Kisah di atas kubaca di harian The Jakarta Post (16/02). Sungguh, negeri ini memang menyediakan banyak ironi. Apa yang dihadapi Tuginem, hanya satu contoh kecil tentang ironi yang terlanggengkan. Ya, ia menjadi ironi jika melihat bagaimana negeri ini memberi kemudahan dan fasilitas yang melimpah kepada mereka yang pernah merampok dan menjarah uang rakyat. Hebatnya lagi, mereka kemudian bisa masuk istana dengan bebas, laiknya seorang pahlawan. Tak terbayang bagaimana Tuginem dan rakyat kecil lainnya harus berurusan dengan Paspanpres jika ingin sekedar bertemu dengan presiden
Mungkin pemimpin-pemimpin negeri ini kagum dan kemudian ingin meniru uncle Ronald Reagen, yang saat memimpin Amerika menjalankan program reagenomics. Reagen meyakini bahwa jika orang-orang kaya diberi kesempatan untuk mengelola negeri, maka kemakmuran bukanlah hal yang mustahil. Dengan kata lain, orang kaya harus diberi kesempatan untuk menambah kekayaan mereka agar si miskin seperti Tuginem tak perlu lagi antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan Rp. 300 ribu.
Baiklah, kita prihatin dengan nasib Tuginem. Menghayati nasib orang lain, itu bahasa lainnya, tetapi kekalkah ia? Compassion, perasaan ikut menghayati pedihnya nasib orang lain, bisa hanya sekedar hip. Sesuatu yang sejenak, begitu sejurus kemudian. Apalagi ketika ia hanya menjadi komoditas. Keibaan itu kemudian menjadi tak awet.
Tapi tak sedikit tentu yang tak sudi menjadi berita, mereka bekerja dalam diam dan miskin publikasi, seperti pohon yang tumbuh diam-diam tanpa pernah disadari ia sudah memberi buah yang ranum. Teringat akan Bob Geldof yang berucap, “it should be a shooting star—brilliant and beautiful for a second—and then live forever in your memory.”