Saat peluncuran majalan Fortune edisi Indonesia, Wapres Boediono kembali mengangkat isu etika bisnis, khususnya mengenai pengusaha yang merangkap sebagai penguasa, (KOMPAS, 28/07). Isu ini diangkat untuk menguatkan pentingnya etika bisnis. Belum lagi saat ini makin banyak pengusaha yang menjadi sorotan karena memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan bisnis mereka. Isu yang sama sebenarnya telah pula dimunculkan saat mantan menteri keuangan Sri Mulyani menyampaikan beberapa pendapatnya. Pendapat ini disampaikannya dalam beberapa acara perpisahan sebelum ia pindah ke Amerika menyangkut pengalamannya saat menjadi menteri keuangan. Ia kemudian menyindir bahwa kepentingan bisnis beberapa kelompok begitu mempengaruhi keputusan politik yang ada di negeri ini.
Sri Mulyani menyebutnya sebagai ‘perkawinan’ kepentingan ketimbang melihatnya sebagai politik kartel sebagaimana banyak disebutkan oleh pengamat. Meskipun kita tahu, keduanya menyiratkan makna yang serupa.
Kita kembali teringat dengan penggunaan kata ‘saudagar’ oleh Akbar Tandjung pada tahun 2008. Saat itu, marak terjadi pengusaha yang turun gelanggang politik untuk menjadi kepala daerah atau anggota dewan. Banyak yang menyebut bahwa gejala ini sebagai akibat perubahan landscape politik Indonesia. Saat rezim Soeharto, praktis hanya satu sumber yang harus didekati. Namun ketika reformasi bergulir, kepentingan bisnis menjadi kian bergantung kepada banyak politisi.
Secara natural, sebuah perusahaan baik itu multinasional maupun perusahaan lokal, pastilah memiliki apa yang disebut non-market strategy (NMS). NMS ini merupakan strategi di luar strategi pasar. Strategi pasar itu sendiri secara sederhana bisa diartikan sebagai strategi perusahaan yang berkaitan dengan harga, kualitas produk/jasa dan hal-hal teknis-pasar lainnya.
Sedangkan NMS lebih menyentuh aspek non-teknis. Dalam konteks global, NMS bisa dilihat dari dua pendekatan. Pertama, adalah strategy politik korporasi (corporate political strategy), dimana perusahaan berusaha ‘terlibat’ dalam setiap proses politik yang berkaitan dengan kepentingannya. Kedua, adalah strategi social perusahaan (corporate social strategy), dimana perusahan melakukan strategi berderma.
Keterlibatan pengusaha dalam politik melalui NMS seperti membetulkan ungkapan khas politisi di Washington. “In politics, if you are not at the table, you are on the menu!” begitu ungkapan yang khas itu.
Mungkin inilah salah satu alasan keterlibatan pengusaha dalam politik. Ketimbang menjadi menu, mereka memilih menjadi penikmat sajian. Para pengusaha, yang secara de facto memiliki kekuasaan dalam kehidupan sosial, berusaha untuk mendapatkan insentif ekonomi dengan memiliki kekuatan politik secara de jure.
Studi Bunkanwanicha dan Wiwattanakantang (2008) di Thailand juga menunjukkan bahwa nilai ekonomis perusahaan (market valuation) yang dimiliki oleh pengusaha yang juga penguasa menjadi meningkat secara signifikan. Studi ini juga menemukan bahwa keterlibatan pengusaha dalam politik membuat perusahaan mereka memiliki kekuatan lebih untuk mendominasi.
Kondisi seperti ini bukanlah sesuatu yang baru. Di Negara-negara lain, kita dapat menemukan pemilik bisnis yang terjun dalam dunia politik. Tung Chee Hwa di Hong Kong, Thaksin Shinawatra di Thailand, Ferenc Gyurcsany di Hungary, Silvio Berlusconi di Italy, dan Paul Martin di Canada.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa keterlibatan para pengusaha dalam politik tidaklah steril dari masalah. Thaksin menghadapi kenyataan pahit menjadi pesakitan di negerinya sendiri, dan Berlusconi terus digoyang dengan skandal pajak dan monopoli.
Mengangkat kembali isu ini kemudian menjadi relevan jika kita melihat penanganan kasus Lumpur Lapindo yang sampai hari ini belum juga tuntas. Kasus laporan keuangan enam perusahaan Grup Bakrie yang baru-baru ini muncul juga menjadi penanda pentingnya penegakan etika bisnis.
Ke depan, untuk meminimalisir konflik kepentingan yang mungkin timbul, perlu dibuat aturan yang jelas dan detail. Aturan ini tentu saja harus diikuti dengan penegakan hukum yang serius. Hal lain yang perlu dilakukan adalah membangun koalisi strategis antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiganya harus berhubungan dalam koridor yang harmonis, sehat, transparan, dan akuntabel. Intinya, prinsip keadilan untuk semua. Dalam hal ini penikmat dari semua kebijakan bukan hanya pengusaha, tetapi juga seluruh komponen bangsa.
Ketiga, kalangan pengusaha (swasta) perlu dilihat secara proporsional. Pendekatan yang tepat akan menjadikan swasta menjadi satu moda pertumbuhan yang sehat dan memiliki daya tahan dan fleksibilitas sistem yang tinggi. Keuntungan lainnya, kondisi harmonis dan pengusaha yang kuat akan melahirkan pasar yang sehat. Pasar yang sehat penting untuk membuka peluang bagi munculnya pelaku usaha baru, dan juga memelihara pelaku-pelaku lama menjadi pelaku-pelaku kemajuan.
Masyarakat pun diminta untuk terus mengkritisi kebijakan yang lahir demi kepentingan golongan tertentu. Kebijakan untuk memberi fasilitas dan kemudahan kepada kelompok tertentu telah terbukti membuat bangsa ini makin jauh dari kemajuan. Dan yang terpenting, kebijakan seperti ini tentulah sangat mengusik rasa keadilan.
Hal ini tidak berarti kemudian kita menaruh curiga berlebihan pada mereka yang pengusaha dan penguasa sekaligus. Apalagi disadari memang bahwa kehadiran pengusaha dalam politik diharapkan mampu membawa efisiensi ekonomis, sebuah kemampuan yang pasti diterapkan dalam menjalankan usahanya. Semangat kewirausahaan pun dapat ditularkan dari mereka. Semangat ini penting di tengah kaku dan tidak kreatifnya para birokrat yang kita miliki saat ini.
Namun demikian, kita pun dibuat belajar dari pengalaman bahwa kekuatan yang sangat terkonsentrasi bisa lahir dari perpaduan pengusaha dan penguasa sekaligus. Keputusan politik dan bisnis terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil, yang tentu saja berdampak negatif bagi kemajuan bangsa.
Kita butuh pengusaha yang tidak manja dan hanya bergantung pada fasilitas-fasilitas pemerintah. Demikian pula, kita butuh penguasa yang bekerja untuk semua, bukan hanya untuk kepentingan golongan, apalagi untuk kepentingan bisnisnya semata.