Kalau banyak yang menyerukan peninjauan ulang terhadap Ujian Nasional (UN), maka saya setuju dengan mereka.
Pengalaman selama mengawas UN di salah satu sekolah di Luwu Timur ini makin menegaskan pendapat itu. Sebagai bagian dari upaya untuk menjadikan hasil UN sebagai bagian dari penilaian jika siswa ingin melanjutkan pendidikan ke universitas, maka pihak universitas dilibatkan dalam pelaksanaan UN kali ini. Satu tim dari universitas yang terdiri dari dua orang, terlibat dalam pelaksanaan UN di sekolah. Tugas kami sebenarnya sederhana, sekedar memastikan pelaksanaan UN berjalan lancar dan tindakan-tindakan tidak terpuji dapat dikikis seminimal mungkin. Begitu kutipan pidato saat pelepasan di kampus dan juga harapan dinas pendidikan saat penymabutan.
Hari pertama semuanya berjalan biasa-biasa saja. Bersama pengawas lain, kami sepakat ini adalah “bonus” sambil melihat-lihat kondisi yang ada dan juga bagian dari pengenalan medan. Bonus karena kami tak melakukan pengawasan keliling di ruang-ruang kelas dan sekedar menghabiskan waktu di ruang guru dan kepala sekolah. Bonus ini juga berangkat dari upaya “berbaik sangka”, bahwa semuanya akan berjalan normal dan biasa-biasa saja.
Saat hari kedua berlangsung, kami kemudian melakukan inspeksi mendadak keliling ruangan kelas. Tentu, ini atas seizin dan sepengetahuan kepala sekolah sebagai ketua pelaksana tingkat satuan pendidikan. Tindakan ini kami ambil saat melihat pelaksanaan hari pertama yang berjalan “tidak semestinya”, paling tidak jika aturan dan standar operasional dari Diknas yang menjadi acuan.
Pengawasan yang longgar, teramat longgar, bahkan. Bayangkan siswa berjalan hilir mudik berbagi jawaban di dalam kelas. Sementara pengawas ruangan asyik begosip ria di pojok kelas, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Di ruangan lain, kami temukan beberapa handphone, yang berisi kunci jawaban. Parahnya, dari salah satu hp yang kami periksa, terdapat sms yang berasal dari salah satu guru di sekolah itu.
Pelanggaran lain bukannya tidak ada. Terlalu banyak jika mau dituliskan di sini.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah UN telah melembagakan praktik kecurangan di sekolah. Sekolah sebagai tempat mencari ilmu dan berkreasi, serta menjadi wadah menemukan karakter diri, berubah menjadi tempat penuh dusta.
Jika dirunut ke belakang, tentu siswa, guru dan sekolah tak bisa disalahkan begitu saja. Tepatnya, mereka hanyalah korban dari elite yang berniat meninggikan status pendidikan di negeri ini dengan cara-cara yang keliru.
Tes ujian masuk perguruan tinggi tentu tak sama dengan UN. Ada perbedaan mendasar diantara keduany. Yang pertama lebih fokus pada proyeksi kemampuan calon mahasiswa untuk menjalani pendidikan di perguruan tinggi sementara yang kedua lebih fokus pada pengukuran keberhasilan siswa dalam menyerap materi yang telah diberikan.
Belum lagi kegenitan aparatur negara dan daerah yang melihat prestasi sebagai sebuah barometer kebanggaan. Tak heran dalam pertemuan dengan bupati dan kepala sekolah, para kepala sekolah diancam akan dimutasikan jika tingkat kelulusan siswa di sekolah mereka “mengecewakan”. Akibatnya, kerja mereka membuat sekolah tak lebih serupa bimbingan belajar. Targetnya sederhana, bagaimana murid mampu menjawab soal-soal dalam ujian nasional. Soal bagaimana mereka mendapatkan jawaban, itu soal lain. Ini ditambah lagi dengan kerjasama sekolah dengan bimbingan belajar, khususnya menjelang akhir tahun pelajaran. Parahnya, perhatian terhadap mata pelajaran yang tidak diujikan di UN menjadi minim dan sekedarnya sahaja.
Melibatkan dosen dan juga polisi dalam pengawasan ujian ini juga menjadi perhatian serius. Kehadiran “orang-orang kota”, begitu beberapa guru memanggil kami, dan juga korps cokelat membuat UN serupa hajatan besar yang sungguh penting luar biasa. Seorang guru dengan bercanda bahkan mengatakan kehadiran polisi dan dosen membuat mereka merasa tak dipercaya oleh Negara.
So, pelaksanaan UN harusnya ditinjau ulang. Biarkan sekolah dan guru yang menjadi penentu dari keberhasilan siswa. Sebab mereka tentu yang lebih tahu kondisi dan kapasitas siswa. Orang-orang kota perlulah dilibatkan, tapi tak lebih pada upaya peningkatan kapasitas guru dan mendekatkan mereka dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ketimbang membuang duit milyaran rupiah, ada baiknya peningkatan mutu pendidikan tak lagi dilakukan dengan pendekatan birokratis. Itu saja.