Friday, August 24, 2007

Buku Untuk Semua

Saat jeda di library siang tadi, saya melintasi rak buku yang berlabel “free book”. Heran juga, kok ada buku gratis hari gini? Tertarik, saya pun mencoba mengambil satu buku. Setelah membaca brosur dan keterangan di sampul buku, ternyata buku-buku yang ada di rak itu memang gratis.

Dari om Wiki saya kemudian jadi tahu bahwa program free book ini diluncurkan oleh kelompok bookcrossing sejak tahun 2001 yang anggotanya disebut bookcrossers. Niatnya untuk “membebas”kan buku dan menjadikan kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Modelnya sederhana. Tinggalkan buku-buku anda di ruang publik dan biarkan orang kemudian mengambilnya dan membacanya. Pembaca kemudian bisa menyerahkan lagi buku itu di collect point atau sekedar menaruhnya di kafe, toko, atau public space lainnya dan nanti akan diambil dan dibaca lagi oleh orang lain. Ini seperti slogan “3R” mereka, Read a good book, Register to bookcrossing, and just Release it into the wild so others can read it.

Tak ada aturan rumit. Siapa saja bisa mengambil buku yang tersedia. Namun untuk mewakafkan buku, kita perlu register ke situsnya dan kemudian menuliskan kode yang disediakan. Biar menarik, kode di setiap buku yang bisa dicatatkan di situs bookcrossing itu kemudian dimasukkan lagi oleh pembaca untuk kemudian kita semua bisa tahu jejak rekam perjalanan buku dan pembacanya.

Buku yang saya ambil contohnya. Ternyata telah dibaca oleh banyak orang. Komentar dan rating akan buku ini juga ada. Termasuk data dimana mereka mengambilnya dan kapan.
Tentu saja, program ini tidak lepas dari kritik. Penerbit, pengarang dan juga jaringan distribusi buku akan teriak keras bahwa kegiatan ini akan menurunkan nilai buku. Tak akan ramai lagi toko buku, serta amazon si raja buku itu akan tersedot keuntungannya. Lalu, bukankah kritikus-kritikus ini harus berkaca pada industri musik? Meski gencar melawan pembajakan, tak sulit amat untuk mendapatkan album terbaru dari top ten chart atau lagu terbaru Letto atau Tukul Arwana. Social network ala Multiply memungkinkan kita mendapatkan semua itu. Tinggal buka account, dan Anda bisa mengunduh lagu dan video sepuasnya. Toh artis musik tetap saja bisa beli land cruiser atau berjejal di butik-butik mewah. Ini tentu tidak kemudian menjadi alasan pembenar bahwa pembajakan dan perampasan hak cipta benar adanya. Tapi apa salahnya berbagi buku. Bukankah ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak dibagi?

Saya lalu ingat pengalaman saat kuliah dulu. Beberapa kawan dan saya sendiri tentunya, pernah bertanding soal siapa yang memiliki buku paling banyak. Soal lain itu urusan baca atau tidak. Kesan banyak buku banyak ilmu, dan pintar, adalah tema seksi bagi mahasiswa baru dan adik-adik junior. Ada juga dosen yang dengan bangga memajang deretan buku di ruang tamu mereka, seperti mengabarkan pada setiap yang datang, ”Hey, saya punya buku yang banyak, lho”. Lalu kalau banyak kenapa? Wong mau pinjam beberapa buku saja ceritanya jadi panjang. Yang penting adalah bagaimana buku itu tidak saja bermanfaat bagi diri tapi juga bisa dibagi dengan yang lain.

Menjadi soal memang jika watak peminjam ”yang baik”—meminjam buku adalah hak, mengembalikannya bukanlah kewajiban—masih tertanam kuat di dalam kepala. Ini juga memang penyakit. Apalagi memang harga buku yang kelewat mahal di Indonesia. Saatnya pemerintah meninjau kembali pajak-pajak yang menghambat tumbuh dan berkembangnya industri buku.

Kembali ke bookcrossing ini. Singapura ternyata telah ”meratifikasi” ide ini dengan menjadi negara resmi pertama yang menjadikannya sebagai semacam 'program nasional'. Tak terbilang manfaat bagi rakyat Singapura. Padahal mereka juga sudah terkenal dengan budaya dan fasilitas baca yang lengkap. Belum lagi infrastruktur dan teknologi mereka yang mendukung. Sungguh, kampanye membaca tak lagi sekedar slogan dengan gerakan seperti ini.

Bagaimana kemudian ini bisa diaplikasikan di Indonesia? Tak perlulah sampai sedrastis Singapura atau sesuai konvensi bookcrossing, saya kira. Cukup dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan gratis bagi masyarakat. Mereka yang punya buku-buku banyak di rak-rak juga bisa membagi akses bagi yang lain, ketimbang buku-buku itu tersimpan rapi tak terbaca dan bisa jadi tak terawat.

Tahun lalu, kakak saya yang guru SMA meminta ijin agar buku-buku saya yang menumpuk di kamar bisa dia bawa ke perpustakaan sekolahnya. Menurutnya, lebih banyak buku saya ketimbang buku yang ada di perpustakaan sekolahnya. Seperti kebanyakan sekolah negeri, fasilitas minim dan perpustakaan sepi adalah gambaran umum. Belum lagi letak sekolahnya yang memang jauh dan tak masuk dalam radius keramaian. Dengan begitu, ia berharap bahwa ada bahan bacaan alternatif bagi murid-muridnya. Meski kebanyakan buku-buku saya itu hanyalah novel, biografi, buku sejarah dan kumpulan tulisan dari beberapa penulis.

Awalnya saya khawatir, takut buku-buku itu rusak dan yang paling ekstrim, hilang. Tapi ketimbang menumpuk di rumah dan membuat ibu saya repot merawat dan membersihkannya, kuizinkan saja. Sekarang baru sadar, bisa jadi buku-buku saya itu telah berpindah tangan ke beberapa murid, dan siapa tahu ada saja yang mendapat manfaat dari membacanya.

Nah, saatnya membebaskan buku dengan berbagi kepada yang lain. Masuk akal, kan?

Friday, August 17, 2007

Merdeka, Bung

“Kita belum merdeka, bung”, begitu kata teman saya via emailnya. Panjang ia bercerita tentang kondisi buruh yang selama ini dibelanya. Menurutnya, tak ada kata merdeka dalam kosa kata mereka. Gaji yang dipotong seperti tak ada henti, lembur yang tak terukur, harga minyak tanah yang tak terjamah, semuanya membuat mereka merasa tak merdeka.

Bukan tak ada saya pikir, cuma belum merdeka aja kali. Tapi apa artilah perdebatan semantik ini, toh pada kenyataannya masih banyak nasib buruh, dan bukan hanya buruh, yang belum merdeka dari kebutuhan dasar kemanusiaan seperti makan dan tempat tinggal. Amrtya Sen, peraih hadiah nobel ekonomi mengemukakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah terletak pada tidak adanya yg akan dimakan, juga bukan masalah pendanaan atau pengadaan makanan. Namun lebih banyak karena masalah distribusi atau tidak adanya pemerataan.

Merdeka dari ketakutan, itu juga yang masih menjadi barang mahal bagi bangsa Indonesia. Ya, rakyatnya tentu saja. Toh para penguasa itu memiliki pengawal yang setiap saat bisa menjaganya, so mereka tak masuk bagian orang takut ini.

Kemarin presiden sudah baca pidato kenegaraan di DPR, termasuk rencana-rencana pemerintah setahun ke depan. Terdengar banyak duit yang dibicarakan. Belum lagi highlight dari pidatonya yang ber-trend naik. Anggaran pendidikan naik, anggaran kesehatan naik, gaji PNS dan TNI naik, anggaran ini-itu naik. Melelahkan juga baca pidato yang panjang itu. Tapi intinya semua naik, bagus bukan? Tapi waspadalah, orang statistik punya anekdot sendiri akan ilmu mereka. Ada tiga model kebohongan, bohong, luar biasa bohong, dan statistik itu sendiri. Tapi namanya harapan harus terus disemai, sebab itulah yang membuat hidup lebih berarti.

Merdeka, Bung!!

Monday, August 13, 2007

Pasar Halal

Tiba-tiba hampir seluruh restoran dan warung makan yang ada di sepanjang Bristol road dekat kampus itu memajang tanda Halal di depan pintu mereka. Seingat saya, tahun lalu masih terhitung dengan sebelah tangan restoran dan tempat jual makanan halal di sepanjang jalan ini. Salah satunya warung burger yang sering jadi andalan kalau sudah malas balik ke rumah untuk memasak. Pemiliknya orang Turki dan memang muslim. Burgernya lebih maha dari harga burger pada umumnya. Tapi mau giman alag, tdk ada pilihan lain. Namun kini jumlah warung halal itu telah berlipat. Mulai dari restoran besar sampai warung tradisional semacam fish and chips. Soal apakah sign halal yang mereka pajang itu telah melalui proses sertifikasi panjang dari Halal Food Authority atau tidak, itu urusan lain.Makanan halal, atau produk muslim secara umum memang menjadi salah satu bisnis paling menarik saat ini. Di Amerika sendiri, sebagai pusat kapitalisasi dunia telah menunjukkan trend ini sejak lama. Penelitian yang dilansir majalah the economist menyebutkan bahwa lebih dari 6 juta masyarakat muslim disana berpenghasilan diatas rata-rata atau sekitar $50,000 - $100,000. Sementara penghasilan rata-rata kebanyakan hanyalah kisaran $40,000. Mereka juga berpendidikan lebih tinggi ketimbang masyarakat lainnya, dimana dua per tiga dari jumlah itu memiliki satu atau lebih gelar kesarjanaan. Satu lagi yang membuat kaum muslim menjadi target pasar yang menggiurkan, mereka punya kecendrungan untuk memiliki anak lebih dari dua. Nah, komplit kan pasar ini?

Segmen yang paling menarik dan menjadi perhatian kaum muslim kebanyakan adalah sector makanan, keuangan dan pasar konsumen yang memang banyak bersinggungan hokum-hukum syariat. Laporan economist menyebutkan bahwa pasar produk halal tumbuh 16% per tahun atau sekitar $580 milyar setiap tahunnya. Jumlah yang menggiurkan, bukan?

Namun apakah persepsi soal halal ini kemudian sudah selesai? Ternyata tidak. Beberapa penjual daging dan orang Inggris kebanyakan cuma tahu bahwa halal itu berarti daging selain daging babi. Maka daging sapi atau domba meski tidak disembelih dengan proses halal akan menjadi halal dengan asumsi seperti ini.

Bahkan awal-awal kedatangan saya banyak diisi dengan berbagi cerita soal halal dan tidak suatu makanan. Saya sering ditanya macam-macam, mulai dari ikan yang halal dan tidak halal, atau adakah babi halal (halal pork) dalam Islam? Meski secara pribadi saya tak suka bicara soal halal-haram ini sebab banyak dai dan ustad yang akhirnya lebih sibuk dan siap ribut soal ini ketimbang mengingatkan masyarakat bahwa menyogok polisi atau menaikkan harga barang secara tak wajar adalah dosa juga adanya. Untungnya saya bukan dai terlebih ustad. Tapi yah namanya beda budaya dan kebiasaan, proses cerita ini menjadi unik dan enak saja jalannya.

Kembali ke bisnis produk halal, Mc Donald di London juga telah melakukan uji coba penjualan makanan halal. Di Southall, bagian utara kota London, salah satu restoran cepat saji itu menyediakan paket halal. Meski tak memasang info dan sign di depan toko mereka, namun permintaan paket ini ternyata tinggi. Terbukti, waktu itu paket ini sampai membuat antrian panjang dari pengunjung.

Produk lainnya tidak kalah. Ada Barbie versi islami, yang disini namanya diganti Fulla. Tak seperti Barbie yang blonde, berbusung dada, serta gonta-ganti pacar, si Fulla adalah tokoh idola banyak calon mertua. Rajin belajar, membaca, shalat dan masak. Sempurna, bukan? Produk keuangan jangan ditanya. Mulai dari HSBC hingga Barclays sudah punya divisi syariah dimana target buruan mereka adalah raja-raja minyak timur tengah dengan jumlah uang yang melimpah. Tentu saja pasar besar lainnya adalah kaum muslim (kebanyakan imigran) yang ada di Inggris.

Namun apakah ini yang kemudian menjadi titik awal kebangkitan Islam? Banyak pihak yang menilai demikian. Namun bagi saya, bisnis tetaplah bisnis, tak perlu menjadi Adam Smith untuk tahu soal ini. Soal kemudian ada berkah dan manfaatnya, anggaplah itu sebagai bonus.

Tuesday, August 07, 2007

Tepuk Tangan Sepakbola

“Cuma mengumpan kok ditepu’i kayak gitu”, teman saya berkomnetar saat bersama kami menyaksikan pre season friendly Aston Villa Vs Inter Milan di Villa Park beberapa hari yang lalu. Begitulah memang, apresiasi penonton dalam menyaksikan pertandingan sungguh luar biasa. Sepanjang pertandingan gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai terus saja menjadi atraksi menarik tersendiri selain pertandingan itu tentunya.

Mengumpan tepat sasaran, habis nendang mengarah ke gawang—meski tak masuk hingga atraksi individual menawan, semua mendapat tepuk sorak yang membahana. Namun itu hanya berlaku sebagian besar untuk pemain tuan rumah. Lawan, tetap saja memperoleh terror yang pantas. Ibrahimovic, striker Inter yang saat itu tak tampil optimal harus rela di “booo” hampir separuh pertandingan. Aksinya yang sering jatuh tanpa sebab, membuat penonton tuan rumah menjadi gregetan—untuk tidak menyebutnya marah. Luis Figo juga bernasib serupa, akibat tindakannya mengusik keputusan wasit.

Tapi semuanya tetap dalam bingkai hiburan. Saya malah curiga pertandingan disini pakai scenario segala. Tak ada lemparan botol bekas, atau penonton yang lari mengeroyok pemain. Ini yang kemudian menjadi catatan penting dari keberhasilan industri bernama premier league yang konon merupakan liga terkaya dan berpenghasilan paling tinggi sejagat ini.

Sebagai industri, liga ini digerakkan oleh kreatifitas, termasuk dalam menjaring penonton. Karena tingkat mahasiswa internasional yang datang ke Inggris setiap tahun menunjukkan trend meningkat, maka strategi pasar klub-klub pun kini masuk kampus. Aston Villa, yang di liga termasuk klub menengah hampir selalu membuka stand penjualan tiket sebelum pertandingan regular dimulai.

Belum lagi program-program seperti stadium tours, valentine day at Villa Park, penjualan merchandise sampai kasino. Tak terbilang rupiah pemasukan klub dari kreasi-kreasi seperti ini. Itu baru klub-klub gurem atau menengah. Tentu ceritanya akan lain jika klub itu bernama Manchester United, Arsenal, Liverpool atau Chelsea.

Ada seorang mahasiswa asal Indonesia yang merupakan fans berat MU. Hampir setahun ia disini tiket yang dikoleksinya saat menonton pertandingan MU di Old Trafford sudah lebih dari 20 lembar. Ini termasuk liga regular, champion dan friendly match MU. Jika harga satu tiket pertandingan itu £35, maka duit yang dihabiskannya itu setara dengan sewa rumah 3 kamar tidur, termasuk biaya listrik, air, dan gas selama sebulan. Bonus? Ya, termasuk biaya makan selama sebulan di Inggris. Nah, jumlah orang seperti ini tentu tak sedikit. Mahasiswa asal Cina punya kegilaan luar biasa terhadap klub-klub Inggris. Mungkin liga utama Inggris ini salah satu alasan mereka memilih kuliah di sini.

Kembali ke teman saya itu, ia pun mengungkapkan sulit rasanya sepakbola Indonesia akan maju seperti yang ia rasa dan tonton kali ini. Saya menyanggahnya. Tak selalu fair membandingkan langit dan empang. Meski tak simpatik dengan PSSI yang dikelola tak ubahnya partai politik, tapi sepakbola Indonesia tuh punya bukti (sedikit dan sejenak) untuk bisa berkontribusi.

Jika ungkapan Pele yang pernah berkata bahwa “pada sepak bola, Anda bisa melihat kehidupan di dalamnya” bisa dipakai, sepakbola Indonesia rasanya memang menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Tapi bukankah dalam kehidupan ada juga peluang untuk maju? Perhelatan piala Asia kemarin semoga menjadi anak tangga pertama. Meski banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum kemudian berjejak ke anak tangga berikutnya. Tidak lagi pakai dana APBD salah satunya.