Tuesday, August 31, 2004

Yang Terhormat

Langit Tamalanrea,
Hari ini aku bersumpah, untuk membuat perhitungan
dengan mereka yang membuatku
jadi seperti ini.

Monday, August 23, 2004

Merdeka!!!!

Merdeka! meski terlambat, aku ingin menjadi merdeka di 59 tahun bangsaku. tapi betulkah kita (dan saya, tentunya) sudah merdeka?

di koran berita kekerasan, seks dan pembodohan tumpah ruah seperti jajanan di pinggir jalan. di televisi adegan kekerasan, memanfaatkan kebodohan dan pelelangan paha dan bokong, saling menjejali. di kampus, mahasiswa berteriak soal demokrasi dan HAM sambil mengencingi mahasiswa barunya. dosen tak ketinggalan pamer harta kekayaan dan berubah menjadi proyektor. naggota dewan ramai-ramai bersedekah dari hasil korupsinya, dan memperbanyak gundik untuk teman santap malam dengan rumah di tempat lain.

di rumah, orang tua ramai-ramai cerai dan kawin lagi. anak-anak lebih sibuk dengan playstation dan alat band. kakek-nenek bercumbu dengan masa lalu dan asyik saja dibuatnya. ulama dan rohaniawan sibuk menjadi selebritis dan berjualan pahala, sambil sesekali ngutil duit dengan cara halus.

masihkah kita lantang berteriak merdeka?

Satu Bab tentang Perpisahan

Setiap perjumpaan, selalu menyertakan sebuah harapan, namun kadang juga perpisahan. begitulah adagium lama untuk menggambarkan sebuah persuaan.

hari ini, betapa pun sedihnya, toh aku harus menghadapi kondisi ini, akhirnya. sebuah persuaan (yang tentu saja bukan tidak disengaja), dengan segala hambatan dan cemoohan, dengan segunung harapan besar yang mengawalinya, harus berhenti.

begitulah, tapi hidup terus berjalan. sebab, diam dan coba menghibur diri adalah penghianatan (bukankha ini juga menghibur namanya?). masih kuingat waktu belajar naik sepeda dulu. jatuh, bangun, kemudian jatuh untuk bangun kembali. tapi kenapa kini aku seperti tidak bisa bangun lagi?

atau mungkin aku butuh sosok pamanku dulu, yang selalu mengejekku bila terjatuh dan aku menangis. "anak lelaki tak pantas untuk menangis," begitu katanya. dimanakah, kau paman?

Monday, August 09, 2004

neraka

anda percaya neraka itu ada? baguslah kalau begitu. begini, menurut penelitian Federal Bank of St Louis di Amerika sana, untuk negara yang masyarakatnya kebanyakan percaya bahwa neraka itu ada mengindikasikan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibanding negara yang masyarakatnya tidak percaya bahwa neraka itu ada.

mereka bukannya menafikan tingkat investasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, tapi yang jelas, pemilikan mindset tentang ada tidaknya neraka berhubungan positif dengan tingkat ekonomi. salah satunya adalah bahwa tingkat korupsi pun semakin sedikit. sebab jangan lupa, bahwa korupsilah yang selama ini merusak sendi perekonomian , khususnya lagi bagi negara berkembang.

boleh percaya atau tidak, tapi bagaimana kalau moraln dari penelitian itu saja yang kita lihat. perubahan mindset terhadap neraka. memperhatikan pelaku korupsi di Indonesia yang rata-rata alim dan taat beragama, jika kita menggunakan ukuran normatif dalam relasi sosial masyarakat. belum lagi kalau sekedar ukuran haji, diantara mereka bahkan ada yang telah menunaikan ibadah ini beberpa kali.

kembali ke moral tadi, sudah saatnya kita letakkan konteks ini dalam sebuah mindset tentang neraka yang lain. neraka bagi mereka yang memiliki hak dari sesuatu dan dikorupsi oleh para penjahat. dengan korupsi itu, neraka kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan menyapa mereka.