Saturday, September 29, 2007

Tak sekedar Lapar

Ramadhan sudah setengah jalan. Sudah seberapa penuh kantong amal dan ibadah kita terisi?

Di time edisi online ada link menarik. Photos of the week, berisi foto-foto tentang ramdhan. Ada satu foto dari Indonesia. di situ digambarkan beberapa lelaki sedang berbaring di masjid. Mungkin mereka lelah dan lapar, hingga perlu sedikit istrirahat. Pemandangan seperti ini memang biasa saat ramadhan. Mesjid dan surau terisi, meski tak penuh, saat shalat jamaah dilakukan. Setelah itu, dengan berjamaah pun kita pulas.

Menahan lapar dan haus serta tidak berhubungan dengan pasangan, begitu yang biasa kita memaknai puasa. Sesederhana itukah?

Kata seorang imam, ketiga aktifitas halal yang ditahan itu hanyalah katalisator dalam jejak langkah kita mengisi ramadhan. Ada yang jauh lebih esensial dari sekadar menahan kebutuhan purba kita itu. Kesalihan social, kepedulian terhadap sesama dan harapan untuk terus melepas diri dari nafsu duniawi menjadi ujian sesungguhnya.

Soal korupsi misalnya. Data tranparansi internasional menyebutkan bahwa deretan pertama negara-negara terkorup di dunia justru adalah negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Indonesia sebagai contoh, adalah negara muslim terbesar di dunia. Tapi tingkat korupsinya jauh diatas negara-negara yang tak memutar sinetron religi di stasiun televisi mereka. Di lain pihak, Jepang, sebuah negara dengan mayoritas rakyatnya bisa dikatakan tak beragama, selalu menjadi contoh bagi pelaksanaan rasa malu dan kejujuran.

Salahkah agama? Tentu tak elok jika agama kemudian menjadi sasaran tembak dari semua ini. Yang keliru mungkin adalah konsep keberagamaan dan bagaimana agama dilihat dalam perspektif kekinian. Dalam beberapa hal, ada tentu bagian yang tidak bisa digugat dan sebab itulah keimanan berarti percaya. Namun tak berarti tak ada ruang untuk, katakanlah ‘meninjau kembali’ konsep beragama.

Dalam kitab suci, tak sedikit ayat yang mengingatkan untuk berbuat adil, peduli terhadap sesama, dan bersikap jujur. Yang jadi soal, adalah peletakan kesalihan dalam konteks ritual dan dalam tampilan yang cenderung jauh dari esensi ibadah dan saleh itu sendiri. Tak heran jika kemudian terjadi reduksi besar-besaran akan ibadah. Kesalihan kemudian menjadi domain individu dan tidak pernah ditekankan untuk muncul dan berkembangnya kesalihan social. Lebih utama rasanya memperbincangkan pahala dan timpalan api neraka ketimbang berkutat dengan korupsi biaya KTP dan sogok-menyogok polisi dan masyarakat saat terkena tilang. Tak pernah pula kita dengar tokoh agama bereaksi terhadap penggusuran, ketimpangan social atau korupsi dalam masyarakat.

Kemegahan juga kian mewarnai kehidupan beragama. Tak habis pikir rasanya sebuah kabupaten seperti Maros, tempat saya menghabiskan banyak umur saya, lebih membangun sebuah mesjid megah berbilang milyar namun masyarakatnya masih banyak yang kesulitan makan. Di Kalimantan timur malah kabarnya mesjid dibangun dengan biaya yang bisa dipakai untuk membuat banyak sekolah dan madrasah. Ini mungkin wujud kecintaan terhadap agama. Tapi segitu parah dan kelirukah cinta itu dijewantahkan?

Menjelang ramadhan, fokus utama justru pada penutupan tempat-tempat hiburan. Rasionalisasinya adalah keinginan untuk menghormati ramadhan. Tak jarang penutupan paksa bahkan penghancuran satu tempat menjadi aksi reaksioner terhadap ajakan dialog yang sebenarnya bisa lebih dikedepankan.

Lalu, akankah individu yang salih mendapatkan berkah ramadhan? Bagi saya, kesalihan dan keimanan haruslah termanifestasi dalam ruang kehidupan yang lebih nyata. Ibadah, kesalihan, haruslah disertai pengorbanan. Jika tidak, yang lahir hanyalah hamba salih yang egois. Pengorbanan untuk sesama, itu yang masih langka. Saya pun rasanya masih demikian. Celakalah saya…

Monday, September 17, 2007

Berdamai dengan Interupsi

33 jam seminggu, begitu hasil riset Ac Nielsen soal berapa waktu yang kita habiskan menonton tipi. Kita? Kalau toh bukan saya, Anda, berarti ada orang lain yang punya 33 jam waktu untuk menonton. Bahkan ada yang menghabiskan waktu lebih lama menonton tipi ketimbang bekerja. Bisa jadi, orang itu menonton sambil bekerja, atau ia merupakan pegawai tim pengawas siaran tipi. entahlah, pokoknya kotak ajaib itu telah mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Apa arti angka ini? Taruh kata kita kerja 8 jam sehari, sebagaimana dicatat dalam kontrak kerja, maka hasil riset Nielsen itu menyebutkan bahwa lebih dari 4 hari dalam seminggu waktu kita habis untuk nonton tipi, dgn asumsi tdk mengerjakan pekerjaan lainnya. Like must always be compared with like, tapi ini sekedar analogy sederhana betapa banyaknya waktu yang diminta oleh kotak ajaib itu. Angka ini tentu menghkawatirkan sebagian kalangan. Mulai dari orang tua, pengamat dan praktisi pendidikan, ahli jiwa, sampai pada aktivis lingkungan.

Namun yang bahagia tentu tak sedikit jumlahnya. Pengiklan salah satunya. Tak ada hari tanpa kreasi mereka untuk sekedar mencuri perhatian dalam keseharian kita. Entah itu di kereta, billboard di jalan, bioskop, mall, hingga rumah ibadah. Praktis tidak ada tempat yang sunyi dari iklan atau upaya-upaya sejenisnya.

Beruntung saya bisa menikmati siaran BBC. Mengapa? Tak ada iklan sebagai jeda dalam setiap programnya. Siaran langsung sepakbola tim Inggris pun bisa ternikmati dengan nyaman., sebagai contohnya. Atau menikmati serial Heroes yang tak diinterupsi oleh iklan parfum Armani terbaru atau Volvo SUV keren, yang tentu saja tak cuocok buat kantong saya. Lalu, Darimana mereka dapat dana untuk segala operasionalnya? Mirip TVRI jaman dulu, selain dapat suntikan pemerintah, mereka juga narik dana dari masyarakat melalui TV licence, semacam iuran/pajak televisi.

Tapi bisakah kita lari dari pelbagai interupsi ini? Maaf, tak ada ruang yang zero interruption. Friedman menyebutnya sebagai the age of interruption, zaman gila yang penuh dengan beragam interupsi. Praktis tak ada hari tanpa email spam bagi pengguna email gratisan dari yahoo atau gmail. Menyebutkan Anda pemenang lotre berhadiah jutaan pound, meski tak sekali pun memeasang taruhan. atau email palsu yang meminta pembaca untuk berbaik hati meminjamkan rekening bagi harta rampasan perang dengan jumlah jutaan dollar dengan nama pangeran dari negara antah beranta sebagai pengirim.

Jangan pula berharap lepas dari sms iklan atau telepon berdering menawarkan ragam produk dan segala bujuk rayunya. Di depan flat saya, meski telah terpasang pengumuman bahwa pedagang keliling dilarang masuk, tetap saja ada yang berhasil curi-curi perhatian untuk sekedar menunjukkan brosur mereka. Atau dengan modus yang lebih elegan, menitipkan brosur kepada loper atau pak pos. Jadilah bank statement yang saya terima setiap bulannya selalu disertai dengan brosur pakaian renang atau tujuan wisata baru dengan tarif miring.

Sebenarnya begitulah mekanisme yang ada. Tak perlu rumit memahami teori pemasaran dan perilaku konsumen untuk tahu bahwa iklan dan segala macam interupsi itu juga memberi andil bagi kita, para konsumen. Dengan interupsi-interupsi itulah kita bisa mengenal produk dan apa saja yang bisa memuaskan hasrat dan kebutuhan kita. Hasrat dan kebutuhan? Ya, tak usah malu untuk menyadari bahwa kebanyakan belanja kita lebih untuk memuaskan hasrat ketimbang kebutuhan. Tak heran jika saya sering membeli barang yang tak jelas benar manfaatnya buat saya, toh tetap juga terbeli karena hasrat yang menggunung. Sementara kebutuhan utama sering terpinggirkan dengan beragam dalih. Sebuah interupsi yang menyenangkan, begitu kilah yang jadi umum.

Sekali lagi, berharap tak ada interupsi?

Saturday, September 15, 2007

Selamat Puasa



Semoga puasa hari ini memberi banyak berkah untuk kita semua dan tentu, makin meningkatkan kesalehan sosial kita.

Selamat berpuasa.

Saturday, September 01, 2007

Mobil sport

Saya memang bukan pembelanja yang baik, paling tidak itu kata istri saya. Setiap habis ‘tugas’ belanja, saya selalu lupa berapa harga barang yang sudah saya beli. Jika sebelum belanja saya selalu bersiap dengan daftar belanja, itu memang nilai tambah. Tapi kelar belanja yang jadi masalah. Pertanyaan istri saya semisal, “tadi beli bawang merah ini berapa, daging sapi ini beli 1 pound, ya?” Atau “kenapa beli susu yang mahal?”

Jawaban saya untuk semua pertanyaan itu bisa ditebak, “tidak tahu”. Atas nama variasi saya sih sering ganti dengan “lupa” atau “tadi struk belanjanya jatuh”. Saya memang bukan pembelanja yang baik. Jarang sekali saya bisa menghapal—baik di dalam maupun di luar kepala—soal harga barang yang sudah (dan akan) dibeli. Ia memang sangat detail untuk urusan satu ini. selain mencatat setiap pengeluaran, ia pun membuat daftar prioritas belanja. Satu sisi ini tentu tak sejalan dengan jiwa merdeka saya yang sejak lama tak terkekang. Namun sisi lainnya kok berkilah bahwa tak ada yang terkekang. Justru saya yang boros ini jadi terbantu untuk lebih well planned. “Biar nanti bisa beli mobil sport”, hiburnya.

Mobil sport? Ha…ha…ha... Menabung seabad pun rasanya tak kesampaian. Ini memang lelucon khas dengan banyak kawan saat mengajukan beberapa lamaran kerja setelah kuliah dulu. Carilah kerja yang gajinya bisa buat beli mobil sport, begitu motto hidup pencari kerja yang tak tahu diri. Kalo PNS, mau nabung berapa keturunan? (tak ada opsi untuk korupsi, ya..).

Bukan mobil sport itu benar yang membuat saya jadi ingin hapal dan ingat harga barang-barang belanjaan saya. Cuma penasaran aja, bawang merah tadi belinya berapa ya, kok bisa lupa.