kemarin mampir ke tempat kolega yang baru datang dari haji. sebagaimana jamaaah lainnya, cerita yang keluar tentu saja kekaguman dan takjub luar biasa dia terhadap mekkah, dalam konteks spiritual tentunya. bukan mekkah sebagai kota itu betul yang membuatnya takjub. bukan pula kemegahan karikatural masjidil haram yang menjadikan kagumnya membuncah. tapi pengalaman spiritualnya yang membuat ia seperti tak mau berhenti bercerita.
di mesjidil haram, tempat dimana segala tingkah dan laku kita (bahkan katanya niat pun) akan terbalaskan saat itu juga. ada seorang kawannya yang diajak ke mesjid untuk shalat namun berpura-pura sakit agar ia bisa istirahat di kamar. ketika mereka balik dari mesjid, kawan itu mereka dapati dalam keadaan sakit betulan. ada pula cerita tentang seorang istri yang mencela suaminya sendiri karena kelambanannya saat berjalan. tanpa disadari, giliran sang istri yang tak bisa berjalan. aneh juga...
lalu, di koran kita baca bahwa sebagian besar jamaah asal Indonesia kehilangan telpon genggam mereka saat berada di masjid haram. kenapa tuhan tidak langsung memotong tangan pencuri itu, ya.. tanyaku kepadanya. ia sebenarnya tak punya pembenaran secara rasio untuk menjawab, tapi karena masih terbawa dengan semangat spiritual sehabis menjalankan ibadah haji (mungkin), jawaban yang keluar dari mulutnya menunjukkan kekuasaan tuhan, begitu bahasa yang digunakannya. "Pasti ada juga balasannya, tapi konteks balasan tidak melulu harus dengan konteks kita setelah dipukul kemudian balas memukul."
pelajaran penting yang menurutnya banyak terulang dalam setiap hari ia di masjid itu adalah kesadaran untuk lebih berserah diri kepada tuhan dan tidak berkoalisi dengan nafsu duniawi semata. masih segar dalam ingatannya bagaimana ia harus kehilangan benda-benda bawaannya (meski dari nilai ekonomis mungkin tak seberapa). tapi dari kehilangan itu ia merasa bahwa tidak ada yang menjadi miliknya secara hakiki.
***
kawan, aku punya doa. semoga kita diberikan kekuatan untuk padu dalam kata dan laku.
Friday, February 18, 2005
Monday, February 14, 2005
30 Menit Bersama Mas A
Ini cerita tentang seorang sopir taksi. Setelah menginap di hotel untuk mengerjakan sebuah buletin tak ber-ISSN, yang terbit kemudian mati seiring kelarnya sebuah hajatan. Aku harus kembali ke kampus, memperlihatkan hasil layout kepada koordinator untuk dicek sebelum dicetak. Mengenai hotel ini, ada cerita sendiri. Kami sepakat untuk menyewa kamar di hotel karena malamnya aku harus mengikuti kursus dan atas dasar efektifitas dan efisiensi (ini senjata utama orang ekonomi) maka teman-teman bersepakat untuk menyewa hotel, tentunya yang dekat dengan tempat kursusku.
Hitungannya begini. Daripada aku harus mengambil waktu lumayan untuk perjalanan dari tempat kursus ke rumah, dan daripada kawan-kawan yang lain melewatkan waktu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti (kebetulan aku sendiri layouternya) maka pilihan untuk mengambil kamar adalah pilihan yang “dirasa” tidak keliru. Apalagi kami memang tidak punya sekretariat redaksi. Mengerjakan buletin di rumah, rasanya tidak enak dan tidak sreg, gitchu lho. Sementara di kampus, kami dibatasi oleh tukang kunci yang lebih sering meminta kami untuk pulang karena jam kantor yang sudah lewat.
Kami akhirnya mengambil sebuah kamar suite?, ini adalah jenis paling tinggi di hotel tersebut. Tapi jangan salah, kamar sweat ini harganya masih jauh dibawah harga kamar standar di hotel bintang empat. Meski demikian, kami tetap bangga dengan predikat kamar suite yang kami ambil. Itung-itung kalau ditanya bisa jawab jenis kamar tanpa perlu bilang nama hotelnya, bukan? Apalagi tepat di depan hotel ada kafe yang dulunya sering dijadikan tempat mangkal anak gaul dan berduit. Tapi malam itu tak seramai biasanya. Kini tidak ada lagi musik jazz atau lagu-lagu pop khas anak muda. Diganti dengan dangdut, itupun dengan iringan elekton yang suaranya pecah. Anak muda pun berganti dengan orang berumur yang dimabuk kenangan akan lagu-lagu Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih.
Kembali soal Mas Ali. Kebetulan saat itu hujan rintik-rintik dan aku tidak punya tempat memadai untuk berteduh. Sebenarnya aku enggan untuk menahan taksi ini, dari fisiknya aku rasa tak mampu ia membawaku dalam waktu singkat ke kampus. Padahal aku sudah janji dengan senat untuk tiba disana dalam 30 menit. Tapi dilain sisi, tak ada taksi lain yang lewat. Baiklah, mungkin ini rejeki sang sopir taksi dengan mobil ”ala kadar”nya itu.
Kubuka pintu dan menjelaskan kemana tujuanku, dengan harapan tak ada pembicaraan tambahan yang terjadi. Bukannya tak mau ngobrol, apalagi itu juga bukan kebiasaanku. Setiap naik taksi (kalau urusan mendadak, ya...) aku pasti menyempatkan berbicara dan ngobrol dengan sopirnya. Biasalah, tanya soal kehidupannya dan berharap ada pelajaran dari ceritanya. Tapi pagi itu aku betul-betul lelah, kelelahan yang sangat setelah begadang semalaman. Dan aku berfikir untuk memanfaatkan 30 menit perjalanan itu untuk tidur. Toh, tidur itu tidak dilihat dari lamanya, tapi kualitasnya, kan?
Harapan itu tidak menjadi kenyataan. Ketika kusebutkan tujuanku ke kampus, ia langsung menimpali bahwa ia punya keluarga di kampus itu juga. Pertama aku tak ingin menanggapi dan berharap dengan itu ia bisa diam dan paham bahwa aku sedang tidak ingin bicara. Tapi salah, ia malah melanjutkan ceritanya dengan menyebtu pula keluarganya yang lain yang alumni kampus dan sekarang telah berhasil duduk sebagai salah pimpinan di bank plat merah di kota ini.
”Wuih, pintar mentong itu keluargaku. Kalau saya datang ke rumahnya dulu cuma belajar terusji nakerja.” tak berhenti disini, sekarang tiba giliran dirinya yang ia tuturkan. Aku di belakang dengan wajah yang sengaja dipasang kecut coba tidak memberikan perhatian. Tapi ia malah berbalik dan memandangku seperti serius menyimak apa yang disampaikannya. Wah, mis-undertand juga dia rupanya. Soalnya ceritanya tidak berhenti malah merambat masuk ke wilayah pribadi dari dirinya. Aku yang jelas tidak bisa tenang untuk memejamkan mata, dengan terpaksa menyimak saja apa yang ia sampaikan. Berpikir positif aja, begitu hiburku dalam hati. Berfikir positif dalam artian bahwa tentu ada pengalaman berharganya yang dapat aku jadikan pelajaran, dan tentu saja belajar jadi pendengar yang baik.
Kisahnya ia tuturkan dalam intonasi yang naik turun. Ketika berbicara tentang sesuatu yang ia banggakan, nadanya bersemangat. Tapi ketika berbicara tentang kegagalan, salah satunya kegagalannya dalam membina rumah tangga, ia langsung menurunkan tempo dan intonasinya. Soal kegagalan rumah tangga, inilah tema yang paling lama dibahasnya. Ia menceritakan bagaimana ia harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya, meski saat itu ia sendiri telah memiliki pujaan hati sendiri. Namun karena tak ingin dikatakan sebagai anak durhaka maka ia pun menerima wanita itu. Pacarnya, ia merasa tak perlu memberikan penjelasan apa-apa. Toh, ia juga belum ”menanam benih” kepadanya. Istilah ”menanam benih” itu murni dari Mas A sendiri. Ah, sebuah anomali yang sempurna, pikirku. Mengenai namanya, dimana-mana sopir taksi memiliki identitas yang dapat memudahkan pembaca untuk membacanya. Jadi, bukan sesuatu yang hebat ketika langsung kutahu siapa namanya. Awalnya kupikir ia orang Jawa, tapi ternyata memang begitulah namanya. Mas itu bukan berarti gelar dalam bahasa Jawa. Ia berasal dari salah satu daerah yang memiliki pelabuhan yang dapat disinggahi kapal Pelni di daerah ini.
Malam pertama setelah pesta perkawinannya yang meriah (mungkin lengkap dengan iringan elekton dengan penyanyi yang berdandan seksi, ini imajinasiku belaka) sebagai pasangan yang sah secara hukum ia pun ”meminta” istrinya untuk berbagi kebahagiaan. Ia kaget, sebab istrinya malah memberinya penolakan. Penolakan ini berbuntut kesedihannya yang mendalam. Alasan istrinya adalah Mas A bukanlah lelaki tulen. Aku juga sempat mengira begitu. Dari suara dan gerak-geriknya yang terbatas (karena ia sedang menyetir, tentu tak bisa berjalan apalagi berlari, bukan?) aku pikirnya begitu. Tapi seperti ingin menjawab keraguan dalam hatiku, ia langsung menjawab bahwa sebenarnya itu hanyalah alasan dari ketidak-ihlasan sang wanita untuk dinikahkan dengannya. Ternyata, perempuan itu tak juga menerima kenyataan bahwa ia dijodohkan tidak dengan lelaki pujaan hatinya. Sempurnalah, menurutku.
Payahnya, di tengah upaya persuasif Mas A, sang istri menyusun rencana untuk cerai. Masih menurut Mas A, istrinya kemudian membuat cerita ketidak jantanannya itu menjadi tersebar, tidak saja dalam lingkungan keluarga tapi juga di sekitaran kampung mereka. Singkat cerita, tersebarlah cerita itu dan sang istri seperti mendapat pembenaran dari keinginannya untuk berpisah. Mas A tentu saja tidak tinggal diam. Ia pun kemudian mencari dukun dan meminta obat kuat untuk membuktikan bahwa tuduhan istri dan juga masyarakat di kampungnya tak benar. Di luar dugaannya, sang istri ternyata melakukan hal yang sama, mendatangi dukun dan paranormal. Tujuannya satu, bagaimana ia membentengi diri dari suaminya untuk disentuh. Dalam hati kupikir kejam juga wanita itu. Padahal ia kan sudah sah menjadi istri Mas A. Tapi aku tak menanyakan itu padanya, lebih baik mendengar saja pikirku.
Mas A pun kemudian putus asa. Apalagi kemudian ia tahu bahwa kekuatan dukun yang dipakai sang istri tak kuat dihadapi oleh dukunnya. Pertarungan pun melibatkan dua kekuatan gaib rupanya. Ia bukannya tidak pernah mencoba mencari dukun lainnya, tapi tetap saja ia tak mampu juga untuk menyetubuhi sang istri. Wah, payah juga Mas A kupikir. Ia sepertinya perlu konsultasi dengan Dedy Kobusyer atau Hari Panca, si plontos pembawa acara Dunia Lain itu. Kali aja saran dari mereka tentang dukun siapa yang harus ia datangi untuk mendapatkan kekuatan yang diinginkannya.
Akhir cerita, sang istri kemudian berhasil mendesak Mas A untuk melakukan perceraian. Dengan tingkat kesedihan yang tak dapat ia bayangkan, ia pun pergi dari kampungnya. Sang istri, tentu saja menanggapi ini dengan senang. Penilaian ini ia simpulkan sebab tak ada usaha dari sang istri untuk sekedar mengontak dan mencari tahu apa yang ia lakukan saat ini. Dari keluarga? Ah, ia sudah merasa ditinggalkan oleh mereka. Aib, begitu penilaian keluarga terhadapnya. Tragis betul nasibmu Mas A......
Di kota ini ia kemudian beradu nasib dengan menjadi sopir angkot, hingga menjadi sopir taksi seperti sekarang. Ia pun pernah mengecap bangku kuliah, meski tak dapat dituntaskannya. Bukan karena tak ada biaya, tapi karena kemampuan otaknya yang mulai menurun. ”Tidak bisami otakku belajar, mungkin karena banyak sekalimi masalahku,” begitu jawabnya ketika kutanya mengapa ia tak melanjutkan kuliahnya. Padahal setahuku, kampusnya juga terkenal dengan tingkah mahasiswa yang sebagian besar karyawan yang ingin mendapat gelar kemudian berani membeli nilai. Maksudku, kenapa ia tidak melakukan itu? ”Buat apa gelar kalau tidak ditauji ilmunya,” jawabannya kali ini sedikit membuatku tersadar. Adagium bahwa ”don’t judge a book by it’s cover” ternyata mendapatkan pembenarannya pada Mas A.
Pembicaraan akhirnya terhenti ketika taksi sudah memasuki kampus. Kuyakin ia pasti memiliki cerita-cerita lain yang lebih seru. Tapi waktu jua yang memisahkan kita (seperti presenter dan penyiar radio aja). Sambil membayar aku ucapkan terimkasih. Terimakasih atas cerita menariknya dan kebijakan yang diberikannya. Meski secara sadar tentu ia tidak bemaksud mengajariku. 30 menit tanpa tidur bersama Mas A, yang cukup berarti. Lain kali semoga kita ketemu lagi, tentu saja dengan kondisi yang lebih segar dan saya tidak selelah saat ini.
Hitungannya begini. Daripada aku harus mengambil waktu lumayan untuk perjalanan dari tempat kursus ke rumah, dan daripada kawan-kawan yang lain melewatkan waktu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti (kebetulan aku sendiri layouternya) maka pilihan untuk mengambil kamar adalah pilihan yang “dirasa” tidak keliru. Apalagi kami memang tidak punya sekretariat redaksi. Mengerjakan buletin di rumah, rasanya tidak enak dan tidak sreg, gitchu lho. Sementara di kampus, kami dibatasi oleh tukang kunci yang lebih sering meminta kami untuk pulang karena jam kantor yang sudah lewat.
Kami akhirnya mengambil sebuah kamar suite?, ini adalah jenis paling tinggi di hotel tersebut. Tapi jangan salah, kamar sweat ini harganya masih jauh dibawah harga kamar standar di hotel bintang empat. Meski demikian, kami tetap bangga dengan predikat kamar suite yang kami ambil. Itung-itung kalau ditanya bisa jawab jenis kamar tanpa perlu bilang nama hotelnya, bukan? Apalagi tepat di depan hotel ada kafe yang dulunya sering dijadikan tempat mangkal anak gaul dan berduit. Tapi malam itu tak seramai biasanya. Kini tidak ada lagi musik jazz atau lagu-lagu pop khas anak muda. Diganti dengan dangdut, itupun dengan iringan elekton yang suaranya pecah. Anak muda pun berganti dengan orang berumur yang dimabuk kenangan akan lagu-lagu Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih.
Kembali soal Mas Ali. Kebetulan saat itu hujan rintik-rintik dan aku tidak punya tempat memadai untuk berteduh. Sebenarnya aku enggan untuk menahan taksi ini, dari fisiknya aku rasa tak mampu ia membawaku dalam waktu singkat ke kampus. Padahal aku sudah janji dengan senat untuk tiba disana dalam 30 menit. Tapi dilain sisi, tak ada taksi lain yang lewat. Baiklah, mungkin ini rejeki sang sopir taksi dengan mobil ”ala kadar”nya itu.
Kubuka pintu dan menjelaskan kemana tujuanku, dengan harapan tak ada pembicaraan tambahan yang terjadi. Bukannya tak mau ngobrol, apalagi itu juga bukan kebiasaanku. Setiap naik taksi (kalau urusan mendadak, ya...) aku pasti menyempatkan berbicara dan ngobrol dengan sopirnya. Biasalah, tanya soal kehidupannya dan berharap ada pelajaran dari ceritanya. Tapi pagi itu aku betul-betul lelah, kelelahan yang sangat setelah begadang semalaman. Dan aku berfikir untuk memanfaatkan 30 menit perjalanan itu untuk tidur. Toh, tidur itu tidak dilihat dari lamanya, tapi kualitasnya, kan?
Harapan itu tidak menjadi kenyataan. Ketika kusebutkan tujuanku ke kampus, ia langsung menimpali bahwa ia punya keluarga di kampus itu juga. Pertama aku tak ingin menanggapi dan berharap dengan itu ia bisa diam dan paham bahwa aku sedang tidak ingin bicara. Tapi salah, ia malah melanjutkan ceritanya dengan menyebtu pula keluarganya yang lain yang alumni kampus dan sekarang telah berhasil duduk sebagai salah pimpinan di bank plat merah di kota ini.
”Wuih, pintar mentong itu keluargaku. Kalau saya datang ke rumahnya dulu cuma belajar terusji nakerja.” tak berhenti disini, sekarang tiba giliran dirinya yang ia tuturkan. Aku di belakang dengan wajah yang sengaja dipasang kecut coba tidak memberikan perhatian. Tapi ia malah berbalik dan memandangku seperti serius menyimak apa yang disampaikannya. Wah, mis-undertand juga dia rupanya. Soalnya ceritanya tidak berhenti malah merambat masuk ke wilayah pribadi dari dirinya. Aku yang jelas tidak bisa tenang untuk memejamkan mata, dengan terpaksa menyimak saja apa yang ia sampaikan. Berpikir positif aja, begitu hiburku dalam hati. Berfikir positif dalam artian bahwa tentu ada pengalaman berharganya yang dapat aku jadikan pelajaran, dan tentu saja belajar jadi pendengar yang baik.
Kisahnya ia tuturkan dalam intonasi yang naik turun. Ketika berbicara tentang sesuatu yang ia banggakan, nadanya bersemangat. Tapi ketika berbicara tentang kegagalan, salah satunya kegagalannya dalam membina rumah tangga, ia langsung menurunkan tempo dan intonasinya. Soal kegagalan rumah tangga, inilah tema yang paling lama dibahasnya. Ia menceritakan bagaimana ia harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya, meski saat itu ia sendiri telah memiliki pujaan hati sendiri. Namun karena tak ingin dikatakan sebagai anak durhaka maka ia pun menerima wanita itu. Pacarnya, ia merasa tak perlu memberikan penjelasan apa-apa. Toh, ia juga belum ”menanam benih” kepadanya. Istilah ”menanam benih” itu murni dari Mas A sendiri. Ah, sebuah anomali yang sempurna, pikirku. Mengenai namanya, dimana-mana sopir taksi memiliki identitas yang dapat memudahkan pembaca untuk membacanya. Jadi, bukan sesuatu yang hebat ketika langsung kutahu siapa namanya. Awalnya kupikir ia orang Jawa, tapi ternyata memang begitulah namanya. Mas itu bukan berarti gelar dalam bahasa Jawa. Ia berasal dari salah satu daerah yang memiliki pelabuhan yang dapat disinggahi kapal Pelni di daerah ini.
Malam pertama setelah pesta perkawinannya yang meriah (mungkin lengkap dengan iringan elekton dengan penyanyi yang berdandan seksi, ini imajinasiku belaka) sebagai pasangan yang sah secara hukum ia pun ”meminta” istrinya untuk berbagi kebahagiaan. Ia kaget, sebab istrinya malah memberinya penolakan. Penolakan ini berbuntut kesedihannya yang mendalam. Alasan istrinya adalah Mas A bukanlah lelaki tulen. Aku juga sempat mengira begitu. Dari suara dan gerak-geriknya yang terbatas (karena ia sedang menyetir, tentu tak bisa berjalan apalagi berlari, bukan?) aku pikirnya begitu. Tapi seperti ingin menjawab keraguan dalam hatiku, ia langsung menjawab bahwa sebenarnya itu hanyalah alasan dari ketidak-ihlasan sang wanita untuk dinikahkan dengannya. Ternyata, perempuan itu tak juga menerima kenyataan bahwa ia dijodohkan tidak dengan lelaki pujaan hatinya. Sempurnalah, menurutku.
Payahnya, di tengah upaya persuasif Mas A, sang istri menyusun rencana untuk cerai. Masih menurut Mas A, istrinya kemudian membuat cerita ketidak jantanannya itu menjadi tersebar, tidak saja dalam lingkungan keluarga tapi juga di sekitaran kampung mereka. Singkat cerita, tersebarlah cerita itu dan sang istri seperti mendapat pembenaran dari keinginannya untuk berpisah. Mas A tentu saja tidak tinggal diam. Ia pun kemudian mencari dukun dan meminta obat kuat untuk membuktikan bahwa tuduhan istri dan juga masyarakat di kampungnya tak benar. Di luar dugaannya, sang istri ternyata melakukan hal yang sama, mendatangi dukun dan paranormal. Tujuannya satu, bagaimana ia membentengi diri dari suaminya untuk disentuh. Dalam hati kupikir kejam juga wanita itu. Padahal ia kan sudah sah menjadi istri Mas A. Tapi aku tak menanyakan itu padanya, lebih baik mendengar saja pikirku.
Mas A pun kemudian putus asa. Apalagi kemudian ia tahu bahwa kekuatan dukun yang dipakai sang istri tak kuat dihadapi oleh dukunnya. Pertarungan pun melibatkan dua kekuatan gaib rupanya. Ia bukannya tidak pernah mencoba mencari dukun lainnya, tapi tetap saja ia tak mampu juga untuk menyetubuhi sang istri. Wah, payah juga Mas A kupikir. Ia sepertinya perlu konsultasi dengan Dedy Kobusyer atau Hari Panca, si plontos pembawa acara Dunia Lain itu. Kali aja saran dari mereka tentang dukun siapa yang harus ia datangi untuk mendapatkan kekuatan yang diinginkannya.
Akhir cerita, sang istri kemudian berhasil mendesak Mas A untuk melakukan perceraian. Dengan tingkat kesedihan yang tak dapat ia bayangkan, ia pun pergi dari kampungnya. Sang istri, tentu saja menanggapi ini dengan senang. Penilaian ini ia simpulkan sebab tak ada usaha dari sang istri untuk sekedar mengontak dan mencari tahu apa yang ia lakukan saat ini. Dari keluarga? Ah, ia sudah merasa ditinggalkan oleh mereka. Aib, begitu penilaian keluarga terhadapnya. Tragis betul nasibmu Mas A......
Di kota ini ia kemudian beradu nasib dengan menjadi sopir angkot, hingga menjadi sopir taksi seperti sekarang. Ia pun pernah mengecap bangku kuliah, meski tak dapat dituntaskannya. Bukan karena tak ada biaya, tapi karena kemampuan otaknya yang mulai menurun. ”Tidak bisami otakku belajar, mungkin karena banyak sekalimi masalahku,” begitu jawabnya ketika kutanya mengapa ia tak melanjutkan kuliahnya. Padahal setahuku, kampusnya juga terkenal dengan tingkah mahasiswa yang sebagian besar karyawan yang ingin mendapat gelar kemudian berani membeli nilai. Maksudku, kenapa ia tidak melakukan itu? ”Buat apa gelar kalau tidak ditauji ilmunya,” jawabannya kali ini sedikit membuatku tersadar. Adagium bahwa ”don’t judge a book by it’s cover” ternyata mendapatkan pembenarannya pada Mas A.
Pembicaraan akhirnya terhenti ketika taksi sudah memasuki kampus. Kuyakin ia pasti memiliki cerita-cerita lain yang lebih seru. Tapi waktu jua yang memisahkan kita (seperti presenter dan penyiar radio aja). Sambil membayar aku ucapkan terimkasih. Terimakasih atas cerita menariknya dan kebijakan yang diberikannya. Meski secara sadar tentu ia tidak bemaksud mengajariku. 30 menit tanpa tidur bersama Mas A, yang cukup berarti. Lain kali semoga kita ketemu lagi, tentu saja dengan kondisi yang lebih segar dan saya tidak selelah saat ini.
Thursday, February 10, 2005
Hijrahlah
Selamat Tahun Baru Hijriah, 1426.
Semoga ini menjadi momentum untuk kita berhijrah...dengan semangat Muhammad.
Semoga ini menjadi momentum untuk kita berhijrah...dengan semangat Muhammad.
Perlawanan terhadap Nirmanusiawi
Judul Buku: Tragedi Minamata
Penulis: Masazumi Harada
Penerjemah: Ihsan Nasir, dkk.
Penerbit: Media Kajian Sulawesi, Januari 2005
Tebal: 332 halaman
Sebuah laporan penelitian yang menyingkap kasus pencemaran di Minamata, Jepang. Bacaan bagus untuk para dokter yang melihat profesinya sebagai mata pencaharian belaka.
Bermula pada 21 April 1956, seorang bocah perempuan 5 tahun diantar orangtuanya ke klinik kesehatan khusus anak. Bocah itu mengeluhkan sejumlah rasa sakit yang dirasa di kepalanya. Sekitar seminggu kemudian, giliran adiknya yang masih berusia kurang dari 3 tahun mengeluhkan rasa yang sama.
Dokter saat itu angkat tangan dan lebih memilih merekomendasikan kedua pasien mungilnya itu ke Minamata Health Center. Sejak itu, penyakit Minamata disadari kalangan luas yang ditandai banyak pasien dengan gejala yang relatif sama yang bermunculan. Itulah awal dari munculnya penyakit Minamata.
Pada 28 Mei 1956, ”Komite untuk Penyakit Aneh” dibentuk sebagai respon perjangkitan massal ini. Mereka mulai menyelidiki penyakit itu. Tidak perlu waktu lama karena pada November 1956 kelompok itu berhasil mendeteksi bentuk keracunan logam berat yang berasal dari konsumsi ikan dan kerang. Sebelumnya mereka mendapatkan kondisi tanah dan air masih dalam status normal, sedangkan banyak ikan yang mati.
Tetapi, baru pada Juli 1959, dipastikan sumber racun itu adalah merkuri atau air raksa/Hg, (halaman 87). Setahun kemudian menjadi lebih jelas bahwa sejumlah pasien menderita kelumpuhan saraf otak. Mereka berasal dari lokasi yang sama dengan kemunculan penyakit Minamata. Lebih parah lagi, para pasien itu juga diketahui satu generasi.
Membaca buku ini kita seperti diajak mengikuti napak tilas sang penulis dalam menjalankan aktivitas penelitiannya mengenai penyakit Minamata. Keikutsertaannya dalam penelitian, sebagaimana ia paparkan dalam pendahuluan, dimulai ketika ia menyaksikan tayangan di televisi mengenai korban penyakit aneh dalam acara ”The True Face of Japan.”
Yang menarik, penelitian ini berawal dari keinginan besar masyarakat untuk mengetahui apa yang menimpa mereka. Ia pun mengisahkan bagaimana masyarakat Minamata sendiri sebagai korban pencemaran, melakukan aksi swadaya untuk membiayai kedatangan peneliti dan dokter untuk memeriksa kondisi mereka.
Sebagaimana lazimnya dalam kasus-kasus pencemaran, pertentangan kepentingan juga mewarnai perjalanan kasus ini. Perusahaan, dalam hal ini Chisso, tentu saja melakukan berbagai macam manuver untuk menghindari kerugian besar dari akibat kasus yang dituduhkan kepada mereka. Salah satunya adalah dengan memaksa Lembaga Solidaritas Keluarga dan Pasien untuk menyelesaikan sengketa. Perjanjian berat sebelah ini semakin mengukuhkan kekuatan modal di atas kepentingan masyarakat kecil.
Apa yang dituliskan Harada dalam bukunya ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, tentu saja jika kita lihat dari perspektif pertentangan kepentingan. Dengan demikian, kita dapat melihat semakin hari sains dan teknologi makin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar. Bukti paling nyata adalah riset-riset yang dihasilkan lebih bersifat market driven ketimbang academic driven.
Karenanya perlu perlawanan terhadap nirmanusia, yakni ambruknya manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang dirancang oleh teknologi maju. Kita perlu menentang dengan keras segala solusi yang nirmanusiawi yang didukung oleh kekuatan-kekuatan "tekno-sains", yakni teknologi plus sains, plus kapitalisme lanjut, dan korporasi-korporasi multinasional.
Inilah awal tragedi seperti Minamata, Bhopal, Chernobyl, atau kasus Buyat yang baru-baru ini merebak. Fenomena ini perlu dicermati karena kekuatan investasi telah berhasil mendiktekan munculnya regulasi semacam UU Penambangan di Kawasan Hutan Lindung (di Sulawesi Selatan sendiri melibatkan PT INCO) yang ujung-ujungnya akan sangat memarjinalkan kualitas ekologis kita.
Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan etika manusiawi agar penyesalan sebagaimana yang telah lama diperingatkan oleh Einstein menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, dan bukannya bencana.
Harada, melalui bukunya ini membagikan pengalamannya itu kepada kita. Bagaimana ia dan beberapa dokter menafikkan profesi kedokteran sebagai profesi mata pencaharian belaka. Bagaimana pula Dr. Hosokawa yang mundur dari jabatannya sebagai kepala rumah sakit perusahaan Chesso untuk kemudian bersama-sama dengan dokter dan peneliti lainnya mencari sebab dan pencegah dari penyakit Minamata ini. Sebuah sikap yang sangat menghargai hakikat profesi mulia seorang dokter.
Inilah yang rasanya menjadi point utama dari buku Harada. Ia mempertanyakan ”kemampuan” dan makna dari ilmu kedokteran dalam kaitannya dengan penyakit Minamata, sebagaimana yang dituliskannya dalam catatan akhir. Pertanyaan itulah yang kemudian ia jawab dengan penelitiannya dan menuangkannya dalam buku, sambil berharap bahwa kita, khususnya ahli medis, mampu mengambil pelajaran darinya.
Sayangnya, buku ini lebih banyak terfokus pada isu-isu medis, meski dari latar belakang profesinya bisa kita pahami. Selain itu, buku ini menyisakan celah yang mengganggu. Penomoran halaman pada daftar isi lebih banyak yang tak sesuai dengan isi buku.
Meski demikian, catatan-catatan tersebut tak membuat buku ini menjadi tidak berarti. Buku ini adalah bahan yang bagus untuk kita, terutama pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah, LSM, organisasi masyarakat, pers dan peneliti serta ahli medis. Sebab seperti diperingatkan oleh Harada, penyakit Minamata belumlah usai.
Penulis: Masazumi Harada
Penerjemah: Ihsan Nasir, dkk.
Penerbit: Media Kajian Sulawesi, Januari 2005
Tebal: 332 halaman
Sebuah laporan penelitian yang menyingkap kasus pencemaran di Minamata, Jepang. Bacaan bagus untuk para dokter yang melihat profesinya sebagai mata pencaharian belaka.
Bermula pada 21 April 1956, seorang bocah perempuan 5 tahun diantar orangtuanya ke klinik kesehatan khusus anak. Bocah itu mengeluhkan sejumlah rasa sakit yang dirasa di kepalanya. Sekitar seminggu kemudian, giliran adiknya yang masih berusia kurang dari 3 tahun mengeluhkan rasa yang sama.
Dokter saat itu angkat tangan dan lebih memilih merekomendasikan kedua pasien mungilnya itu ke Minamata Health Center. Sejak itu, penyakit Minamata disadari kalangan luas yang ditandai banyak pasien dengan gejala yang relatif sama yang bermunculan. Itulah awal dari munculnya penyakit Minamata.
Pada 28 Mei 1956, ”Komite untuk Penyakit Aneh” dibentuk sebagai respon perjangkitan massal ini. Mereka mulai menyelidiki penyakit itu. Tidak perlu waktu lama karena pada November 1956 kelompok itu berhasil mendeteksi bentuk keracunan logam berat yang berasal dari konsumsi ikan dan kerang. Sebelumnya mereka mendapatkan kondisi tanah dan air masih dalam status normal, sedangkan banyak ikan yang mati.
Tetapi, baru pada Juli 1959, dipastikan sumber racun itu adalah merkuri atau air raksa/Hg, (halaman 87). Setahun kemudian menjadi lebih jelas bahwa sejumlah pasien menderita kelumpuhan saraf otak. Mereka berasal dari lokasi yang sama dengan kemunculan penyakit Minamata. Lebih parah lagi, para pasien itu juga diketahui satu generasi.
Membaca buku ini kita seperti diajak mengikuti napak tilas sang penulis dalam menjalankan aktivitas penelitiannya mengenai penyakit Minamata. Keikutsertaannya dalam penelitian, sebagaimana ia paparkan dalam pendahuluan, dimulai ketika ia menyaksikan tayangan di televisi mengenai korban penyakit aneh dalam acara ”The True Face of Japan.”
Yang menarik, penelitian ini berawal dari keinginan besar masyarakat untuk mengetahui apa yang menimpa mereka. Ia pun mengisahkan bagaimana masyarakat Minamata sendiri sebagai korban pencemaran, melakukan aksi swadaya untuk membiayai kedatangan peneliti dan dokter untuk memeriksa kondisi mereka.
Sebagaimana lazimnya dalam kasus-kasus pencemaran, pertentangan kepentingan juga mewarnai perjalanan kasus ini. Perusahaan, dalam hal ini Chisso, tentu saja melakukan berbagai macam manuver untuk menghindari kerugian besar dari akibat kasus yang dituduhkan kepada mereka. Salah satunya adalah dengan memaksa Lembaga Solidaritas Keluarga dan Pasien untuk menyelesaikan sengketa. Perjanjian berat sebelah ini semakin mengukuhkan kekuatan modal di atas kepentingan masyarakat kecil.
Apa yang dituliskan Harada dalam bukunya ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, tentu saja jika kita lihat dari perspektif pertentangan kepentingan. Dengan demikian, kita dapat melihat semakin hari sains dan teknologi makin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar. Bukti paling nyata adalah riset-riset yang dihasilkan lebih bersifat market driven ketimbang academic driven.
Karenanya perlu perlawanan terhadap nirmanusia, yakni ambruknya manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang dirancang oleh teknologi maju. Kita perlu menentang dengan keras segala solusi yang nirmanusiawi yang didukung oleh kekuatan-kekuatan "tekno-sains", yakni teknologi plus sains, plus kapitalisme lanjut, dan korporasi-korporasi multinasional.
Inilah awal tragedi seperti Minamata, Bhopal, Chernobyl, atau kasus Buyat yang baru-baru ini merebak. Fenomena ini perlu dicermati karena kekuatan investasi telah berhasil mendiktekan munculnya regulasi semacam UU Penambangan di Kawasan Hutan Lindung (di Sulawesi Selatan sendiri melibatkan PT INCO) yang ujung-ujungnya akan sangat memarjinalkan kualitas ekologis kita.
Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan etika manusiawi agar penyesalan sebagaimana yang telah lama diperingatkan oleh Einstein menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, dan bukannya bencana.
Harada, melalui bukunya ini membagikan pengalamannya itu kepada kita. Bagaimana ia dan beberapa dokter menafikkan profesi kedokteran sebagai profesi mata pencaharian belaka. Bagaimana pula Dr. Hosokawa yang mundur dari jabatannya sebagai kepala rumah sakit perusahaan Chesso untuk kemudian bersama-sama dengan dokter dan peneliti lainnya mencari sebab dan pencegah dari penyakit Minamata ini. Sebuah sikap yang sangat menghargai hakikat profesi mulia seorang dokter.
Inilah yang rasanya menjadi point utama dari buku Harada. Ia mempertanyakan ”kemampuan” dan makna dari ilmu kedokteran dalam kaitannya dengan penyakit Minamata, sebagaimana yang dituliskannya dalam catatan akhir. Pertanyaan itulah yang kemudian ia jawab dengan penelitiannya dan menuangkannya dalam buku, sambil berharap bahwa kita, khususnya ahli medis, mampu mengambil pelajaran darinya.
Sayangnya, buku ini lebih banyak terfokus pada isu-isu medis, meski dari latar belakang profesinya bisa kita pahami. Selain itu, buku ini menyisakan celah yang mengganggu. Penomoran halaman pada daftar isi lebih banyak yang tak sesuai dengan isi buku.
Meski demikian, catatan-catatan tersebut tak membuat buku ini menjadi tidak berarti. Buku ini adalah bahan yang bagus untuk kita, terutama pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah, LSM, organisasi masyarakat, pers dan peneliti serta ahli medis. Sebab seperti diperingatkan oleh Harada, penyakit Minamata belumlah usai.
Friday, February 04, 2005
Hey, kok Tiba-tiba...
Hasrat paling primitif dari manusian adalah kekuasaan, begitu kata Ibnu Khaldun. Betul juga, makin dekat dengan hari pemilihan makin "lucu dan Unik" saja tingkah para kandidat. Ada yang dulu tidak pernah senyum dan berbicara sekarang malah paling sering mengajak bicara dan bertanya soal kebutuhan dan keinginan saya. Ada pula yang sok menjadi ksatria baja hitam dengan berjanji akan memperjuangkan agar saya memperoleh apa yang menjadi hak saya.
Lain kesempatan, ada yang tiba-tiba ramah mengajak makan siang. Yah, namanya undangan sebaiknya dihadiri, kan? Itung-itung menghilangkan satu kekhawatiranku selama ini, makan siang. persoalan saya pilih siapa, it's not your business. Ada pula yang dengan keramahan dibuat-buat mengatakan diriku ini hebat, dan menurutnya ia memiliki kontribusi terhadap pengembangan karier saya. Apa-apaan nih...
Begitulah, watak berkuasa selalu membuat kita jadi seperti melihat topeng. Tak kusangkal potensi itu ada juga dalam diri ini. Tapi sambil berbuat, kuselip selalu doa agar tak tergantung dan tak berutang budi dengan orang lain. Hal penting lainnya, tetap on the track, tentu saja harus ada yang selalu mengingatkan dan mengawal. Sebagai kawan, maukah kau sering-sering mengingatkanku?
Lain kesempatan, ada yang tiba-tiba ramah mengajak makan siang. Yah, namanya undangan sebaiknya dihadiri, kan? Itung-itung menghilangkan satu kekhawatiranku selama ini, makan siang. persoalan saya pilih siapa, it's not your business. Ada pula yang dengan keramahan dibuat-buat mengatakan diriku ini hebat, dan menurutnya ia memiliki kontribusi terhadap pengembangan karier saya. Apa-apaan nih...
Begitulah, watak berkuasa selalu membuat kita jadi seperti melihat topeng. Tak kusangkal potensi itu ada juga dalam diri ini. Tapi sambil berbuat, kuselip selalu doa agar tak tergantung dan tak berutang budi dengan orang lain. Hal penting lainnya, tetap on the track, tentu saja harus ada yang selalu mengingatkan dan mengawal. Sebagai kawan, maukah kau sering-sering mengingatkanku?
Subscribe to:
Posts (Atom)