Saturday, February 17, 2007

Segelas coklat dan Brosur

Hujan+angin=dingin. Tapi jika saat dingin seperti ini ada yang tawari segelas coklat gratis, tentu menyenangkan. Begitulah, saat melintas di depan sekolah, ada pemuda India [tak perlu penjelasan soal ini. Rautnya serupa Amitha Bachan dan cara bertuturnya berkecepatan di atas rata-rata, maafkan saya…] menawarkan segelas coklat panas dan brosur. Yang utama tentu brosurnya, coklat panas itu sebagai penghargaan atau "bonus" karena udah mau terima brosur mereka. Soal dibaca atau tidak, lembar-lembar brosur yang hampir semuanya bahkan belum sempat dibalik ke lembar kedua tercecer hanya semeter dari gerobak yang dipenuhi logo PWC itu.

Perusahaan itu perusahaan gede. Siapa yang tak kenal Price Waterhouse Cooper (PWC)? Di Indonesia, ini perusahaan beken untuk urusan audit dan performance improvement. Soal bayarannya, lihat saja dalam laporan keuangan tahunan dari perusahaan yang pake jasa mereka. Lalu, apa pula hubungan PWC ini dengan coklat?

Tak ada, ini hanya trik pemasaran biasa. Kata orang pemasaran sih, ini namanya Above the Line. Mereka sedang mencari "tenaga-tenaga terampil" [ini gaya khas sebuah radio di Makassar dalam mengiklankan lowongan atau lembaga pendidikan] untuk direkrut dalam perusahaan. Mereka kesannya menjemput bola, sebab perusahaan lain, tentu tak ingin luput mendapatkan tenaga-tenaga terampil yang dibutuhkan.

Namun masalahnya, Anda tentu bosan dengan selebaran yang dibagikan dan belum tentu pas dan menarik hati. Sudah tak menarik, menyita waktu, malah bisa berakibat fatal jika anda salah membuang sampah. Namun jika dengan segelas coklat dalam dingin hari, ehm rasanya setimpal. Toh, anda tak perlu baca, apalagi paham isi brosur, itu jika memang tidak tertarik. (Tapi mbok yah dibaca jugalah, kali aja ada info yang bermanfaat.. ). Selain itu, ada kotak sampah tersedia menampung brosur buangan anda. Jika lemparan anda melset, tak usah khawatir, pemuda pembagi brosur itu akan memasukkannya tepat ke tempat yang pas.

Cara seperti ini rasanya lazim di sini, mungkin karena seringnya orang di jalan menampik pemberian brosur. Meski bagi-bagi brosur tanpa imbalan tetap saja ada, terutama acara-acara mahasiswa dan klub-klub. Nah, soal bonus ini lagi, kemarin ada pula perusahaan kue yang membagikan brosur mengenai produk mereka, disertai dengan contoh produk. Jadilah saya menikmati apple pie gratis, yang kalau beli di McDonald atau fish and chips outlet harganya lumayan, lumayan murah sih kadang...

Model ini tak hanya monopoli perusahaan atau mereka yang berharap untung. Beberapa waktu lalu, dengan hari yang berbeda, dinas pemadam kebakaran dan kepolisian wilayah melakukan hal serupa. Pemadam kebakaran ini datang lengkap dengan personel dan mobil berperalatan lengkap. Tujuannya sekedar mengingatkan bahaya kebakaran serta memberi tips dalam menghadapi kebakaran. Tak lupa mereka memberikan contoh aksi dengan kobaran api dan bagaimana mencegah agar api tak menjalar. Bonusnya? Banyak gantungan kunci dan boleh foto bareng dengan petugas pemadam kebakaran. Sesi foto ini banyak menarik perhatian mahasiswa internasional, mungkin karena image pemadam kebakaran yang naik oleh peristiwa 9/11 kali ya?

Lalu polisi. Pemilik seragam hitam putih ini datang juga dengan wajah ramah dan beragam souvenir. Niatan mereka sekedar mengingatkan untuk menjaga keselamatan dan juga menjaga sepeda. Ya, penyuluhan standard lah, meski tidak perlu ngumpul-ngumpul sebagaimana layaknya penyuluhan PKK atau LKMD. Cukup anda bertanya, dan dijawab, tentu selama anda tidak bertanya soal teori Time Valaue of Money yang mudah tapi cukup membingungkan itu.

Selain bersuluh[?] mereka juga membagikan souvenir menarik. Tatakan gelas yang jika lihat desainnya, tak nyangka itu dari polisi. Asli menarik dan unik, mirip-mirip desain di majalah underground yang serba dinamis. Ada juga gantungan kunci serta alarm diri, yang nyaringnya luar biasa. Tak ketinggalan, mereka juga menjual kunci dan gembok sepeda dengan harga jauh dibawah harga pasar. Soal kualitas? Ini produk polisi bung, tentu mereka tahu soal kunci dan pembongkar kunci.

Hari-hari besok, semoga ada perusahaan laptop yang bagi-bagi brosur dan produknya dengan gratis. Tapi akankah?

Thursday, February 15, 2007

Sudahkah Anda Pesan Meja Hari ini?

Abulla, sudah pesan meja untuk malam ini? tanya teman saya asal Taiwan, Jay, saat menanti kelas di pagi hari. Abulla, begitu nama saya dipanggilnya. Mungkin sulit baginya menyebut sempurna nama saya. Entah karena soal lidah atau memang ia asing dengan nama seperti itu. Meski sudah kulatih untuk menyebut yang benar, ia tetap saja kesulitan. Tak apalah, yang penting nama saya tidak diganti-gantinya. Sebab banyak teman-teman, khususnya dari Cina, Taiwan, dan Korea memiliki nama alias. Michael, Peter, Cristy, menjadi nama pasaran. Ada beberapa bahakn yang memiliki nama alias yang serupa.

Kembali ke soal meja, saya balik bertanya, “Meja apaan, Jay?”. Yang ditanya malah kelihatan bengong dan seperti tak habis pikir. “Come on man, it’s valentine”. Ia kemudian bercerita bagaimana ia sulit mendapatkan meja untuk candle dinner bersama pacarnya yang akan datang dari Warwick. Beberapa restoran telah ditelponnya, namun malam ini semuanya udah fool booked. Ia masih coba beberapa alternatif, namun jika tetap tidak ada, ia dan pacarnya akan menghabiskan malam di city centre, meski tak ada menu special dan sebatang lilin.

Tak habis pikir saya. Kupikir saat pagi tadi seorang pendengar di radio minta tolong kepada penyiar agar dicarikan meja untuk makan malam itu hanyalah lelucon. Ternyata benar adanya. Jay, teman saya itu bernasib sama. Ini ditambah pula dengan perbincangan tentang rencana melewatkan malam dan beragam caranya dari mahasiswa di common room tempat biasa kami berkumpul saat makan siang. Dari curi-curi dengar saya jadi tahu, mala mini ternyata special, paling tidak begitu dari cara mereka berencana.

Cerita saol valentine, sejarah dan beragam versinya telah banyak ditulis. Tak kalah luar biasanya dengan catatan akhir tahun atau tulisan tentang hari kemerdekaan di Indonesia. Termasuk coklat dan bunga, yang sering menjadi pertanda perayaannya. Terima kasih untuk media dan pengiklan yang makin membuat ari yang sebenarnya biasa aja ini menjadi special [bagi mereka yang merasakan special, tentunya. Buat yang merasa biasa aja, ga usah khawatir, kalian tak sendiri]. Namun mendengar cerita Jay, perbincangan di common room dan siaran radio pagi tadi, saya baru tahu soal makan malam yang serunya seperti ini.

Untunglah, di flat kami punya meja makan yang lumayan lapang. Tempat kami biasa melewatkan sarapan dan makan malam bersama. Tiba-tiba saya jadi khawatir, jangan-jangan meja kami pun sudah ada yang memesan…

Wednesday, February 14, 2007

Duta Bangsa

Business Policy and Strategic Management, modul paling pagi (9 am) dan jarang diikuti lengkap oleh seluruh students yang jumlahnya sekitar 30an. Kali ini yang dibahas tentang Hofstede’s Cultural Dimension theory. Teori ini sebenarnya coba menggambarkan perbedaan kultur yang harus menjadi perhatian pebisnis sebelum mencoba masuk atau ingin langgeng dalam arena 'bermain'. Hofstede Theory is based on the assumption that countries can be compared with each other by rating the following parameters; uncertainty avoidance, power distance, individualism versus collectivism, assertiveness, and future orientation.

Bagaimana melihat ini secara sederhana? Simply look at the company’s annual report. It’s different when you read annual report from the US company and Europe company. The US company tend to bombardier you with the figure and a lot of numbers, whilst Europe company neglect it and judge that as an impolite. Perbedaan seperti ini tentu saja tidak mencolok, namun tetaplah mudah untuk dirasakan. Soal bisnis harus tahu culture, tentu saja semua setuju.

Yang menarik bagi saya saat faktor-faktor ini dijabarkan, lengkap dengan negara-negara yang menjadi contoh dari faktor tersebut. Ada nama Indonesia di sana, tepat sejajar dengan faktor short-term versus long-term view serta uncertainty avoidance. Apa artinya ini? Indonesia “kebetulan” masuk sebagai bagain dari Negara-negara yang derajat kepastian dan stabilitasnya rendah sekaligus tidak paten dengan cara pandang yang jauh ke depan.

Kasihan juga Indonesia jika begini, pikirku. Apalagi kalau mau jujur, hampir di setiap unsur nama Indonesia bisa ada, khususnya dalam konteks yang “tidak baik-baik amat”. Tapi jangan selalu merendah diri, terlebih untuk sesuatu yang debatable. Beberapa waktu lalu terlihat bagaimana kelemahan peneliti-peneliti asing di Word Bank dalam “membaca” politik perberasan di tanah air. Tercatat pula bagaimana IMF terbukti salah dalam memberi resep ketika Indonesia menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan.

Saat rehat, kawan dari Libya [saya masih penasaran, mungkin dia anak Khadafi] bertanya kepadaku, apakah benar apa yang disampaikan oleh dosen itu? Tiba-tiba saya mau menjadi duta bangsa yang baik, dan akhirnya, tanduk untuk ngeles tumbuh dengan seksama. Saya jawab aja bahwa dalam konteks ilmiah, pendapat itu benar karena sudah melalui proses ilmiah. Namun dalam kenyataannya, kadang jauh berbeda, atau paling tidak sedikit keliru. Mau bukti? Soal fleksibilitas, itu yang bangsa ini punya, dan sangat banyak bangsa tidak memilikinya. Bangsa Indonesia lebih fleksibel, hingga saking fleksibelnya kita tak punya rencana jangka panjang. Di tengah jalan, rencana bisa dirombak, tergantung kondisi dan perencana, jangan lupa tergantung penguasa juga.

Masih kurang? Sekarang soal kolektivitas kalo begitu. Gotong royong, bahkan dalam segala urusan. Tak saja soal bersih-bersih lingkungan, korupsi dan demo mendesak peningkatan gaji bagi DPRD pun dilakukan secara kolektif. Meski, belum tentu untuk urusan penjara dan menjalani hukuman kolektifitas itu tetap terjaga.

Saya tahu, yang saya katakan padanya itu adalah “terjemahan kelewat bebas” dari apa yang dimaksud Hofstede. Namun begitulah, selalu ada keinginan ngeles kalo soal Indonesia. Bukan soal bahwa saya cinta tanah air. Tak juga karena chauvinisme telah begitu popular setelah ajang Putri Indonesia digelar beberapa waktu lalu dan salah seorang pesertanya tak tahu apa arti kata itu, sehingga koran dan tipi pun berubah menjadi kamus khusus kata itu. Lalu, jika bukan karena itu, lalu kenapa?

Saya tak ingin menyebutnya sebagai perwujudan nasionalisme. Tak juga, sebab nasionalisme kini telah mengambil tempat di pinggir pusaran setelah tak kuat melawan arus keras globalisasi. Kalau toh sikap seperti itu tetap masuk kategori nasionalisme, baiklah, berarti nasionalisme yang saya punya mungkin sudah kadaluwarsa.