya, banyak manajer klub Inggris yang meminta piala Afrika dipindahkan pelaksanaannya saat summer, saat dimana klub-klub Inggris libur kompetisi.

Tak perlu paham teori konspirasi, kita tentu bisa lihat betapa curangnya juga klub-klub Inggris ini memperlakukan bangsa Asia. Pemain-pemain itu hanya dikontrak untuk meningkatkan pangsa pasar klub Inggris di kawasan dengan pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan di dunia ini. Nakata, pemain Jepang yang berpindah dari satu klub Italia ke klub lainnya itu adalah fenomena pertama dan terus jadi bahan perbincangan. Ini kemudian diikuti dengan pemain-pemain lain, yang kaos replikanya diharapkan menutupi bahkan melebihi biaya kontrak, dan kalau bisa membuka pasar bagi cenderamata klub lainnya di negara asalnya.

Ini pula yang kemudian meningkatkan jumlah suporter ”fanatik” dari klub. Suporter fanatik MU contohnya yang kebanyakan berada di Asia, dengan tingkat pembelian cinderamata yang paling tinggi. Mereka betul-betul fanatik, hingga misalnya memborong seluruh aksesoris berbau MU. Orang Asia yang berada di Inggris pun tak lepas dari ’serangan’ klub-klub sepakbola, hingga kemudian banyak iklan berbahasa Cina yang menjajakan paket tour menonton langsung ke stadium yang umumnya ditujukan bagi mahasiswa Cina di Inggris. Tak jarang mereka juga ikut pertandingan klub favoritnya, dimana pun mereka bertanding. Seperti orang Manchester saja mereka kelihatannya, meski minus teriakan dan nyanyian sepanjang pertandingan.

Kefanatikan mereka sebenarnya telah diprotes oleh seporter lokal, yang merasa makin terpinggirkan. Sir Alex ferguson boleh protes bahwa stadion sekarang telah kehilangan roh oleh diamnya suporter dan minimnya teror mental terhadap pemain lawan. Namun ia mungkin lupa, bahwa suporter sepakabola Inggris terbentuk dari kelas pekerja yang setia terhadap permainan menawan dan penuh kerja keras. Tempat mereka, yang biasanya berada di bagian atas stadium, telah tersisih tak saja dengan invasi penonton musiman seperti saya, tapi juga dengan harga tiket yang makin mencederai akal sehat.

Tetangga saya, seorang suporter fanatik Arsenal bahkan telah menganggap gila orang-orang yang membayar tiket seharga 35 – 40 pound untuk sebuah pertandingan klub papan atas EPL. Harga itu bisa melambung lebih tinggi jika klasifikasinya sudah masuk liga champion dan uefa. Ia pun kemudian lebih memilih ke pub, menonton bareng suporter lain dengan harga yang lebih manusiawi, cukup dengan membeli beberapa gelas bir.

EPL, laga paling populer sejagat ini memang tak tertandingi oleh piala Afrika, meski banyak bintang dan bakat disana. Tapi mereka, paling tidak telah berhasil mencuri perhatian. Asia, masih harus sabar untuk menjadi penonton. Atau kelas kita memang cuma segitu?

1 comment:

Hidayatullah said...

saya lagi suka-sukanya nonton bola. termasuk Piala Afrika yang baru saja dimulai.

saya kirim update hasil pertandingannya, ya OM!

grup A = Ghana 2 - 1 Guinea