Thursday, April 21, 2005
danau tempe [2]
memang, perda (peraturan daerah) telah banyak dibuat. untuk beberapa sektor di danau tempe saja, pak muhammad menghitung ada sekitar tiga puluhan perda. namun masalahnya, perda-perda ini tidak dijalankan dengan serius.
begitulah, danau tempe yang menjadi pusat ekonomi dan sosial masyarakat sekitar situ menjadi terbengkalai dan menjadi arena eksploitasi bagi kemenangang pemilik modal.
padahal kalau di perhatikan dan diolah dengan baik, danau tempe memiliki potensi yang tidak sedikit. dari danau ini saja, ribuan orang berhasil memperbaiki hidup. belum lagi potensi hayati yang ada disana. masih kudapatkan elang beterbangan dengan lincahnya. begitu juga dengan burung-burung dan tumbuhan langka (maaf, tidak referensi mengenai nama latin mereka, jadi terkesan tidak ilmiah).
namun, karena tuntutan ekonomi dan kurangnya informasi mengenai ini, membuat populasi biantang dan tanaman ini terancam. mulut orang kota yang suka dengan yang aneh dan alami membuat populasi burung danau menjadi terkikis karena permintaan akan konsumsi burung ini tinggi. belum lagi kebiasaan memburu yang masih saja ada.
jangankan untuk burung-burung tersebut, ikan pun sudah menurun populasinya. cerita pak muhammad, ketika ia kecil ia bersama ayahnya dengan mudah dan dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil mendapatkan tangkapan ikan yang lumayan banyak. dan hebatnya lagi, mereka, para nelayan, tak perlu berebutan untuk mendapatkan tangkapan maksimal.
bagaimana dengan sekarang? dengan setengah mengeluh pak muhammad menceritakan bahwa dengan tuntutan hidup yang meningkat membuat para nelayan seperti "rakus" untuk mendapatkan tangkapan yang banyak. parahnya kerakusan ini tak diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga ekosistem. dulu mereka sangat dilarang untuk menangkap ikan-ikan yang masih kecil. namun saat ini semua jenis ikan ditangkap dan diambil tanpa memperdulikan kelestariannya. belum lagi dengan metode penangkapan yang sangat tidak "hewani" (maksudnya, tidak bersahabat dengan hewan).
potret dari kerusakan total danau tempe ini memuncak ketika terjadi banjir besar beberapa waktu lalu. masalahnya memang tak sekedar berasal dari masyarakat sekitar danau tapi juga dari daerah lain yang merupakan hulu-hulu sungai yang bermuara di danau. penebangan liar, pembuangan sampah, menjadi sumber terjadinya bencana.
mereka tak sepenuhnya salah memang. banyak faktor yang melatarbelakangi . kemiskinan, keterbatasan lahan, minimnya pengetahuan yang berimbas pada minimnya kesadaran. perlu itikad baik yang dibarengi dengan kesungguhan dan kesabaran. payahnya, masalahnya, indikator itu belum terlihat ada dalm pemerintah, termasuk masyarakat.
kalau begitu, tak cukup sekedar meneropong.
Saturday, April 16, 2005
Suatu Pagi di Danau Tempe
Perjalanan tiga jam lebih membuat kami semua merasa lelah setelah sebelumnya melewati rapat panjang membahas model dan tahapan penelitian uyang akan dilakukan di enrekang nantinya. Setelah rapat yang tak sedikitpun memberikan tempat untuk tertawa, akhirnya kami pun sepakat untuk beraangkat ke Enrekang menemui sang bupati untuk menjelaskan hasil rapat tim.
Kebetulan dari TIFA, mbak Diah, sebagai tim monitoring, juga bermaksud mengunjungi sebuah lembaga advokasi, YTMI, di Sengkang yang juga difasilitasi tifa. lembaga ini memberikan bantuan dan advokasi kepada petani dan nelayan yang berada di sekitar danau tempe. maka kami sepakat ke Sengkang dulu baru kemudian ke enrekang. pertemuan dengan bupati memang digendakan dua hari kemudian. bagi saya, kunjungan ke sengkang menjadi bonus, apalagi saya belum pernah betul-betul "menjamah" daerah ini.
karena berangkat telat, kami pun tiba malam, meski belum tengah malam betul. kami dibuat pusing juga oleh tingkah protokoler wakil gubernur dan pemda wajo yang membooking hampir seluruh hotel yang ada di sengkang. memang, besok paginya akan ada acara di peninjauan oleh tiga menteri. karena rombongannya yang banyak, belum lagi pegawai2 pemda setempat yang genit dan latah nginap di hotel, maka seluruh kamar pun dipesan. masalahnya, seluruh kamar2 itu tak seluruhnya terpakai, hanya sekedar berjaga-jaga. lagian, ngapain juga datang banyak-banyak, toh dari beberapa hotel yang kami temui, terlihat jelas (dan memang kami sempat bertanya-tanya) pegawai dan rombongan yang tidak jelas manfaatnya.
setelah hampir putus asa, kami pun berencana menginap di soppeng saja, untuk kemudian pagi hari kami kembali ke sengkang. apalagi, badan terasa pegal dan gerah karena belum mandi juga. tapi sebelum memutuskan ke soppeng, kami ditawari untuk mencoba satu hotel lagi yang berada di luar pusat kota. alhamdulillah, meski kamarnya pas-pasan, kamar mandinya mirip yang ada di kampus (satu kamar mandi untuk enam kamar), tapi minimal ada tempat untuk meluruskan badan, ketimbang harus balik ke soppeng lagi.
oleh kawan dari ytmi kami diminta untuk bersiap pagi-pagi sekali. sebab rombongan menteri juga akan meninjau danau tempe.
***
subuh harinya kami dibangunkan oleh pemilik hotel, yang semalam memang kami pesan untuk membangunkan kami. udara dingin tak menghalangi kami untuk segera mandi, soalnya takut keduluan ama tamu-tamu hotel lainnya, yang kebanyakan pedagang dan pebisnis dari makassar dan kalimantan. lumut dan ulat-ulat khas air kolam terlihat jelas. belum lagi keruhnya air yang lebih mirip coffemix yang tawar karena kebanyakan air. tapi sudahlah, toh keadaan seperti ini sudah biasa saya alami.
setelah berkumpul, kami pun berangkat menuju danau tempe. di dermaga (tepatnya bantaran sungai yang disulap jadi dermaga seadanya) kami disambut oleh pak muhammad, seorang nelayan yang menjadi mitra ytmi yang juga ketu parlemen tani dan nelayan. hebat juga dia, pikirku. apalagi menurut cerita kawan dari ytmi, pak muhammad sering membawa massa (dan ia memang punya kemampuan luar biasa untuk memobilisasi) ke dprd untuk memberikan pendapat dan menyalurkan aspirasi nelayan dan petani. terbayang bagaimana serunya dua ketua parlemen bertemu...
dua buah singking (perahu kayu) telah disiapkan untuk kami. sementara itu tiga buah perahu karet juga tampak di pinggir sungai. awalnya kupikir perahu karet itulah yang akan kami gunakan untuk melihat-lihat danau tempe. ternyata perahu karet itu untuk rombongan menteri yang juga akan "meninjau" danau tempe. sekitar seratus meter dari dermaga, di seberang sungai tampak sebuah menara dari bambu berdiri kokoh. di sampingnya terdapat panggung terapung dari lusinan drum sebagai penyangganya. menurut pak muhammad, di panggung itulah acara pak menteri (ini istilah pak muhammad, meski dalam rombongan ada bu menteri pemberdayaan perempuan). sedang menara itu akan digunakan pak menteri untuk meninjau-tepatnya meneropong, kondisi danau tempe.
ketika kutanya apakah lokasi tempat panggung dan menara itu berdiri termasuk danau tempe, pak muhammad cuma nyengir sambil menjawab bahwa lokasi itu belumlah termasuk lokasi danau. sungai yang mengalir di depan kami ini hanyalah salah satu jalur menuju danau. wah, ternyata tinjau-meninjau gaya orde baru masih juga ada. apalagi tema kunjungan para menteri ini adalah mengembalikan "kesehatan" danau tempe yang telah lama dirusak. bagaimana bisa melihat kerusakan hanya dengan meneropong??? mungkin para menteri itu telah melihat laporan dari bawahan yang "pandai" menjaga perasaan atasan.
tapi menurut seorang pegawai pemda yang ada disitu, rombongan menteri tidak diajak langsung ke pusat danau tempe karena jalur menuju kesana sangatlah sulit dan memakan waktu yang cukup lama (pasti ini ukuruan pejabat lagi). eceng gondok telah berseliweran menghalangi dan menutupi sungai. lagi pula pemandangan kotor yang ada di bantaran sungai tak pantas katanya untuk disimak dan dinikmati oleh rombongan dari jakarta itu...ho..hooo..., apa lagi ini..
kami kemudian membagi diri dalam kedua kelompok dengan perahu masing-masing. perahu yang kutumpangi bersama pak muhammad dan seorang kawan dari ytmi adalah perahu dengan ukuran terkecild ari perahu-perahu yang kulihat ada di dekitar sungai. dingin namun tetap segar udara dan nuansa suangai kunikmati, dengan sungguh-sungguh.
dalam perjalanan, di bantaran sungai terlihat aktivitas masyarakat yang mulai memuncak. pagi hari adalah saat tersibuk bagi mereka. selain aktivitas ekonomi, dimana para istri menjemput suami dengan ikan hasil tangkapannya semalam untuk kemudian dijual, sebagian lainnya melakukan aktivtas "standar" seperti mencuci, mandi dan (ehm..) buang air. beberapa orang terlihat memang khusyuk melakukan ritual buangan ini.
setelah sekitar 15 menit mengikuti alur sungai, kami pun masuk pada"kawasan" danau tempe. pak muhammad memberikan penjelasan seputar danau dan kawasan sekitarnya, termasuk ketika danau tempe ini betul-betul memberikan manfaat luar biasa bagi masyarakat sekitar. berbeda dengan saat ini dimana danau tempe, menurut pak muhammad, tak lagi menjadi ibu bagi kesejahteraan mereka.
"danau ini dulu terkenal sebagai danau yang memberikan kesejahteraan bagi kami. sampai ada istilah bahwa dari tempe jadi kedelai." Wah, aneh juga rasanya, dimana-mana kedelai yang jadi tempe. ungkapan itu katanya untuk menggambarkan bahwa danau tempe memang memberikan berkah bagi mereka. ceritanya, ketika danau surut dan kemarau tiba, daerah pinggiran yang dulunya menjadi tampungan air ketika pasang ditanami kedelai oleh para petani. begitulah kemudian digambarkan bahwa tempe menghasilkan kedelai.
kondisinya kini sangatlah kontras. musim kemarau memang belum seutuhnya masuk, namun pinggiran danau telah kelihatan kering. lahan yang luas itu kini tak termanfaatkan dengan baik. memang sebagian kecil petani ada yang memanfaatkannya dengan menanam jagung, namun sebagian besarnya hanayalah tempat subur tumubhan liar, seperti rumput raksasa dan tumbuhan liar khas perairan tawar.
belum lagi konflik yang sarat muncul dari akibat perselisihan dalam pemanfaatan lahan kosong tersebut. menurut pak muhammad, sebenarnya telah ada (dan banyak) perda yang telah mengatur pemanfaatan lahan kosong tersebut. namun dalam pelaksanaannya, pihak pemerintah daerah tidak pernah konsisten untuk menegakkannya. bahkan terkadang muncul kongkalikong antara pihak oknum pemda dengan petani dan nelayan yang memiliki modal yang besar.
pernyataan pak muhammad ini langsung mendapatkan pembenarannya ketika memasuki kawasan danau. di bantaran danau terlihat patok-patok bukang (saya tidak terlalu yakin dengan penulisan istilah ini), yaitu lima batang bambu panjang disatukan ujungnya membentuk piramida. bukang ini selain berfungsi seperti keramba ikan, dimana nelayan mengambil ikan di dalam wilayah piramida, juga berfungsi sebagai patok/batas kepemilikan wilayah. dalam perda diatur bahwa jarak antara satu bukang dengan bukang lainnya adalah 250 meter. kenyataannya, jarak antara bukang hanyalah sekitar 5 meter belaka. pelanggaran aturan ini kemudian menyulut konflik, yang menurut cerita pak muhammad, jarang muncul lagi karena masing-masing pihak yang berkonflik merupakan satu keluarga.
belum lagi konflik yang timbul karena perbedaan cara menangkap ikan. nelayan tradisional, karena keterbatasan modal harus tersingkir dan menurun hasil tangkapannya karena nelayan baru dan modern memakai peralatan yang lebih hebat. modifikasi peralatan pun menyisakan konflik yang menurut pak muhammad, mereka yang berkonflik tak habis pikir dengan kenyataan mereka berkonflik. pernah terjadi konflik berdarah antara seorang anak dan ayahnya hanya karena perbedaan cara menangkap ikan ini. parahnya, tidak ada upaya maksimal dari pemda untuk meminimalisir konflik seperti ini.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)