Thursday, November 22, 2007

Breaking News

Malam ini Inggris belajar sepakbola dari Kroasia. Sumbangan mereka dalam menemukan olahraga ini tak menjamin tempat khusus di piala eropa 2008. Bintang besar terbukti hanya besar dalam gaji dan fasilitas.

Menyaksikan kesebelasan ini bertanding, yang menarik bagi saya malah komentar dari komentator dan running text di tipi tentang furstasi pendukung Inggris. "No passion, no soul, no determination", kata Alan Shearer sang komentator. "Devastating", kata Ian Wright, rekan tukang koment lainnya. Gary Lineker, berkelakar bahwa summer depan ia bisa berlibur dengan tenang sebab tak ada tim Inggris di piala eropa.

Kekalahan ini menjadi sebuah "Breaking News" yang mencuri perhatian pemirsa dari fokus kehilangan data di salah satu kementrian pemerintah Inggris. Tak terbayang bagaimana koran-koran Inggris esok hari mencaci pelatih dan pemain mereka. Apalagi pers Inggris terkenal dengan kritiknya yang tajam, dan panjang, membuat orang yang membacanya pun tertular amarah saja rasanya. Setidaknya mereka (harus) belajar. Bintang besar dan kompetisi yang luar biasa, tak memberi garansi bagi tempat terhormat di daratan eropa.

Bagaimana dengan PSSI? Ah, bukankah yang satu ini memang tak punya niat untuk belajar? Sudah gitu, keras kepala pula. Apa kata dunia???

Thursday, November 15, 2007

Geography

Ternyata, saya tak sendirian 'buruk' dalam geography. Menurut survey yg ada di Guardian, anak-anak Inggris sangat buruk untuk ilmu bumi ini. Tak sampai setengah dari responden yang disurvey menjawab benar ketika ditanya dimana letak gunung tertinggi di dunia. Kebanyakan mereka menganggap Everest berada di tanah Eropa. Sungai Amazon masih dianggap sebagai sungai terpanjang di dunia, meski jawab yg benar (setelah cek di national geography) adalah sungai Nil.

Analisis dari riset ini kemudian menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa mereka buruk dalam ber-geography adalah tingginya tingkat kunjungan anak-anak ke pusat pertokoan dan game centre. Dua tempat ini adalah tempat favorit mereka. Museum dan public library berada di deretan bawah. Meski masuk dua tempat itu gratis, survey ini menemukan bahwa keduanya tak semenarik mall dan game centre, tempat mereka berbuai mimpi.

Saya lalu membayangkan Makassar, dan Indonesia pada umumnya tempat dimana mall bisa hadir sesuka hati. Ia hadir di dekat kampus, sekolah atau bisa tepat di dekat pasar tradisional. Tak peduli pasar tradisional itu kemudian mati tak terurus, kemacetan lalu lintas dan sakit sosial yang ditimbulkannya. Saya tak anti mall. Sungguh, saya juga menyukainya. Menyukai etalasenya yang tak henti menjajakan mimpi. Baiklah, saya juga sering ngopi dan beli buku disana. Tapi tak jadi aktifitas rutin, sesekedarnya saja.

Ponakan saya yang masih sekolah menengah sudah tak terpisahkan dengan mall. Janjian ama teman di mall. Beli baju tak mau lagi kalo bukan di mall. Jangan tanya soal makan, segala franchise dan warung yang ada semua sudah dicoba. Tak ada lagi tempat untuk sekedar berniat ke pasar batangase--di dekat rumah--yang becek itu. Meski beberapa kali saya katakan padanya, pasar itu adalah surga makanan enak. Semuanya serba segar dan mengenyahkan. Soal hygiene atau tidak, toh terbukti saya hingga kini baik-baik saja. Apa jawabnya? Gaul dikit dong, paman..

Saya belum sempat konfirmasi kemampuan geographynya. Satu sisi saya juga mengerti gejolak muda dan segala tetek bengeknya. Mengekang itu tak meluruskan, malah bisa jadi makin membuatnya bengkok tak berbentuk. Tapi tetap saja ada rasa khawatir (ini khas orang lebih tua yang sok tahu). Semoga saja berbanding lurus dengan kegenitannya ber-gaul ria. Atau jangan-jangan dia malah lebih tahu bahwa air terjun tertinggi itu ada di Venezuela?

Ah, makin sok tahu saja saya rasanya..