Tuesday, April 17, 2007

War with next door

BPS-nya Inggris menyatakan bahwa tahun 2006 yang lalu ada 6 juta keluhan resmi yang diajukan sebagai protes terhadap tingkah tetangga. Rupa-rupa sebabnya tak lain adalah “selfish attitudes” yang bisa jadi berupa berisik suara musik, kembang api, tangis bayi, bunyi alarm, dan gonggongan anjing. Mereka menyebutnya sebagai gangguan terhadap “expectation of quiet”. Ah ada-ada saja. Itu yang resmi, yang tidak resmi bisa jadi lebih banyak. Salurannya pun bisa berupa balasan teriak, telpon tetangga, atau atau lempar atap rumah tetangga.

Makin modern sebuah kehidupan sepertinya punya implikasi positif terhadap meningkatnya keinginan untuk komplain. Ini memang dimungkinkan, dimana kesadaran masyarakat terbangun untuk kemudian berani menyuarakan aspirasi dan hak mereka dengan jalur yang resmi dan menihilkan keinginan bertindak seenak diri. Muaranya tentu adalah terciptanya sebuah tatanan social yang demokratis dan berkeadaban. Tapi sesederhana itukah?

Ah, rasanya jika ukurannya kenikmatan, sekali lagi kenikmatan, dalam batasan tertentu lebih bisa ternikmati hidup bertetangga di batangase sana. Meski di Indonesia sendiri sudah banyak muncul kritik terhadap perilaku hidup modern yang meminggirkan rasa kekeluargaan. Saya bisa dengan tenang saja menikmati suara merdu Tommy J Pisa atau Dian Pisesa dengan lagu-lagu sedih mereka dari tape tetangga depan rumah. Atau alunan lagu-lagu barat yang cadas dari anak tetangga belakang rumah yang mungkin niatnya agar bisa dikatakan gaul. Meski kadang menjengkelkan karena tak kenal waktu, tapi tak membuat saya menjadikannya alasan untuk mengkomplain ria. Oke, ini bisa jadi karena tenggang rasa yang tinggi, ga mau ribut ama tetangga, atau karena tidak ada saluran untuk menyalurkan komplen.

Jadi ingat juga saat kos dulu. Teman disamping kamar saya seorang katolik yang taat. Ia rajin memutar lagu-lagu rohani, hampir sepanjang ia di kosan. Teman kamar sebelah lagi larut dalam alunan rock Jamrud. Tetap aja ternikmati, meski jika magrib tiba saya suka ngetok dinding pembatas kamar sebagai peringatan. Pernah sekali mereka tak mengindahkan, maka pintu kamar mereka pun yang kemudian saya ketuk. Memasang muka masam meski tak bermaksud menakuti.

Modern, modernitas, atau apapun namanya selalu menyisakan kompleksitas. Entah kenikmatan hidup yang telah terasa itu akan bertahan atau tergusur dengan komplain-komplain yang tak ada niat lagi untuk mencari solusinya sambil rujakan atau rapat RT. Setelah itu, semua orang akan merasa punya “neighbour from the hell”. Hey, bukankah dulu ada pelajaran toleransi di sekolah?

Sunday, April 08, 2007

The Hardest Part

Malam kemarin, saat pulang dari rumah teman saya bertemu dengan sepasang tetangga jauh. Jauh, karena mereka tinggal di lantai 10 dan saya di lantai 5. Mereka sering saya jumpai. Paling sering di lift. Ini tempat kami sering bertukar sapa, sekedar tanya kabar dan diam dengan pikiran masing-masing. Mungkin sambil menerka apa yang ada di pikiran masing-masing.

Setelah sekian lama bertukar sapa, baru semalam saya berani menanyakan nama mereka. Kayak aneh aja rasanya sering jumpa tanpa tahu nama. Yang laki, Arthur (78) dan pasangannya Audry (82). Oh yah, Audry ini mengingatkan saya dengan Barbara dalam video klip Coldplay, The hardest part. Gila aja, Barbara yang lebih pas jadi nenek itu dengan lincah dan tanpa ragu menari dan berakrobat layaknya penari latar Madonna yang lincah. Lengkap dengan kostum yang serupa Britney Spears dan Madonna itu sendiri.

Kembali ke laptop, pasangan tetangga saya ini unik juga. Mereka punya dua anjing yang sangat disayangi. Saya lupa nama kedua anjing itu, soalnya nama Jerman yang agak tidak bersahabat dengan lidah saya. Yang jelas, satu betina dan lainnya jantan. Keduanya sangat sensitive dan suka mengonggong. Sepatu dan celana jadi incarannya untuk dijilat saat di lift. Kedua anjing ini begitu disayang, setidaknya dari cerita mereka berdua yang empat kali sehari rutin membawa anjing ini menghirup udara segar di taman samping flat. Terbayang kelelahan untuk pasangan tua seperti mereka turun dari lantai 10, menghabiskan 20 – 30 menit di taman menanti dengan sabar anjing-anjing mereka bermain dan kemudian kebali ke flat. Begitu seterusnya, setiap hari. Tapi saya tak yakin mereka menganggap itu sebagai the hardest part, mesi rutinitas kadang tak baik bagi akal sehat.

Lama kami ngobrol dan saling bertukar cerita. Namun saat itu saya lebih memilih mendengar. Mendengar pengalaman mereka, termasuk kisah cinta mereka, yang baru menikah sejak 8 tahun yang lalu, sesuatu yang biasa aja disini barangkali. Sesekali dalam cerita mereka sering bertukar pandang, sambil saling bertanya jika ada detail yang luput. Ah, sungguh menarik dan romantis juga. Belum lagi kisah Arthur yang banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling dunia sementara istrinya mengabdikan diri sebagai perawat hingga kemudian pension.

Saya tak tahu apa mereka punya anak. Cerita pengalaman hidup mereka membuat saya lupa tanyakan soal itu. Apalagi mereka lebih senang cerita soal anjing kesayangan. Jadilah kombinasi cerita anjing, nikah tua dan keliling dunia menjadi topik utama silaturrahmi.

Malam itu sebenarnya masih ingin saya dengar banyak cerita lagi. Tapi tak tega juga melihat badan tetangga tua saya itu yang mulai menggigil karena angin yang menusuk. Meski sudah spring, dingin bukan berarti pergi begitu saja. Saya pun rasanya tak tahan juga. Tak ber-jumper, dan pula tak ber-sepatu membuat pilihan menjadi terbatas. Tadi sekedar niat mengetes daya tahan tubuh, dan percaya dengan cerahnya cuaca. Namun salah, cerah tak berarti hangat. Maka pamitlah saya sambil berjanji untuk bersua mereka lagi dan berharap semoga besok ada cerita baru untuk didengar.