Saturday, May 27, 2006

Wisata Demo

Unik juga tulisan yang kubaca di koran kemarin. Seorang penulis kolom di koran itu memiliki ide untuk menciptakan wisata demonstrasi, menyikapi tingginya intensitas demonstrasi di kota ini. Setuju...

Jika kita cermati kondisi Makassar kekinian, memang intensitas demonstrasi hampir menyamai intensitas demonstrasi secara nasional. Soal tema dan isu yang diusung beragam, namun satu yang sama adalah cara dan sikap mereka dalam berdemonstrasi. Tak ada demonstrasi yang tidak membakar ban di jalan, tak ada pula yang berfikir demonstrasi tanpa harus menutup jalan dan membuat kemacetan.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi ilham untuk menciptakan demonstrasi sebagai salah satu objek wisata andalan di Makassar. Dampak ekonomisnya tentu saja akan memberikan pemasukan luar biasa bagi pemerintah kota. Soal sumber daya, jangan khawatir, datang saja ke kampus-kampus atau warkop-warkop yang bejibun di penjuru kota. Di tempat itu, isu dan tema berseliweran dan selalu saja banyak yang dapat bersikap.

Lalu apa yang menarik dari itu semua? Banyak. Mungkin cuma disinilah orang berdemonstrasi atas nama rakyat banyak namun menyandera mobil tangki minyak tanah yang jelas-jelas dibutuhkan orang banyak. Trend ini kemudian diikuti banyak pihak, termasuk di seberang pulau. Di sini pulalah demonstrasi mahasiswa yang kemudian berbuntut bentrokan dengan sopir angkot, yang jelas-jelas menjadikan jalan raya sebagai ladang berburu rezeki.

Fakta di atas lebih dari cukup untuk menjadi obyek menarik yang mampu menambah devisa pemerintah kota yang hobi membuat gerakan dan lebih fokus untuk mengumbar mimpi-mimpi ketimbang bekerja keras dan memberikan pelayanan publik yang baik.

Wednesday, May 17, 2006

Civil Liberties

Beberapa hari lalu, di kota ini sejarah kelam hampir saja terulang. Pangkalnya lagi-lagi soal SARA, yang rasa-rasanya perlu untuk ditelaah lebih jauh. Banyak yang kemudian terlibat dan coba untuk mengambil peran, meski terakhir kita lihat aksi itu tak lebih dari upaya untuk mencari bargaining. Tak terkecuali mahasiswa, dengan kemanusiaan dan demokrasi menjadi pegangan.

Dari yang saya baca, ide tentang "rasialisasi" atau "formasi ras" meliputi argumen bahwa ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Dengan demikian, kondisi yang belakangan juga mencekam kota ini tak lepas dari perburuan kepentingan. Terlalu spekulatif memang, tapi begitulah keadaannya.

Di Indonesia, historically, ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya lebih sering disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan-pekerjaan dengan konotasi bergaji rendah, tidak membutuhkan keterampilan, modal otot doang, bla..bla.. Tengoklah di toko-toko bahan bangunan dan pasar-paar tradisional.

Contoh lain, karena keberhasilan ekonominya, keturunan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Di kota ini sendiri, gesekan akibat persepsi ini masih saja ada. Ini tidak kemudian menafikan bagaimana mereka yang "menyimpang" dan tidak berusaha "membumi" memang ada. Namun bukankah pribumi sekalipun terjebak—untuk tidak mengatakan menikmati—kondisi ini?

Sampai hari ini, streotip bahwa Cina pembohong dan suka memanfaatkan orang masih terus ada, bahkan seorang kawan yang tulen bugis dan pribumi-nya, dikatakan Cina karena hobinya yang jahil dan suka memanfaatkan.

Kecekaman kemarin, mungkin inilah yang terpikir sebagai interpretasi dari civil liberties, kebebasan sipil. Ini kemudian yang membuncah sejak reformasi dulu setelah beberapa puluh tahun tersendat dan menjadi barang mahal bagi masyarakat. Atau, bisa jadi ini sebagai bukti bahwa kran itu masih tersendat dan belum mengalir dengan alir yang jelas dan terkontrol. Entahlah, semoga saya salah.

Tuesday, May 02, 2006

So This Is Life Huh

Setelah menuntaskan tugas-tugas yang terbengkalai, saya lalu ingat bhawa sore ini saya punya janji. Ya, saya memang telah menyanggupi ajakan seorang kawan untuk memberinya kesempatan mentraktir saya. Sebagai kawan yang baik, maka kuarahkan tujuan ketempat ia bekerja, sebab begitulah ia meminta.

Ia bekerja pada sebuah NGO internasional. Setelah beberapa kali ke tempat kerjanya, dan mendengar berapa ia dibayar untuk pekerjaan yang tidak ringan meski juga tak seberat pekerja harian, rasanya saya tak percaya ia bekerja di NGO. Biar mudah, kuberi sedikit perbandingan. Gaji yang diterimanya 10 kali lebih besar dibanding gaji yang diterima PNS golongan II. Fasilitas di tempat ia bekerja jangan ditanya, internet 24 jam setengah, dan office boy yang siap menyajikan panganan beraneka rupa.

So, jangan salah sangka saat kukatakan bahwa aku memberinya kesempatan untuk mentraktirku. Tidak salah dan sudah pada tempatnya. Saya lalu menawarkan Lae-lae sebagai alternatif, sebab rindu diri untuk menikmati baronang bakar segar dan cobe-cobe nyaman. Tapi karena ia tak punya waktu sebab setelah menuntaskan janji ddenganku, ia masih punya janji yang lain, maka ia pun meminta untuk menikmati pizza saja. "Cukup mengenyangkan dan tak terlalu mahal", begitu argumentasinya.

Karena tak ingin mengecewakan, maka pilihan untuk menjadi bagian dari entitas global dengan ber-pizza kuiyakan. Meski kutahu pizza ala francise ini tidak seperti pizza aslinya karena terlalu banyak modifikasi. Pizza yang mirip-mirip pizza asli sih yang kutahu (katanya) cuma di izzi, namun sayangnya tak satupun gerai izzi hadir di kota ini. Kini Pizza Hut menjadi salah satu restoran terbesar dan terkenal di dunia. Di AS sendiri Pizza Hut tersebar merata di 7.200 lebih unit. Dan di 90 negara ada sebanyak 12 ribu gerai Pizza Hut dengan jumlah karyawan sebanyak 300 ribu orang.Dalam setahun ada sekitar 4,2 miliar pembelian pizza. Dalam hitungan minggu, ada sebanyak 11,5 juta pembelian pizza dengan puncak pembelian jatuh pada hari-hari Jumat dan Sabtu.

Setelah memesan menu (Cheese Lover's pizza), mata pun kuarahkan ke penjuru ruangan mengamati pengunjung satu-satu. Di depan bangku kami, sepasang kekasih sedang asyik memotret diri mereka dengan kamera ponsel. Sang cowok berperawakan tentara, mungkin kesimpulan yang salah karena indikator yang kugunakan sekedar potongan rambut. Yang cewek agak langsing, berpakaian ketat, kutaksir umurnya tak lebih dari anak SMU kelas 3. Sang cowok pasrah saja ketika sang gadis merangkulnya dan memaksanya tersenyum sambil mengarahkan pandangan ke arah lensa kamera yang bermegapiksel tak lebih dari 1.0 itu. Upaya menarik untuk mengekalkan kenangan.

Di pojok ruangan, arah jam 1 dari tempatku duduk, sekelompok anak SMU sedang asyik bercengkrama. Kutahu dari rok dan celana abu-abu yang mereka kenakan, meski atasannya telah bersalin rupa dengan kaos ketat dan khas distro menggantikan kemeja putih berlambang OSIS di kantong kiri. 3 perempuan dan 2 lelaki. Semua mereka sedang asyik berbagi ceria dengan masing sebatang rokok mengepul di jari-jari mereka. Merokok mungkin membantu mereka keluar dari himpitan rutin yang menakutkan bernama sekolah. Entahlah, tapi merokok tetap merugikan kesehatan, menyebakan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin...

Di meja belakang kami tiga orang karyawan bank saling berbagi keluh. Kutahu saat melihat mereka yang lebih dulu datang dan seragam mereka yang menandakan itu. Soal isi cerita mereka, kutahu dengan curi-curi dengar. Selain karena suara mereka yang agak keras, juga karena saya tidak serius dalam menaggapi cerita teman semeja yang mengisahkan lamaran pacarnya yang di Amerika dan mengajaknya menikah di sana. Para karyawan bank ini mungkin berkeluh karena Bank Indonesia mensyaratkan tingkat NPL harus turun sebelum akhir tahun 2006. Terlalu serius, dan tidak baik memang menguping pembicaraan orang.

Pesanan datang dan saatnya melewatkan hidup hari ini dengan pizza. Seperti pizza, hidup memang bercampur-campur. Ada jamur, daging pipih, keju. Seperti hari ini, dimana pagi sampai siang saya mengurus kredit di bank (dan belum tentu disetujui) selanjutnya sore hari menikmati pizza seolah menebusnya semudah membeli sebungkus permen.