Hari ini saya membawakan materi dalam sebuah acara yang diadakan oleh Dinas yang berhubungan dengan pemuda. Nama ini disingkat dengan sangat baik, DISPORA, Dinas Pemuda dan Olahraga. Entah mungkin maksudnya hanya pemuda yang wajib berolahraga atau karena atlet-atlet yang ada saat ini adalah pemuda. Jangan tanya kenapa namanya bukan Dinas pemuda dan pemudi. Untuk yang terakhir, saya tak tahu juga alasannya apa.
Undangan saya terima kemarin, tepatnya sms dan telpon. Undangan resminya tak saya terima. Petugas pengantar undangan katanya sedang sibuk dan banyak urusan, makanya undangan untuk saya tak bisa diantar.
Saya diminta membawakan materi tentang negotiation skills. Sebuah materi klasik sebenarnya. Saya tak tahu apa relevansi materi ini, terlebih lagi tema besar pelatihan ini juga tak saya ketahui. Yang pasti, demi menjaga nama baik seorang kawan, saya iyakan saya dan menerima undangan ini.
Oh yah, acara ini diadakan di sebuah hotel bintang lima di Makassar. Hotel lama yang direnovasi dan berganti nama. Mewah betul hotel ini, begitu pikirku ketika tiba di lobby hotel. Saya tiba jam 8, takut terlambat karena undangannya jam 9. Tapi hingga pukul 8.45, tidak ada konfirmasi dari panitia dan juga ternyata ruangan yang kemarin diberitahukan kepada saya ternyata dipindahkan. Tahu ruangan apa yang akhirnya dipakai, sebuah ruangan besar bernama presidential suite. Wuih...
Saaat masuk ruangan, baru 5 orang peserta yang hadir, dari sekitar 40-an yang terdaftar. Maka kami pun menunggu peserta yang lain. Setelaha sekian lama, satu per satu dari mereka pun hadir, yang sayangnya, banyak dari mereka yang jujur saja, tak bisa lagi dikategorikan pemuda. Entahlah, ketegorisasi pemuda di negeri ini memang unik. hampir semua organisasi pemuda, yang resmi dan memiliki sekretariat yang dibiayai negara, dipimpin oleh mereka yang tak layak lagi disebut pemuda. Atau kalau toh pemuda, entah indikator apa yang kemudian dipakai untuk mentasbihkan kategori ini.
Terlepas dari itu semua, acara ini jauh dari harapan, paling tidak itu yang tergambar dari sesi yang saya ikuti. Ada kesan acara ini hanyalah upaya menghabiskan anggaran di tengah tuntutan kepada pemerintah daerah untuk segera menghabiskan anggaran 2008. Belum lagi dalam beberapa kesempatan, fasilitator yang tak lain pegawai dari Diaspora selalu mengingatkan bahwa peserta yang tidak hadir tidak akan mendapatkan penggantian biaya trasnportasi dan konsumsi. Model-model (yang dibawa bank dunia dan lembaga-lembaga asing) seperti ini telah lama dikeluhkan merusak social capital yang ada di masyarakat. Tak ada lagi yang dengan tulus menghadiri acara-acara sosial tanpa penggantian biaya trasnportasi. Kalo sekedar mengganti trasnport sebenarnya tidak ada masalah. Parahnya, banyak yang kemudian menjadikan ini ibarat proyek bisnis, untuk tidak menyebtunya sebagai profesi.
Model-model pelatihan ala Pemda ini pun tidak pernah berubah dari dekade yang lalu. Seelain selalu diadakan di hotel-hotel mewah, target psertanya pun ternyata tidak jelas. Beberapa diantara peserta ternyata hanya keluarga beberapa pegawai.
Saya tak katakan menyesal. Malah saya berharap materi yang saya bawakan itu bermanfaat, dan paling tidak membantu. Tapi jika model seperti ini terus dipertahankan, maka berapa banyak lagi anggaran negara yang terbuang percuma tanpa tujuan yang jelas. Meski secara hukum tentu hal ini tidak dilanggar, tapi esensi dan hakikat (wuih, keren juga bahasa ini) dari pelatihan itu sendiri bakal tidak maksimal.
Tapi kalo mau model yang lain, mau seperti apa? Nah, itu yang masih harus dicari lagi. Tapi bukan berarti tidak ada alternatif lain, kan?
Thursday, December 04, 2008
Monday, December 01, 2008
Gratis itu Artinya Bayar
Hari itu saya bersama istri membawa anak kami ke rumah sakit. Bukan karena anak kami sedang sakit, tapi karena ia masih luput imunisasi Hepatitis dan polio. Sudah coba kami bawa ke Puskesmas dan Posyandu, tapi dokter dan perawat di sana agak takut memberikannya. Menurut mereka vaksin itu sudah diberikan saat kami di Inggris beberapa waktu lalu. Meski, dari dokter di sana, mereka malah menganjurkan kami mengambilnya di sini. Akhirnya terpikirlah kemudian untuk ke rumah sakit Wahidin.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, ada dua baligo besar yang kami lewati. Pesannya, pemerintah daerah kini punya program kesehatan gratis. Saya tak tahu dalam batas mana biaya kesehatan ini menjadi gratis. Ini karena baligo itu tidak mengandung informasi tambahan lainnya, selain foto gubernur dan wakilnya terpampang besar.
Saat tiba di rumah sakit, ternyata kami harus bayar sejumlah 26 ribu rupiah. Padahal ada poster besar di dalam poli anak itu yang menyebutkan vaksin untuk imunisasi bisa diperoleh gratis. Saat diminta kuitansinya, staf bagian poli anak tersebut tak bisa memberikan.
Saya tak ingin terlibat lebih jauh dengan staf ini. Apalagi dia pula yang kemudian mengambil tugas mengurusi anak saya. Singkat cerita, ia pun berkonsultasi dengan dokter, dan rupanya, tak ada vaksin Hepatitis. Yang ada cuma vaksin polio. Sang dokter merekomendasikan beberapa nama kawannya berpraktek sebagai alternatif.
Ingin rasanya menagih kembali duit yang sudah bayar itu. meski jumlahnya tak seberapa, tak puas aja rasanya dengan jawaban sang staf. Belum lagi perlakuan terhadap pasien yang lain. Beberapa pasien mengeluhkan hal yang sama. Ada yang sudah jauh-jauh dari Sinjai untuk pengobatan sang anak, tapi mendapatkan pelayanan yang sangat tidak membantu.
Agaknya, iklan-iklan layanan sosial dari pemda itu harus lebih jelas dan informatif. Tampang wajah gubernur dan wakilnya, yang tidak percaya diri, lebih baik diganti dengan informasi tambahan mengenai batas mana pasien bisa mendapatkan pelayanan gratis. Ini agar kesehatan yang menjadi hak dasar warga negara betul-betul dijalankan dengan sepenuh hati.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, ada dua baligo besar yang kami lewati. Pesannya, pemerintah daerah kini punya program kesehatan gratis. Saya tak tahu dalam batas mana biaya kesehatan ini menjadi gratis. Ini karena baligo itu tidak mengandung informasi tambahan lainnya, selain foto gubernur dan wakilnya terpampang besar.
Saat tiba di rumah sakit, ternyata kami harus bayar sejumlah 26 ribu rupiah. Padahal ada poster besar di dalam poli anak itu yang menyebutkan vaksin untuk imunisasi bisa diperoleh gratis. Saat diminta kuitansinya, staf bagian poli anak tersebut tak bisa memberikan.
Saya tak ingin terlibat lebih jauh dengan staf ini. Apalagi dia pula yang kemudian mengambil tugas mengurusi anak saya. Singkat cerita, ia pun berkonsultasi dengan dokter, dan rupanya, tak ada vaksin Hepatitis. Yang ada cuma vaksin polio. Sang dokter merekomendasikan beberapa nama kawannya berpraktek sebagai alternatif.
Ingin rasanya menagih kembali duit yang sudah bayar itu. meski jumlahnya tak seberapa, tak puas aja rasanya dengan jawaban sang staf. Belum lagi perlakuan terhadap pasien yang lain. Beberapa pasien mengeluhkan hal yang sama. Ada yang sudah jauh-jauh dari Sinjai untuk pengobatan sang anak, tapi mendapatkan pelayanan yang sangat tidak membantu.
Agaknya, iklan-iklan layanan sosial dari pemda itu harus lebih jelas dan informatif. Tampang wajah gubernur dan wakilnya, yang tidak percaya diri, lebih baik diganti dengan informasi tambahan mengenai batas mana pasien bisa mendapatkan pelayanan gratis. Ini agar kesehatan yang menjadi hak dasar warga negara betul-betul dijalankan dengan sepenuh hati.
Subscribe to:
Posts (Atom)