Wednesday, July 18, 2007

You shop we drop

Jika coba menghitung mundur 10-20 tahun ke belakang, harga-harga barang hari ini tentu sudah di luar akal sehat. DVD player, komputer, serta alat elektronik lainnya menjadi murah tak terkira, tentu saja dengan asumsi ada uang untuk membelinya. Sejak tahun 1996, menurut index harga konsumen, tingkat penurunan untuk barang-barang elektronik sebesar 56%. Ini berarti, harga televisi beberapa tahun lalu kini kurang dari setengahnya. Tanpa mengecilkan kondisi negara-negara berkembang, harga murah menjadi sebuah keniscayaan di negara-negara maju.

Economic of scale, begitu mantranya. Makin banyak barang yang diproduksi, maka makin bisa pula harga ditekan. Ini ditambah pula dengan proses otomatisasi yang meminggirkan peran manusia sebagai faktor produksi, yang upahnya tentu menjadi variable dalam penentuan harga. Kalau toh tetap memakai tenaga manusia, maka buruh murah menjadi pilihan wajib para pengusaha.

Cina kemudian menjadi sebuah rumah bagi segala yang murah, the home of cheap. Hampir tidak ada produk yang berhubungan dengan ‘hajat hidup orang banyak’ yang tidak diproduksi di cina. Mulai dari mainan, garmen, elektronik, hingga otomotif. Cina tak lagi dikenal hanya dari kaos dalam, peniti, silet serta perkakas ‘imut’ lainnya.

Murah selalu berpadanan dengan belanja. Di negara-negara maju, taraf belanja masyarakatnya memang sudah mencapai taraf kecanduan. Consumer democracy, ‘the age of cheap’, begitu kata David Booshart. Menurutnya, makin beragamnya pilihan terhadap produk membuat konsumen menjadi bebas dan merdeka untuk menentukan pilihan. Ini pun kemudian diramalkan menjadi sebab dari bergesernya kekuatan image. Dalam hal fashion misalnya, yang kini tak lagi menjadi monopoli desainer kecuali untuk kalangan artis dan jet set yang memang tak bisa hidup tanpa merek. Sampai ada ada anekdot bagi kalangan sophalic, style desainer tapi harga high street. Muncul pula kemudian istilah Fast fashion, desain baru hari ini akan Anda jumpai esok di toko-toko pinggir jalan.

Dalam sebuah program dokumenter di BBC, digambarkan betapa kebiasaan belanja masyarakat Inggris yang sudah ‘mencederai’ akal sehat. Belanja menjadi kegiatan harian serupa lunch dan meeting di kantor. Jadilah mereka belanja tanpa pernah berpikir bahwa barang yang mereka beli itu betul-betul dibutuhkan atau tidak. Rayuan ‘buy one get one free’ juga menjadi sihir bagi konsumen. Banyak teori pemasaran kemudian lahir dan menggantikan model pemasaran yang ‘jadul’. Tentu saja muaranya agar semua orang shop till drop.

Lalu, benarkah barang yang murah selalu memberi keuntungan bagi konsumen? Terlepas dari kualitas barang, rasanya kita perlu waspada dengan apa yang diperingatkan Booshart, although manufactured goods have been getting cheaper, with that trend, comes cheap morals and cheap ethics. Sisi gelapnya adalah budaya throwaway, dimana barang-barang yang tidak dipakai (meski masih berfungsi dengan baik) langsung masuk ke tong sampah.

Charity shop yang sangat bergantung dari derma orang-orang akan barang bekas namun layak pakai pun kehilangan banyak pemasukan. Tak banyak lagi yang memilih mendermakan barang-barang itu. Pikir mereka, toh barang ini saya beli dengan sangat murahnya. Jika harus di charity shop-kan lagi, jadi berapa harganya? Budaya throwaway ini juga menjadi ancaman bagi masa depan yang lebih cerah. Turunanannya tentu soal lingkungan dan kesinambungan kehidupan.

Hal lain, konsumen tidak pernah mau berpikir bahwa barang murah yang dibelinya tak begitu saja ada. Ia lahir dari pengorbanan buruh-buruh yang diupah murah, dengan kondisi kerja yang kadang mengenaskan. Kurang udara, sumpek, tekanan kerja yang tinggi, minim asuransi, serta sederet isu social lainnya yang tak ada dalam label barang. Paling yang muncul di label hanyalah “Made in China”, “Made in Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya (... you name it). Buruh NIKE Indonesia mau di-PHK, it’s not my problem.

Saatnya berhenti belanja? Ah, iklan obral produk-produk Nike di JJB Clearance membuatku berhenti menulis.



foto: pushindaisies

Monday, July 09, 2007

Warming Up

“Global Warming”, istilah itu begitu popular belakangan ini. Banyak gerakan yang kemudian mencoba ‘memasarkan’ kecemasan terhadap perubahan iklim bumi yang sepertinya jauh melebihi ekspektasi umat manusia di muka bumi ini.

Banjir yang menimpa sebagian wilayah Inggris turut 'melambungkan' nama global warming. Tetangga saya weekend kemarin punya cara unik mengisi liburan. Mereka berencana mengunjungi tempat banjir di selatan kota. Wilayah itu memang ‘kena getah’ yang lumayan parah. Tinggi genangan air tak lagi sebatas mata kaki, bahkan koran lokal menyebutkan tinggi air sudah mencapai mata beneran.

Tetangga saya itu mungkin merasa wilayah banjir itu sesuatu yang unik. Untuk sebuah negara dengan sistem drainase yang baik seperti Inggris, banjir tentu menjadi sebuah kejadian ‘unik’. Apalagi wilayah banjir itu tak dikenal memiliki sejarah kebanjiran yang parah. Ia pun bercerita tentang global warming yang menjadikan cuaca tak menentu dan imbasnya banjir datang meski tak diundang.

Beberapa hari lalu, Al Gore, mantan calon presiden Amerika (yang pongah itu) juga mencoba menjadi pionir dari gerakan global ini. Konser di delapan negara pun dilaksanakannya. Tujuannya sederhana, “biar orang tahu global warming itu betul-betul ada dan mereka jadi aware akannya”, begitu komentarnya.

Lucu juga, global warming yang salah satunya disebabkan oeh konsumsi energi yang berebihan, harus dikampanyekan dengan serupa konser, yang tentu saja juga menghabiskan tak sedikit energi. Madonna, yang mengisi konser ddi London, tentu saja tak ingin berjubel di antrian pesawat komersial bersama penumpang lain. Jet pribadi dan helicopter tentu disiapkan untuk mengangkut Madonna dan segala timnya. Belum lagi tata cahaya yang digunakan saat konser di stadion Wembley (yang megah itu). Lampu-lampu yang digunakan tentu bukan seukuran lampu di kamar saya yang cuma 60 watt.

Hypocrite? Ah, tak mengapa. Toh panitianya juga telah menjamin dengan iklan ciamik bahwa mereka menggunakan energi yang ramah lingkungan dan menggunakan bahan-bahan yang recyclable. Perdebatan ini juga mirip dengan kondisi Indonesia yang event-event olahraganya disponsori perusahaan rokok.

Jauh lebih penting memang kecemasan ini diwabahkan. Asal negara-negara besar dan maju tidak saja menyalahkan negara-negara miskin seperti Indonesia. Toh mereka tak terbayang energi yang telah mereka habiskan, yang tentu saja telah mengotori lapisan bumi kita. Jika dimulai dari zaman revolusi indsutri sekalipun, jumlah ‘sampah’ mereka tentu sudah tak ketulungan.

Global warming=banjir dan cuaca yang tak menentu, begitu definisi tetangga saya.


Link: Cerita lain tentang Global Warming

Foto: www.neatorama.com/2006/05/